Permintaan Kiara
Seorang pelayan datang membawa dia mangkuk es krim. Setelah meletakkan di meja, pelayan bercelemek kuning itu mempersilakan untuk menikmati dan kemudian pergi.
"Cobain deh!" Kiara menyendokkan es krim ke mulutnya.
Menarik napas dalam-dalam dia mencoba mengalihkan rasa kesal bercampur galau yang membelit. Mengalihkan perasaan dengan menikmati semangkuk es krim yang pernah dia datangi bersama Rendra menurutnya bisa sedikit melegakan hati.
"Enak nggak?" tanyanya.
Arga mengangguk setuju.
"Enak! Aku rasa kamu selalu bisa mencari makanan yang recommended!" pujinya sambil menikmati es krim di depannya.
Kiara menggeleng cepat.
"Aku sebenarnya juga baru tahu ada tempat ini dan ada es krim sayur seenak ini."
"Oh ya? Kamu tahu dari siapa?"
"Rendra! Dia pernah mengajakku waktu itu, dan dia juga yang mengusulkan mengajak pemilik toko ini untuk membuat kemasan yang baik agar bisa dipasarkan secara luas! balasnya panjang lebar dengan mata mengerjap indah. "Keren, kan?" tanyanya menatap Arga.
Mendengar Kiara menyebut nama Rendra entah kenapa seketika napsunya untuk menikmati es krim hilang. Kenapa harus Rendra, kenapa bukan yang lain?
Sungguh! Arga ingin sekali memprotes ucapan Kiara, tetapi dia tak bisa karena memang Rendra adalah rekannya dan seperti yang dia pernah katakan bahwa pria itu akan selalu ada karena mereka memang satu tim.
Arga hanya mengangguk menanggapi.
"Kok nggak dihabiskan? Nggak suka?" tanya Kiara heran. Karena baru saja suaminya berkata suka.
"Eum ... kenyang," balasnya seraya menarik bibir datar.
"Oke, kalau begitu kita pulang sekarang?"
"Kamu udah selesai?"
Kiara mengangguk lalu meraih tas tangannya. "Udah!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu.
"Nggak pengin ke mana-mana lagi?" tanya Arga saat mobil sudah bergerak menjauh.
"Nggak, Mas," balasnya tanpa menatap.
Arga menarik napas dalam-dalam, dia tahu suasana hati sang istri sedang buruk, meski perempuan itu mencoba menutupi.
"Kiara."
"Ya?" Dia menoleh memiringkan wajahnya menatap Arga.
Pria itu tersenyum tipis lalu menggeleng.
"Nggak apa-apa, cuma pengin dengerin suara kamu aja."
Menarik bibirnya singkat Kiara memalingkan wajahnya ke luar jendela, hingga kendaraan mereka sampai di rumah.
"Kiara? Kamu melamun? Kita udah sampai." Arga menyentuh bahu sang istri seraya mencondongkan tubuhnya mendekat.
Tersentak dia menoleh. Lagi-lagi hidung mereka hampir bersentuhan. Desir tak biasa kembali menyapa.
Kiara berdehem mencoba menguasai keadaan.
"Kita masuk!" ajaknya membuka pintu mobil.
Arga tersenyum tipis kemudian mengikuti Kiara. Saat mereka hendak masuk ke rumah, suara seseorang memanggil Arga membuat keduanya berbalik.
Astrid berdiri tepat di depan pagar. Melihat itu Kiara cepat membuka pintu kemudian masuk.
"Ra!" Arga meraih pergelangan tangan istrinya.
"Selesaikan urusan Mas dulu. Setelah itu kita selesaikan urusan kita!" tegasnya seraya menarik tangannya kuat.
Mendecak kesal Arga melangkah menghampiri Astrid. Sungguh! Dia tidak menyukai berada di situasi seperti ini.
Kekesalannya muncul karena Astrid mengabaikan permintaannya untuk mengurangi pertemuan selama tiga bulan. Selain itu dia juga mengungkapkan kepada perempuan itu untuk tidak datang ke kediamannya.
"Kamu pasti kaget, kan, Ga?" Astrid membuka obrolan saat Arga membuka pagar. "Aku nggak tahan lagi jika harus berdiam diri seperti yang kamu minta, Arga!"
Pria itu bergeming.
"Kenapa kamu diam? Kamu takut jika masalah ini selesai dengan keputusan awal kita? Kamu nggak mau impian kita bisa ...."
"Astrid cukup!" potongnya dengan tatapan menusuk. "Harus berapa kali aku bilang kalau kamu harus menahan diri ...."
"Hingga tiga bulan terlampaui. Begitu, kan?"
"Kamu pikir aku apa, Ga! Aku merasa nggak dihargai tahu nggak!" sentaknya.
Arga menarik napas dalam-dalam kemudian melihat ke arah pergelangan tangan.
"Ikut aku!" ajaknya.
"Ke mana?"
"Kamu ke sini naik apa?" Arga balik bertanya.
"Taksi online!"
"Kalau begitu aku antar kamu pulang!"
"Kamu ngusir aku, Ga? Tega kamu ya? Kamu udah nggak cinta sama aku karena perempuan itu? Kamu pengkhianat!" Astrid histeris.
"Astrid diam! Kamu sudah membuat keributan! Ini sudah malam. Ayo pulang!" Arga terlihat kesal.
"Aku nggak mau!" tolaknya masih histeris.
Dengan rahang mengeras, Arga meraih tangan Astrid memaksa perempuan itu untuk masuk mobil. Perempuan itu tak bisa menolak, dia mengikuti apa yang diinginkan Arga dengan wajah kecewa bercampur amarah.
"Sudah kubilang, jangan buat aku marah, Astrid!" ujarnya saat mobil mulai meluncur. Terdengar suara Arga penuh penekanan dan mata berkilat karena amarah.
