Merindu
Mengenakan baju panjang berwarna hitam, dan kerudung sewarna tak lupa tas tangan kecil, Kiara keluar rumah. Perempuan itu sama sekali tak menyematkan riasan apa pun di wajahnya. Menatap langit yang tampak kelabu, dia menggumam, "Semoga nggak hujan."
Mengendarai mobil pribadinya, Kiara menuju sebuah pemakaman yang beberapa pekan belakangan ini tak pernah didatanginya.
"Siang, Mbak. Tumben, biasanya setiap pekan Mbak ke sini, ini udah hampir sebulan Mbak nggak datang," sapa penjual bunga segar di dekat area pemakaman.
Kiara membetulkan letak kacamata hitamnya seraya tersenyum tipis.
"Bunga mawar putih untuk Mas Satria sudah siap," tutur pria kurus berusia sekitar lima puluhan itu menyerahkan serangkai mawar putih padanya.
"Mendung datang, Mbak. Sebaiknya jangan lama-lama. Nanti kehujanan, Mbak Kiara bisa sakit nanti," sambung pria itu seraya menatap langit.
Kiara mengangguk lalu tersenyum.
"Iya, Pak No, terima kasih. Eum, ini uangnya. Ambil aja kembaliannya."
Mengucap syukur, pria bernama Tarno itu membungkuk sopan. Tarno adalah penjual bunga sekaligus bekerja membersihkan makam. Kiara memintanya untuk membersihkan makam Satria jika terlihat kotor. Dia juga membayar pria itu untuk jasanya.
Pria itu hapal kebiasaan Kiara jika berada di makam Satria. Dia akan duduk berlama-lama di sana dan menceritakan semua hal tentang apa pun di depan pusara Satria.
Terkadang tak jarang, Tarno ikut duduk menemani Kiara jika perempuan itu terlihat sesenggukan. Dari bibir Kiara juga akhirnya Tarno tahu bagaimana perasaan perempuan itu kepada Satria. Bahkan Tarno seperti tak bosan mendengar kisah cinta mereka.
Meski begitu, dia juga sering memberikan nasihat agar Kiara tidak terlalu berlarut-larut dalam kenangan masa lalu. Hal itu selalu ditanggapi Kiara dengan senyum tipis.
Melangkah pelan mendatangi pusara Satria adalah luka baginya meski masa itu sudah berlalu cukup lama.
Kilas kenangan masih segar terhidang di ingatan. Bagaimana cara manis Satria memperlakukan dirinya. Bagaimana mereka menyatukan nama yang kelak akan dijadikan nama anak mereka. Semua itu masih lekat seolah tak mau pergi dari memori Kiara.
"Hai, Mas. Apa kabar? Kamu pasti sudah bahagia di sana ya? Kamu nggak kangen aku memangnya?" sapanya dengan suara bergetar seraya meletakkan rangkaian bunga di atas makam.
"Mas, maaf aku lama nggak datang. Aku akhirnya mengikuti keinginan orang tuaku. Aku menikah dengan Arga. Mas tahu, kan? Dia orang yang aku ceritakan beberapa waktu lalu sebelum aku akhirnya menikah."
Sunyi. Hanya terasa embus angin yang menerbangkan dedaunan di tempat itu.
"Mas sering bilang kalau aku harus kuat, harus bisa jadi perempuan mandiri dan nggak cengeng, kan?" tanyanya kali ini dengan melepas kacamata. Jelas terlihat air matanya mengalir.
"Aku terus belajar untuk itu, Mas. Aku sudah nggak cengeng lagi sekarang, meski ... di sini aku selalu nangis! Itu karena Mas pergi ninggalin aku begitu saja!" tuturnya dengan bahu bergetar.
"Mas, maafkan kalau aku sering mengeluh, tapi aku nggak bisa cerita ke siapa pun soal ini selain ke Mas. Mas inget Fia juga Niken, kan? Mereka baik dan selalu mendengar apa pun ceritaku, tapi aku pikir mereka juga punya masalah, kan, Mas? Aku nggak mungkin selalu menjejali mereka dengan semua ceritaku, kan?"
Kiara menarik napas dalam-dalam.
