Patah
Aroma segar menguar saat Arga duduk di sampingnya untuk makan siang. Tanpa diminta, Kiara mengisi piring suaminya dengan nasi serta lauk pauk. Melihat kesigapan sang menantu, Dira dan suaminya tersenyum.
"Mama nggak salah pilih, kan, Arga? Kiara memang sosok sempurna yang ditakdirkan untukmu."
Arga mengangguk sambil mengucapkan terima kasih pada Kiara yang baru saja duduk setelah melayaninya.
"Ingat, sore nanti kalian berangkat bulan madu. Bahagiakan diri kalian di sana. Jangan memikirkan pekerjaan!" tutur papanya.
"Ara, jangan lupa packing," ujar Dira.
"Iya, Ma."
Mereka kemudian bersama makam siang. Sesekali Kiara melirik ke Arga. Pria itu tampak lahap menikmati makanannya. Meski ada sudut hati yang remuk, dia sedikit terhibur melihat sang suami menyukai masakan pertamanya.
"Arga, enak, kan, masakannya?"
"Enak, Ma. Bik Nah memang paling bener kalau masak!" balasnya.
Sayur asem, pepes ikan, tumis kangkung, lalapan adalah hidangan siang itu. Sengaja Kiara meminta agar Bik Nah membiarkan dirinya yang memasak. Meski Dira melarang, tetapi Kiara beralasan ingin memasak pertama kalinya untuk Arga.
"Yang masak bukan Bik Nah kok!" Dira tersenyum seraya memasukkan suapan ke mulutnya.
"Jadi Mama yang masak? Serius! Ini enak banget, Ma!" ungkapnya.
Sang mama menggeleng cepat.
"Bukan Mama. Mama nggak yakin bisa masak seenak ini, Arga."
Pria itu menghentikan suapannya.
"Lalu masakan siapa?"
"Masakan enak ini lahir dari tangan terampil istrimu," jawab Dira bangga.
Mendengar ucapan mamanya, Arga sontak menoleh ke samping. Senyum Kiara tercetak membalas tatapannya.
"Papa juga merasa cocok dengan masakanmu, Ara." Pak Atma menimpali.
"Makasih, Pa, Ma," tutur Kiara sopan. "Silakan dilanjutkan lagi makannya. Ara senang kalau semua suka," sambungnya.
"Arga, pesawat kalian nanti jam enam sore. Kamu antisipasi supaya nggak terlambat. Biasanya jalanan macet kalau sore. Apalagi ke arah bandara," tutur papanya setelah selesai makan.
"Iya, Pa. Arga tahu kok."
Kiara tersenyum tipis, kemudian bangkit dari duduk.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau beresin ini, Ma."
Dira menggeleng.
"Sebaiknya kamu istirahat sebelum melakukan perjalanan panjang nanti. Biar saja ini semua dibereskan Bik Nah! titahnya disambut anggukan oleh Kiara.
"Kalau begitu, Ara ke kamar dulu, Ma, Pa. Eum, Mas Arga masih butuh sesuatu untuk aku ambilkan?"
Arga menggeleng.
"Nggak. Kamu istirahat aja."
Mengangguk kemudian dia melangkah menuju kamar
**
Kiara tersenyum membaca pesan dari beberapa rekannya. Pertanyaan ingin tahu soal malam pertama adalah pertanyaan paling ramai di pesannya. Belum lagi candaan yang mengarah padanya dengan topik 21+ menjadi topik hangat dan tak henti-hentinya di grupnya.
Senyumnya memudar ketika membaca pesan pribadi dari Niken
[Jangan bilang kamu sedang menangis saat ini, Ara!]
[Aku tahu kamu kuat!]
Ada pula pesan dari Fia.
[Ara, are you oke?]
[Kamu tahu kapan dan di mana curhat ke aku juga Niken.]
Mata beningnya mulai berkaca-kaca. Niken dan Fia adalah sahabat yang paling tahu hatinya. Mereka berdua yang sangat menentang keputusannya menerima perjodohan saat itu.
Penolakan kedua sahabatnya itu, karena mereka tahu bagaimana kisah Arga. Selama ini Kiara memang tidak pernah terlalu mengikuti pria yang famous di kalangan perempuan di kota ini.
