Mencoba Bersikap Wajar


Bazar sudah dimulai, beraneka ragam barang maupun makanan ditawarkan. Kiara terlihat sibuk mendata ulang beberapa yang baru bergabung di acara itu. Sementara Arga tampak duduk di teras kantor sang istri.

Sebuah panggilan masuk diterima.

"Damar datang besok, Ma?"

"Iya. Rencananya Mama mau buat acara makan malam istimewa di rumah. Istrimu belum pernah ketemu Damar, kan? Dia baru tahu foto dan video call saat kalian menikah, kan?"

"Oke, Ma. Besok pulang kantor kami ke rumah."

Panggilan berakhir. Damar Lazuardi Atmajaya adalah adik semata wayangnya. Memiliki jiwa seni yang kuat membuat dia lebih suka berkecimpung di dunia musik dibandingkan bisnis.

Kuliah musik di luar negeri adalah cara dia mengembangkan bakat. Meski pada awalnya ditentang oleh sang papa, tetapi Damar bisa membuktikan bahwa dirinya tak main-main di dunia yang digelutinya itu.

Damar memang tidak datang saat dia dan Kiara menikah, karena saat itu dia memiliki projek bersama beberapa temannya yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja.

Senyum Arga terbit saat melihat Kiara berjalan ke arahnya. Saat baru saja Kiara sampai di depan Arga, ponsel pria itu itu kembali berdering. Terlihat jelas wajah Astrid tengah tersenyum di sana.

Kiara tersenyum memberi isyarat agar Arga menerima panggilan itu.

"Aku ke dalam dulu. Feel free!" tuturnya melangkah menjauh.

"Kiara! Aku punya beberapa produk baru yang recommended untuk kamu handle dan dipromosikan!" Suara Rendra tiba-tiba muncul di sebelahnya.

Pria bermata tajam dengan rambut gondrong sebahu itu menyerahkan map ke arahnya.

"Kamu udah lihat produknya, Ren?" Kiara menerima sambil membuka map tersebut.

"Ada beberapa, nggak semua, tapi aku yakin produk ini bisa go publik!" paparnya.

"Oke, kita duduk di sana yuk!" Kiara menunjuk sofa yang ada di ruangannya.

Tak lama mereka berdua asyik membahas produk yang dimaksud Rendra.

"Aku mau bantu dana deh untuk produk ini, Ra. Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Aku mau kamu juga turun langsung mempromosikan, atau mungkin bisa dapat suntikan dana lagi!"

"Tenang soal itu, Ren."

Rendra menarik napas lega. Sejenak matanya memperhatikan perempuan di sebelahnya itu.

"Ra."

"Ya?"

"Tumben suamimu mau diajak?"

"Dia sendiri yang mau."

Pria berkaus hitam itu menautkan alisnya kemudian tersenyum datar.

"Selamat ya, Ra. Maaf aku waktu itu nggak bisa lama datang di acaramu."

"It's oke, Ren. Thank you," balasnya membalas tatapan Rendra sejenak kemudian kembali ke  foto produk di tangannya.

"Ra."

"Ya?"

"Kenapa semua seperti terburu-buru?" Rendra memindai wajah cantik di sampingnya.

"Maksud kamu?"

"Kamu seperti terburu-buru menerima pinangan pria itu. Sementara ... well! Aku rasa kamu tahu siapa dia."

"Sori, Ra. Aku bukan penikmat gosip, tapi beberapa kali aku sering melihat dia bersama perempuan lain."

Kiara meletakkan map di atas meja seraya menarik napas panjang.

"Rekan bisnisnya, Ren."

"Rekan bisnis?" Rendra menyeringai sembari mengusap kepalanya, "Aku juga punya rekan bisnis perempuan, Ra. Aku tahu seperti apa gesture menghadapi rekan bisnis dengan yang bukan rekan bisnis."

Kiara menatap Rendra.

"Come on, Ra! Jangan coba menutupi apa yang sudah diketahui publik."

"Publik?"

"Ya, setidaknya ada beberapa orang yang sudah tahu bagaimana hubunganmu dengan Arga. Sebab ...."

"Sebab?"

"Berkali-kali di tempat umum dengan perempuan yang sama, apakah itu yang dinamakan rekan bisnis?" sindirnya membalas tatapan Kiara.

Kiara membuang pandangan ke arah lain.

"Ra, aku tahu kamu sedang menyembunyikan ini semua sendiri. Kamu nggak bisa menyiksa diri seperti ini, Ra. Kamu kenapa sih?"

"Bisa kita kembali membicarakan soal kerjaan, Ren?"

Rendra menghela napasnya.

"Oke, kita bahas soal pekerjaan, tapi jangan salahkan aku kalau lain waktu aku akan langsung tanyakan itu ke suamimu!" ujarnya seraya mengepalkan tangan.

"Rendra tolong! Biarkan ini semua tetap jadi urusanku."

"Tapi kamu nggak pantas diperlakukan seperti itu, Ra!"

"I know, Ren! Kalau kamu peduli, tolong biarkan aku menyelesaikan semuanya dengan caraku."

Kiara menatap dengan pandangan memohon.

"Kiara!" Arga terlihat berada di depan pintu. Pria itu tampak heran melihat wajah sang istri seperti sedang bersedih.

"Kamu kenapa?" tanyanya mendekat.