"Aku nggak bahagia, Mas. Aku nggak bahagia. Aku sedang berbohong pada semua orang termasuk Papa dan Mama. Aku ingin sendiri, tapi mereka ingin ada yang menemaniku, meski aku sampai sekarang juga sendiri. Itu pilihanku, Mas."
"Aku benci keputusanku, tapi ini caraku untuk membuat senyum di wajah Mama juga Papa. Nggak apa-apa, kan, Mas?"
"Oh iya, pekerjaan dan mimpiku sudah maju pesat, Mas. Banyak usaha kecil yang produknya makin maju. Mas inget Pak Gani? Sekarang dia bisa membiayai anaknya kuliah loh! Inget, kan dia siapa?"
Gani adalah seorang pria single parent. Ditinggal oleh sang istri karena tak tahan dengan kondisi perekonomian keluarga mereka yang tak menentu.
Dengan berbekal alat pembuat permen kapas, pria yang kakinya terpaksa memakai kaki palsu karena kecelakaan itu mencoba menyambung hidup. Saat itu dia dan Satria tengah menikmati angin sore di sebuah taman. Pertemuan dengan Gani membuat keduanya bersimpati dan berniat membantu.
Dengan link yang dimiliki keduanya akhirnya mereka bisa membuatkan tempat yang layak dan menarik untuk Gani. Kiara dan tim juga membuatkan kemasan yang bisa bersaing dengan produk mahal lainnya.
"Oh iya, Mas. Sekarang Pak Gani justru ikut terjun membantu beberapa teman yang butuh modal loh." Kali ini terdengar nadanya bersemangat. "Kalau Mas lihat, aku yakin Mas bangga dengan beliau!"
Kembali sunyi. Aroma bunga menyeruak. Kiara menghela napas dalam-dalam seolah ingin menumpahkan semua yang selama ini dia simpan.
"Mas, aku membuat perjanjian dengan Arga. Kami sepakat bersandiwara seperti selayaknya pasangan suami istri dalam waktu tiga bulan. Setelah itu kami akan menjalani hidup masing-masing."
Kiara tersenyum tipis.
"Dia punya kekasih dan sangat mencintai kekasihnya. Dan aku ... aku juga punya kamu, kan, Mas?" tuturnya tersenyum getir. "Aku punya pria yang baik dan tak pernah bisa diganti oleh siapa pun." Suaranya terdengar parau.
"Mas tahu? Aku punya rencana setelah tiga bulan itu. Akan ada banyak kegiatan yang akan kujalani, dan ... tentu aku harus meyakinkan Mama juga Papa."
Kali ini mata Kiara berkaca-kaca.
"Kadang aku bertanya, kenapa Tuhan mengambilmu begitu cepat, Mas. Kenapa pria baik sepertimu harus pergi? Dan kenapa harus aku yang mengalami? Kenapa kita harus terpisah?"
Langit semakin gelap. Angin bertiup lebih kencang dan terasa dingin, rinai pun mulai turun. Seolah tak peduli, Kiara masih betah berada di samping makam Satria. Sementara Pak Tarno yang sejak tadi memperhatikan Kiara mendekat membawakan payung yang terbuka.
"Mbak Kiara, hujan. Ayo berteduh!"
Kiara menoleh sejenak kemudian menggeleng lalu kembali tepekur dengan berlinang air mata.
"Mbak, saya payungin ya."
"Nggak usah, Pak. Biarkan saya begini. Nggak apa-apa, kok! Lagian hujannya nanti juga selesai," tolaknya. "Bapak bawa aja kembali payungnya."
"Tapi, Mbak ...."
"Nggak apa-apa, Pak."
Mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam, Tarno meninggalkan Kiara. Sementara hujan terlihat begitu merindu bumi. Dia turun semakin deras.
**
Arga memasukkan memarkir mobilnya di depan pagar. Sengaja pria itu pulang lebih cepat karena ingin memastikan Kiara baik-baik saja. Sebab sejak pagi tadi, perempuan itu tidak mengangkat teleponnya sama sekali.
Arga menyipitkan matanya saat pintu terkunci. Meski dia membawa kunci cadangan, Arga mencoba memanggil nama istrinya terlebih dahulu. Berulangkali dia memanggil, tetapi rumah itu sunyi tak tampak ada seorang pun di dalam.
Kembali Arga mencoba menelepon sang istri, lagi-lagi tak ada jawaban. Pria itu mulai cemas. Dia merogoh kantong celana lalu mengeluarkan anak kunci rumah mereka.
