Mencari Jawaban


Liara mengusap bahu putrinya.

"Ra, kami janji nggak akan lagi memaksa kehendak kami atas nama bahagiamu. Kamu lebih tahu di mana kamu bisa bahagia, Nak."

Bibir Kiara tertarik lebar kemudian mengangguk.

"Makasih, Ma. Makasih Papa juga Mas Gilang, Mas Angga. Kiara cuma minta suport aja. Biarkan waktu yang akan menjawab seperti apa ujung dari masalah ini."

Gilang mengangguk.

"Kita lihat apa yang akan dilakukan Arga. Apa keputusannya! Mas harap dia nggak terlalu lama memutuskan ini semua. Kamu juga, Ra! Pikirkan apa yang harus kamu perbuat untuk segera menyelesaikan hal ini," ucap Gilang.

"Iya, Mas."

Kiara beringsut dari duduk meminta izin untuk beristirahat.

"Iya, Ra. Kamu memang harus istirahat. Ingat, masalah memang harus diselesaikan, tapi tetap jaga kondisimu. Mama nggak mau kamu sakit lagi seperti waktu itu!"

"Iya, Ma."

"Sakit, Ma? Kiara sakit?" Angga menatap mamanya penuh tanya. "Sakit apa, Ra?" Kenapa Mama nggak kasi kabar?"

Sambil tersenyum, Liara lalu menjelaskan bahwa kondisi Kiara sempat menurun pekan lalu.

"Itu karena kondisinya yang terlalu lelah dan makan yang tidak teratur," tutur Liara.

"Yakin cuma itu penyebabnya, Ma?" selidik Angga.

Kakak keduanya itu menatap Kiara yang mengurungkan niatnya menuju kamar.

"Mas yakin itu juga disebabkan karena Arga, kan? Kamu menyimpannya sendirian, Ra. Dan itu berpengaruh pada pola makan dan pola tidur sehingga kamu sakit. Iya, kan?" cecarnya.

"Mas Angga, udah deh! Kiara sekarang udah nggak apa-apa kok! Lagian memang kemarin itu Kiara sibuk banget."

Angga diam, meski adiknya mengelak, tetapi dia tahu siapa Kiara. Terlebih setelah Satria meninggal. Kiara menjadi sangat tertutup untuk urusan pribadinya.

"Oke. Mas paham. Kamu istirahat sekarang!"

Senyum tercetak di bibirnya. Setelah mengucapkan terima kasih pada Angga dia melangkah meninggalkan ruangan itu.

**

Kiara merebahkan tubuhnya di ranjang. Semenjak menikah dia tak pernah lagi menikmati ranjang di rumahnya. Nyaman! Itu yang dia rasakan saat ini. Berada di rumah dikelilingi oleh kedua orang tua dan kakaknya membuat dirinya merasa dilindungi.

Sejenak dia ingin melupakan masalah yang membelit. Kiara memasang headset lalu memejamkan mata menikmati alunan musik kesukaannya.

Sementara di kamar yang lain yang berjarak puluhan kilometer, Arga justru tak bisa memejamkan mata sedikit pun. Berjalan mondar-mandir di kamarnya lalu kemudian duduk di sofa menatap ponsel lalu kembali meletakkan di meja. Hampir tiga jam dia melakukan hal yang sama.

Melihat ke arloji, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Arga bangkit menyambar jaket dan kunci mobil bergegas keluar kamar. Dengan berlari kecil Arga menuruni anak tangga.

"Mau kemana, Ga?" tanya Dira.

"Mau pulang, Ma."

"Pulang?"

"Arga pulang ke rumah Arga, Ma. Di sana mungkin Arga lebih bisa berpikir jernih."

"Butuh teman, Mas?" tanya Damar yang duduk di depan televisi.

Mengangkat bahu, Arga berkata, "Lain kali aja. Mas mau sendiri." Dia lalu mencium punggung tangan mamanya. "Sampaikan ke Papa, Ma. Arga tinggal di sana aja."

Dira mengangguk sambil berpesan agar putranya tidak lupa untuk makan.

**

Arga berhenti tepat di depan rumah. Sesungguhnya dalam hati kecil dia berharap keajaiban. Arga berharap Kiara ada di dalam sana dan tengah memasak makan malam untuknya.

Namun, harap tetap sepertinya hanya sekadar harap. Karena tak ada tanda kehidupan di rumah mereka. Sunyi seperti hatinya saat ini.

Melihat dari luar saja sudah terasa bagaimana senyapnya suasana di dalam, terlebih jika masuk ke sana.

Biasanya selalu dia temui senyuman hangat yang selalu tercetak indah dari bibir Kiara. Sapa hangatnya dan betapa sigap perempuan itu menyiapkan makan untuknya.

Arga merindu. Merindu cerita yang keluar dari bibir Kiara tentang kegiatannya yang banyak memberikan senyum untuk orang lain.

Mengingat itu semua, Arga menarik napas dalam-dalam kemudian keluar dari mobil.

"Malam, Pak Arga." Sebuah sapaan membuatnya menoleh.

"Malam. Oh, Pak Bagus. Ada apa, Pak?" tanyanya menatap pria yang bertugas menjaga keamanan di kompleknya.