"Aku nggak apa-apa, Mas," jawabnya seraya bangkit. "Oh iya, kenalin, ini Rendra. Dia salah satu orang yang mendukung apa pun yang kulakukan yang berhubungan dengan kegiatan UKM."

Rendra bangkit menjabat tangan Arga. Hampir tak ada senyum di bibir pria berambut gondrong itu. Setelah saling menyebutkan nama, Rendra menatap Kiara

"Oke, Ra. Aku mau ketemu Niken sama Fia dulu. See you!"

"Thank you, Ren! See you!"

Kiara menatap punggung Rendra hingga menghilang di balik pintu. Sementara Arga terlihat mengamati paras sang istri.

"Sepertinya dia dekat denganmu."

Kiara mengangguk.

"Kami memang dekat," timpalnya.

"Oh ya? Sedekat apa?"

Mengedikkan bahu, Kiara menjawab, "Sedekat yang Mas lihat."

Arga tersenyum tipis.

"Oh iya, besok sore pulang kerja aku jemput ya?"

"Ada apa?"

"Damar datang besok pagi. Mama ngundang kita makan malam. Kamu bisa, kan?"

Kiara mengangguk, "Oke. Kalau begitu besok aku nggak bawa mobil. Kita ke rumah Mama satu mobil, kan?"

"Iya dong, Ra. Masa sendiri-sendiri?"

Kembali perempuan berhidung mancung itu tersenyum.

"Kita makan siang? Mas mau makan apa? Ada banyak makanan ditawarkan di bazar."

"Menurut kamu, apa menu yang cocok siang ini?"

Tersenyum lebar, Kiara memberi isyarat agar Arga mengikutinya.

"Mas bisa pilih sendiri menu apa untuk dinikmati siang ini."

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong bazar. Sepanjang perjalanan banyak mata tak lepas memandang. Tampak ada beberapa orang yang saling berbisik kemudian kembali menatap keduanya.

"Kenapa mereka menatap kita seperti itu?" Arga mendekatkan bibirnya ke telinga Kiara.

"Bukan kita, lebih tepatnya kamu, Mas," balasnya tersenyum kecil.

"Emang ada yang aneh dariku?"

Mengedikkan bahu, Kiara menjawab, "Mungkin mereka baru kali melihat penampakan Arga Lazuardi Atmajaya dari dekat."

Arga mengusap wajahnya kemudian tersenyum tipis.

"Oke, jadi kita makan apa? Bisa nggak di tempat yang aku aman melahap makan siangku kali ini?"

Mendengar ucapan sang suami, Kiara tertawa kecil kemudian menunjuk satu gerai makanan khas Makassar.

"Suka makan coto Makassar? Nggak punya riwayat kolesterol, kan?" tanyanya dengan wajah jenaka.

Kedua alis Arga terangkat sambil tertawa dia berkata, "Apa aku sudah setua itu untuk memiliki kolesterol?"

Kiara mengulum senyum.

"Oke, kita makan di sana aja!"

Duduk bersebelahan mereka menikmati hidangan khas Makassar itu. Berkali-kali Arga memuji pilihan Kiara untuk makan siang hari itu.

"Aku pernah beberapa kali menikmati makanan ini, tapi belum pernah seenak ini!" tuturnya seraya kembali menikmatinya hidangan di depannya.

"Menurut empunya depot ini, untuk membuat coto Makassar diperlukan sekitar 40 rempah tradisional yang biasa disebut ampah patang pulo. Rempah- rempah tersebut di antaranya cengkeh, kemiri, sereh, pala, foeli, merica, lengkuas, bawang merah, bawang putih, jintan, dan masih banyak lagi," papar Kiara antusias. "Dan coto buatan Pak Amran ini memang sudah puluhan tahun berdiri. Jadi nggak heran kalau rasanya nggak ada yang bisa ngalahin!"

Arga tersenyum mendengar penjelasan sang istri.

"Aku suka kalau kamu sedang antusias seperti ini, Ra!" pujinya seraya menatap hangat.

Terpaku sejenak, dia kemudian menggeleng. Tak ingin lebih lama diperhatikan, Kiara mengalihkan pembicaraan.

"Mas setelah ini kita pulang aja."

"Loh kok? Kan acara belum selesai?"

"Udah kok. Tinggal penutupan sore nanti. Biar Rendra atau Niken atau bisa juga Fia. Kenapa? Mas masih mau di sini atau ...."

"Oh nggak. Aku ikut aja apa yang kamu mau hari ini."

Kiara menaikkan alisnya tersenyum mendengar ucapan sang suami.

"Loh, Arga ya? Wah, tumben ada di sini, Mas!" Suara seseorang yang baru saja duduk di gerai itu mengulurkan tangan mengajak Arga berjabatan.

Arga menyipitkan matanya mencoba mengingat pria berkemeja putih di depannya.

"Lupa? Aku Bram, teman Astrid," tuturnya tersenyum tipis.

"Ah iya. Sori! Sudah lama nggak ketemu jadi ...."

"It's oke! Aku paham. Seorang pebisnis kadang kebanyakan urusan. Jadi kalau lupa nama ... itu wajar," balasnya dengan tawa.

Sejenak kemudian dia memindai Kiara intens.

"Dia siapa? Gebetan baru? Astrid mana?" tanya menyelidik.

**



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top