**
Arga menutup pintu mobil sekuat tenaga, hari yang melelahkan baginya. Semua telah membuat mood-nya buyar. Dari mulai Damar, Papa dan mertuanya hingga tentu saja Astrid.
Astrid, bicara tentang nama itu, kini dia merasa perempuan itu sangat jauh berbeda. Dia bukan lagi Astrid yang dikenal. Perempuan yang ambisius, paling bisa memahami dirinya dan penuh kejutan.
Astrid kini berubah menjadi sosok pencemburu dan selalu ingin mengacaukan semuanya. Bahkan rencana yang jauh -jauh hari disusun pun harus buyar karenanya.
Membuang napas kasar, dia masuk rumah. Jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Emosi yang terkuras karena harus menenangkan Astrid membuat dia tak berpikir untuk mengisi perut tadi.
Pelan Arga membuka pintu. Lampu sudah temaram itu berarti Kiara sudah tidur. Masuk rumah dan mengedar pandangan ke seluruh ruang membuat hatinya tenang. Wajahnya tak setegang tadi.
Dia menuju ruang tengah lalu merebahkan tubuh di sofa. Seraya membuka sebagian kancing kemeja Arga mencoba menenangkan diri. Maksud hati ingin memejamkan mata, tetapi perutnya tak mau diajak kompromi.
Pria itu lalu bangkit menuju dapur tanpa melihat ke meja makan. Arga berpikir tak mungkin Kiara berbaik hati menyediakan makanan untuknya setelah syarat yang pernah diajukan telah dilanggarnya.
Namun, kedatangan Astrid bukan karena kemauannya dan sama sekali dirinya tak pernah mengundang perempuan itu ke rumah ini. Mengingat hal itu, Arga menarik napas dalam-dalam.
Arga membuka lemari es mengeluarkan sekotak jus intan untuk dituang ke gelas kemudian melangkah ke meja makan. Keningnya berkerut membuka tudung saji. Dia lalu menghela napas lega, Kiara memang malaikat cantik yang dikirim untuknya.
Capcay goreng plus ayam lada hitam terhidang sempurna di meja makan. Tak lagi berlama-lama membiarkan perutnya keroncongan, Arga segera menikmati makan malamnya sendiri.
Sementara di kamar, Kiara tengah menguatkan diri untuk mengatakan keputusannya kepada Arga. Dia sudah merasa lelah jika harus terus berpura-pura. Kiara merasa telah siap menerima apa pun sangsi atau hukuman yang akan diberikan kedua orang tuanya ketika nanti mereka mengetahui.
Kiara mengusap air mata menatap pantulan dirinya di cermin. Mungkin ada perasaan yang berbeda belakangan ini terhadap pria itu, tetapi dia paham hal itu tak bisa terjadi dan harus berhenti bagaimana pun caranya.
Kacau, semuanya kacau dia rasakan kini. Berharap bisa memberi kebahagiaan kepada kedua orang tuanya, tetapi kini justru sebaliknya.
Dulu dia berpikir semua akan berubah. Arga dan dia akan baik-baik saja setelah menjalani pernikahan yang sama sekali jauh dari kata indah. Tiga bulan kesepakatan, tetapi ternyata tak semudah yang dia pikirkan. Justru dirinya seolah ditarik ulur dengan perasaannya saat ini.
'Maafkan Kiara, Ma, Pa. Kiara nggak bisa terus berpura-pura. Kiara capek,' gumamnya kemudian bangkit.
Dia tahu sang suami sudah datang, karena memang sejak tadi tidak tidur. Semua rencana dan kata-kata sudah disusun sedemikan rupa untuk meyakinkan Arga juga tentu saja kedua keluarganya nanti.
Pelan Kiara membuka pintu, bibirnya tersungging senyum ketika mendengar suara denting piring dan sendok di ruang makan. Dia lalu melangkah menuju tempat Arga tengah menikmati makan malamnya.
"Makanannya enak, Mas?" sapanya berdiri agak jauh dari meja makan.
Terkejut dengan sapa Kiara yang tiba-tiba, membuat Arga tersedak. Pria itu terbatuk membuat Kiara panik dan segera mengambilkan gelas berisi air putih.
"Minum dulu, Mas!"
"Makasih, Ra," tuturnya kemudian meneguk habis isi gelas.
"Maaf, Mas. Aku bikin kaget ya?" ujarnya dengan ekspresi bersalah.
"Nggak apa-apa, Ra. Aku pikir kamu sudah tidur jadi aku nggak ...."
"Nggak apa-apa, Mas. Dilanjutkan makannya."
"Kamu udah makan?"
Kiara mengangguk pelan. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang ada di kepalanya.
Bibir Kiara tertarik lebar ketika Arga memuji masakannya. Sebenarnya pujian itu tidak hanya sekali ini, bahkan sudah berulang kali pria itu mengatakan hal yang sama, tetapi tetap saja ucapannya selalu bisa membuat hatinya bahagia.
Bahagia? Betulkah? Apa itu artinya Arga sudah bisa memberikan kebahagiaan untuknya meski hanya dengan pujian?
"Ra? Kok ngelamun? Ada apa?"
Arga yang baru saja menyelesaikan makan malamnya menyipitkan mata menatap Kiara.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak ngelamun kok, cuma ... ada yang ingin aku sampaikan."
Arga menarik napas panjang kemudian mengangguk.
"Apa yang ingin kamu katakan?"
"Eum ... kita ke ruang tengah aja yuk!" Kiara bangkit lalu melangkah ke ruang tengah tanpa menunggu persetujuan dari suaminya.
Masih dengan mata menyipit, Arga ikut bangkit lalu mengayun langkah mengikuti Kiara.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top