Mungkinkah
Arga tak menyahut, dia hanya menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Kiara mengedikkan bahu lalu melangkah ke meja makan.
"Semalam kamu nggak tidur? Tumben kesiangan."
Memotong roti, lalu menyuapkan ke mulutnya, Kiara mengangguk.
"Kamu sering begadang, Ra?" tanya Arga seraya memulai sarapannya.
"Nggak juga. Kadang aja sih. Kalau rencana nggak ngantor."
"Jangan dibiasakan ya. Itu nggak baik buat kesehatan," ucap Arga menatapnya.
Tak menjawab, Kiara hanya tersenyum tipis. Walau bagaimanapun perhatian kecil yang diberikan Arga sebenarnya cukup membuat dirinya merasa seperti seorang istri pada umumnya, meski dia tahu semua itu tak akan berlangsung lama.
Saat ini dirinya pun berusaha menjalankan apa yang direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Setelah tiga bulan nanti, dia akan pergi ke luar kota untuk menenangkan diri. Tentu setelah usai drama yang direncanakan Arga, akan banyak hal rumit yang harus dia urai. Salah satunya adalah meyakinkan dan mengobati kekecewaan kedua orang tuanya.
"Ra? Ponselmu bunyi." Arga menyentuh bahunya.
"Oh iya. Thanks." Tersadar dari lamunan, Kiara menerima benda itu dari tangan Arga. Melihat identitas pemanggil, dia menyentuh tombol merah.
"Kenapa dimatikan?"
"Fia telepon. Kalau dia telepon pasti lama. Nanti aja aku telepon balik," jelasnya.
"Kenapa Mas bisa ambil teleponku?"
Arga terkekeh.
"Telepon kamu di dapur. Dia bunyi terus sementara kamu justru melamun. Masih pagi, Ra. Kenapa sih?"
Menghela napas Kiara menggeleng. Tiba-tiba saja hatinya merasa sedih. Perasaan yang lama hilang itu kembali muncul. Dia rindu. Kiara merindukan Satria!
"Kiara?"
"Aku nggak apa-apa. Mas buruan siap-siap sana!" titahnya seraya beringsut dari duduk.
"Ra. Cerita ke aku kalau ada yang kamu pikirkan." Arga ikut bangkit mencoba meriah tangan sang istri.
"Aku baik-baik saja. Mas nggak perlu pusing. Melamun adalah caraku untuk berpikir," tuturnya asal seraya menarik pelan tangannya dari tangan Arga.
"Ra kamu kenapa nggak mau aku pegang sih?"
"Aku takut."
"Takut? Tapi kenapa? Aku nggak ...."
Tersenyum simpul, dia memilih tak menjawab. Perempuan itu lalu melangkah ke dapur. Seperti tak ingin membiarkan pertanyaannya tak terjawab, Arga mengekorinya.
"Kiara, katakan alasannya. Aku suamimu, aku boleh, kan melakukan hal seperti itu. Memegang tanganmu?"
Masih tak peduli dengan pertanyaan sang suami, Kiara menyalakan kran mencuci piring kotor bekas sarapan mereka tadi.
"Ya seenggaknya biarkan kita seperti suami istri pada umumnya meski ...."
"Meski bersandiwara? Aku tahu, tapi aku juga punya aturan di tiga bulan itu."
"Termasuk nggak boleh pegang tangan?"
Kiara mengangguk. "Kecuali di depan Mama, Papa. Itu, kan yang Mas mau?"
"Iya, tapi ...."
"Bersandiwara di depan keluarga. Cuma itu, kan?"
"Iya, Ra. Tapi ...."
"Sudah siang. Mas siap-siap udah sana!" potongnya meninggalkan Arga. Namun, secepat kilat lengannya dicekal pria itu.
"Kiara!"
Kali ini Kiara benar-benar tak bisa melepaskan diri. Mereka berdua saling berhadapan hampir tak berjarak. Mata keduanya saling bersirobok.
"Please, setidaknya aku juga ingin kita benar-benar dekat di tiga bulan ini, Ra. Biarkan aku mengenalmu seperti kamu mengenalku. Aku janji aku nggak berbuat lebih dari itu," tuturnya lembut. "Aku janji meski bisa saja aku melakukannya," sambungnya lagi.
Kiara menelan ludah. Posisi mereka kali ini begitu dekat sehingga detak jantung Arga sangat bisa dia rasakan. Arga masih menatapnya. Pria itu seperti ingin menyelam lebih jauh ke kedalaman mata sang istri.
Bagi Arga, Kiara berbeda, dia memang terlihat kuat dan tak peduli dengan apa pun skenarionya, tetapi Arga tahu ada yang disembunyikan dalam hidupnya dan itu yang ingin dia ketahui.
Menatap dari dekat sang istri, memindai pahatan indah karya Tuhan membuat dirinya masuk ke dalam pusaran yang semakin menarik ke dalam. Naluri ingin menikmati setiap inci paras sang istri pelan menyeruak. Sehingga Arga semakin memangkas jarak.