"Kiara! Kiara!" panggilnya setelah berada di dalam.
Arga langsung menuju kamar Kiara mengetuk pintu berkali-kali, tetapi lagi-lagi tak ada sahutan. Khawatir terjadi sesuatu pada istrinya dia mencoba membuka kamar perempuan itu.
Namun, betapa terkejutnya dia saat tak juga mendapati Kiara di sana. Kamar luas itu terasa dingin dan kosong sama seperti tatapan perempuan itu yang beberapa kali dia tangkap.
Arga lalu menuju dapur dan halaman belakang berharap dia ada di sana, tetapi tetap saja tak ada. Hatinya semakin cemas tak tahu bertanya ke mana.
Sempat terpikir untuk bertanya ke kantor Kiara, tetapi dia urungkan karena tentu akan sangat memalukan baginya bertanya keberadaan istrinya kepada orang lain terlebih teman kantor Kiara.
"Kiara kamu di mana?" keluhnya seraya berjalan mondar-mandir. "Mana hujan lagi!"
Seperti teringat sesuatu, Arga melangkah ke samping yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi. Pria itu memijit pelipisnya mengetahui istrinya pergi dengan mobil pribadinya.
Tak ingin berpikir yang bukan-bukan, gegas dia mengayun langkah keluar rumah. Mengunci pintu kemudian setengah berlari masuk kembali ke mobil.
"Bodo amat jika aku terlihat kacau bertanya keberadaan Kiara di kantornya," tuturnya menggumam.
**
Kiara tersenyum saat istri Tarno menyuguhkan segelas teh dengan asap yang masih mengepul. Rumah Tarno yang tak jauh dari komplek pemakaman itu membuat dia bisa dibawa beristirahat di sana.
Aroma teh melati yang diseduh dengan jahe merah membuat nyaman penciuman. Setelah mengucapkan terima kasih, Kiara menyesap perlahan minuman itu.
"Mbak Kiara, lain kali sebaiknya jangan berbuat seperti itu lagi. Kalau Mbak sakit, Mbak akan membuat sedih keluarga, Mbak," ujar Halimah istri Tarno.
Petir yang bersahutan serta hujan yang semakin deras membuat Halimah tergopoh-gopoh mendatanginya tadi. Sempat menolak, tetapi Halimah memaksanya, hingga dia tak lagi membantah. Beruntung dia membawa baju yang biasa dia sediakan di mobil tadi.
"Maaf kalau bikin Bu Halimah khawatir tadi," tuturnya meletakkan gelas di atas meja.
"Mbak, Ibu tahu bagaimana rasanya kehilangan. Ibu sudah ribuan kali melihat orang kehilangan, tapi nggak seperti Mbak."
Kiara kembali tersenyum tipis.
"Mbak, seandainya Mas Satria bisa kembali sejenak, mungkin dia tak akan suka dengan keadaan Mbak sekarang. Dia pasti akan merasakan sangat bersalah karena Mbak mengabaikan keselamatan dan kesehatan, Mbak sendiri," tutur Halimah lembut.
"Mbak nggak sendirian. Banyak orang yang kehilangan, banyak juga yang sayang ke Mbak. Pikirkan juga mereka yang masih ada di sekeliling Mbak."
Hening, suara hujan dan petir seakan berlomba menunjukkan kehebatannya.
"Saya juga pernah kehilangan, Mbak. Sampai saat ini rasanya pun masih seperti dulu. Sakit. Tetapi saya sadar, kalau saya seperti itu terus, kasihan suami saya. Saya empat kali harus mengalami keguguran dan sampai saat ini Tuhan belum memberikan saya kepercayaan lagi, itu juga sakit, Mbak," ungkapnya seraya mengusap air mata yang mulai jatuh.
Halimah kemudian kembali meneruskan ceritanya. Dia bercerita sekaligus seolah ingin menguatkan Kiara dan dirinya sendiri.
"Kita harus bisa menerima apa pun takdir Tuhan, Mbak. Berjalan di atas titian takdir yang telah Dia beri dengan segenap keikhlasan, itu akan membuat kita bisa lebih berani menatap ke depan," ujarnya lagi seraya menatap sang suami yang baru saja bergabung duduk di sebelahnya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top