Kiara selalu memilih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang bisa membuat dia merasa berguna.
[Besok kita ketemu ya. Ada proyek sosial yang harus kita jalankan!]
Pesan Kiara terkirim kepada kedua sahabatnya. Dia tahu sore nanti Arga akan berangkat ke Raja Ampat bersama Astrid.
Kiara sendiri sudah memikirkan bagaimana supaya keluarga Arga dan keluarganya tidak menaruh curiga, baik padanya atau pada suaminya.
Deheman Arga membuatnya menoleh. Air mata yang hampir jatuh segera dia tahan dengan mengedipkan mata.
"Aku mau bicara."
"Silakan!"
Arga melangkah mendekat dan duduk di sebelah Kiara.
"Aku minta maaf kalau ini menyakitimu, tapi aku yakin kamu juga paham atas keputusanku."
Senyum Ara terbit.
"Aku nggak merasa tersakiti. Aku paham dan sangat paham atas apa pun yang menimpaku."
Sejenak mereka saling diam.
"Aku heran, kenapa kamu mau menerima jika tahu kisahku?"
Kali ini bibir perempuan berambut sepunggung itu terangkat miring.
"Kamu pasti tahu alasannya kenapa. Aku rasa nggak perlu dijelaskan lagi," jawabnya diplomatis.
"Kamu percaya sama alasan mereka?"
Kiara diam.
Arga menarik napas dalam-dalam kemudian kembali berkata, "Aku nggak pernah bisa mengerti kenapa di zaman modern seperti ini masih saja memegang teguh aturan kuno!"
"Banyak temanku yang menikah sesama anak sulung, toh mereka baik-baik aja!" sambungnya lagi.
"Kamu sendiri? Aku pikir kamu nggak terpengaruh dengan kepercayaan itu, kan?"
Kiara tersenyum lalu menggeleng.
"Mungkin kamu benar itu aturan kuno dan tidak bisa diaplikasikan di zaman ini. Aku juga nggak setuju, tapi karena bakti pada kedua orang tuaku dan menjaga hubungan baik mereka dengan keluargamu, aku menerima takdir ini."
Arga menoleh.
"Kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini dengan kondisi kita yang ...."
"Tidak saling mencintai! Itu kan yang akan kamu katakan?"
Pria berbadan tegap itu membuang napas kasar.
"Kamu nggak perlu merasakan terbebani, Mas Arga. Karena aku tidak pernah memintamu untuk mencintaiku! Akan ada waktunya nanti kita untuk berpisah, tapi setidaknya saat ini biarkan orang tua kita bahagia seperti yang mereka inginkan."
Kening Arga berkerut mendengar penuturan sang istri.
"Maksud kamu?"
"Menurut Mas, apa yang dirasakan orang tua kita saat ini?"
"Happy."
"Pernahkah Mas memberi kebahagiaan seperti ini sebelumnya?"
"Pernah!"
"Apa mereka sebahagia kemarin saat Mas mengucapkan ijab kabul?"
Arga menggeleng.
"Jadi biarkan mereka bahagia dengan caranya. Setidaknya nanti jika kita harus mengatakan hal sesungguhnya saat itu aku berharap mereka paham apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya," ujar Kiara tegas.
Pria berkaus polo putih itu menarik napas dalam-dalam.
"Kamu sudah dengar rencanaku tadi, kan?"
Kiara mengangguk paham ke mana tujuan pembicaraan Arga.
"Iya. Sekarang ada baiknya kita bikin skenario supaya mereka yakin kita mengikuti apa yang mereka harapkan."
"Ara, maafkan aku."
"Kamu nggak perlu minta maaf!"
Helaan napas panjang Arga kembali terdengar. Sementara Kiara terus mencoba menahan sesak yang sejak tadi memenuhi rongga dadanya.
"Kapan kamu balik, Mas?"
"Satu pekan setelah hari ini."
"Oke."
"Selama itu kamu di mana?"
Kiara menoleh lalu menggeleng.
"Mas nggak perlu khawatir mereka akan tahu. Aku bisa jamin itu!"
Kiara lalu bangkit.
"Kamu mau ke mana?"
"Packing!"
Arga terlihat kembali menarik napas panjang seraya memijit pelipisnya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top