"Aku nggak mau, Mas. Please, hargai keputusanku. Aku cuma takut. Itu aja, nggak ada alasan lain," jawabnya mencoba sedikit menjauh, karena hidung mereka hampir bersentuhan. Akan tetapi, lagi-lagi Arga menahannya hingga satu kecupan manis tersemat di bibirnya pagi itu.
Terkejut dengan yang baru terjadi, Kiara mendorong keras sangat suami. Arga mundur melepas pelan pegangan tangannya.
"Mas ngapain?"
Arga mengusap wajahnya. Tersirat penyesalan meski dia tahu bukan suatu kesalahan.
"Maaf, Ra. Aku, kelepasan, tapi kita sah melakukan itu, kan?"
Kiara mengatupkan bibirnya seolah ingin menghapus bekas yang masih terasa di sana. Sambil menggeleng dia berujar, "Semuanya sah jika tak ada skenario, tetapi maaf kita tidak pada rule itu. Kita sedang bersandiwara seperti yang Mas mau, jadi ikuti aja alurnya."
"Aku mau ke kamar!"
"Maafkan aku, Ra," sesalnya menatap Kiara yang menghilang masuk ke kamar.
Sementara di kamar Kiara menuju kamar mandi, lalu menyalakan shower dan membiarkan membasahi tubuhnya. Berjuta sesal menggeliat di nurani.
Perbuatan Arga telah membuatnya merasa perlahan tertarik pada pria itu. Bukan hal aneh jika dia mulai bersimpati meski Arga yang dia tahu hanya melakukan itu untuk sebuah formalitas.
Keengganannya untuk sekadar disentuh tangan adalah cara supaya dia tidak terlalu banyak berharap. Diam-diam Kiara merasa ada hal lain di dirinya selain menurut kehendak orang tuanya.
"Aku nggak boleh punya perasaan itu. Dia nggak pernah mencintai dan menginginkanku dan aku tidak mencintainya. Cukup satu, cukup Satria saja yang ada di sini," gumamnya di bawah guyuran shower.
Sementara di ruang tengah lain, Arga sudah siap berangkat. Berulangkali dia mencoba mengetuk pintu kamar sang istri, tetapi ragu. Dia khawatir Kiara akan marah jika dia mengetuk pintu itu, tetapi dia juga lebih khawatir jika Kiaara tidak tahu jika dirinya sudah berangkat ke kantor.
Menarik napas dalam-dalam, dia mengetikkan sesuatu untuk Kiara di ponselnya.
[Ra, aku berangkat ya. Maafkan apa yang terjadi tadi. Sungguh aku kelepasan. Maaf ya]
Lama dia menunggu jawaban, Arga masih berdiri di depan kamar Kiara. Akan tetapi, tak tampak perempuan itu sedang online.
[Oke. Sekali lagi maafkan aku. Sore nanti kita ke rumah Mama ya. See you, Ra]
Arga melangkah keluar meninggalkan kediaman mereka. Sepanjang jalan dia masih berusaha menghubungi sang istri. Dirinya benar-benar merasa bersalah atas kejadian pagi tadi.
"Sial! Kenapa aku nggak bisa menahannya!" geramnya menggumam.
Putus asa telepon tak juga diangkat, Arga meletakkan begitu saja ponselnya di dashboard. Saat lampu merah menyala, dia berhenti tepat saat telepon genggamnya berbunyi. Tanpa melihat identitas pemanggil, cepat dia menerima.
"Halo, Ra. Maafkan aku. Kamu udah nggak marah, kan? Please, aku janji nggak mengulangi lagi hal seperti tadi."
"Mengulangi apa, Ga? Kenapa kamu minta maaf? Apa yang udah kamu lakukan ke dia?"
Arga menelan ludah menyadari bukan Kiara yang ada di seberang sana. Mengusap kepalanya, Arga menjawab, "Hai Astrid! Sori aku pikir tadi ...."
"Kiara?" potongnya. "Apa yang sudah kamu lakukan ke dia? Kamu nggak biasanya meminta maaf seperti itu! Apa yang sudah kamu lakukan ke dia?" cecarnya dengan nada menginterogasi.
"Nggak ada. Aku nggak melakukan apa pun. Hanya sedikit kesalahan saja dan aku pikir itu nggak penting untuk kamu ketahui," balasnya kembali menjalankan mobilnya.
"Kamu yakin?"
"Iya. Udahlah nggak perlu dibahas. Kamu di mana sekarang? Udah sampe kantor?"
"Udah. Eum ... nanti malam ada undangan ulang tahun Bianca. Kamu kenal Bianca, kan? Kita datang ya. Aku mau kamu temani aku, please!"
Arga bergeming.
"Ga! Kok diam? Kamu nggak mau temani aku?"
"Astrid, tapi aku nanti malam ...."
"Kenapa? Kamu ada janji sama Kiara atau ...."
"Bukan itu, tapi Damar datang dan kami harus ngumpul makan malam di rumah nanti."
"Dan aku harus ngalah lagi, Ga? Kamu tahu, aku sudah nggak tahan dengan kondisi ini! Sampai kapan aku kamu beginikan sih!"
Tak ingin pikirannya kacau saat menyetir, Arga mencoba menenangkan Astrid.
"Oke, nanti aku telepon lagi. Aku masih di jalan. Bye, Astrid."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top