"Maaf, Pak Arga. Bu Kiara tadi sore menitipkan kunci ini ke saya. Beliau berpesan supaya kunci ini diberikan ke Bapak," jelasnya seraya memberikan kunci ke tangan Arga.

"Jadi istri saya menitipkan kunci ini ke Pak Bagus?"

"Iya, Pak."

Seketika Arga merasa semesta menghukum. Kiara benar-benar tak ingin lagi berhubungan dengannya.

"Eum ... apa dia menitipkan pesan untuk saya atau bicara sesuatu soal kunci ini?"

Pria berambut kelabu itu menggeleng sopan seraya berkata, "Tidak, Pak. Bu Kiara hanya meminta maaf kepada saya. Itu saja."

Mengembuskan napas perlahan Arga mengangguk.

"Oke, Pak. Terima kasih," ujarnya seraya tersenyum tipis.

Pria berseragam biru gelap itu memohon diri meninggalkan Arga. Kembali sunyi. Dia menatap kunci rumah yang ada di tangannya. Berkali-kali dia menarik napas panjang lalu menggeleng pelan.

"Aku nggak akan berhenti di sini, Ra. Biar bagaimanapun caranya, aku nggak akan berhenti!" gumamnya kemudian membuka pagar.

Arga menyalakan lampu. Seperti yang dia pikirkan, rumah itu sunyi. Meski begitu masih tercium aroma citrus kesukaan Kiara di rumah itu. Bibirnya sedikit terangkat, tetapi kemudian kembali murung saat matanya menangkap foto mereka di pigura yang tertempel di dinding.

Foto kenangan saat mereka menikah. Kiara benar-benar sangat pintar menyembunyikan kesedihan. Bahkan sorot matanya saat itu tak tersirat kekecewaan.

Terngiang kembali suara dan semua ceritanya yang sering dia bagi. Senyum tulusnya yang selalu bisa meneduhkan, dan kini dia telah kehilangan semua itu.

Arga merasa oksigen di tempat itu menipis. Dadanya terasa sesak. Dia lalu melangkah ke ruang tengah. Pintu kamar Kiara yang biasanya selalu tertutup kini terbuka lebar. Lagi-lagi Arga harus melawan sepi.

Pria itu masuk ke kamar yang beberapa waktu lalu masih berpenghuni. Bahkan kemarin malam mereka berdua telah melebur dan saling bertukar rasa yang indah.

Arga kembali melanjutkan langkah ke lemari. Kosong! Padahal dia berharap ada setidaknya pesan dari Kiara untuknya. Atau satu dua helai baju yang dia harapkan tertinggal di sana, tetapi tidak. Tidak ada satu pun yang tersisa.

Kiara benar-benar pergi.

**

Kiara terkejut melihat jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi. Biasanya dia bisa bangun lebih awal. Akan tetapi, hampir semalaman dia tidak bisa tidur, dan hal itu membuat kepalanya terasa berat. Memaksa untuk bangun untuk kemudian saat Subuh.

Setelah menjalankan kewajiban, dia memutuskan untuk ke dapur membuat minuman hangat. Seperti biasa, meski ada pembantu rumah tangga dia memilih membuat minumannya sendiri. Kiara tidak mau terlalu tergantung pada Yuk Jum-- pembantu rumah tangga keluarganya.

"Mbak Kiara kenapa?" tanya perempuan berbaju merah yang tengah sibuk membuat sarapan.

"Nggak apa-apa, Yuk. Cuma sedikit sakit kepala aja. Semalam saya nggak bisa tidur," jelasnya seraya mengambil lemon dari lemari es.

Yuk Jum yang sejak kecil bekerja di rumah Kiara itu tersenyum. Dia tahu kebiasaan anak perempuan majikannya itu jika sedang ada yang dipikirkan.

"Pasti lagi mikirin sesuatu ya, Mbak?" tebaknya saat Kiara mengiris lemon.

Menoleh sejenak, Kiara kembali pada lemonnya.

"Nggak, Yuk. Cuma mungkin terlalu capek aja mungkin."

Dia lalu mengambil sesendok madu lalu di masukkan ke dalam air lemon hangat.

"Mbak mau sarapan apa?"

Mengedikkan bahu Kiara berkata, "Apa aja, Yuk. Apa yang Yuk Jum sediakan nanti saya makan," balasnya tersenyum. "Eum, saya balik ke kamar ya, Yuk."

"Iya, Mbak. Nanti kalau waktunya sarapan, Yuk Jum panggil."

Kiara mengangguk membawa gelas lemon hangatnya ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Pak Hasan tukang kebunnya masuk rumah dari pintu dapur.

"Mbak Kiara!" panggilnya dengan wajah ragu.

"Ada apa, Pak?"

"Eum ... maafin Bapak ya. Di luar ada itu, ada Mas Arga. Katanya mau ketemu sama Mbak Kiara."

Kiara terpaku di tempatnya menatap pria berpeci hitam yang berdiri tepat di pintu dapur. Arga ada di luar? Sepagi ini? Nggak biasanya pria itu terbangun saat matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya.

"Maaf ya, Mbak. Saya terpaksa membiarkan Mas Arga di luar pagar karena Pak Atma kemarin berpesan untuk sementara melarang saya mengizinkan Mas Arga untuk masuk sebelum ada pemberitahuan dari beliau lagi," terangnya dengan suara lirih seolah khawatir didengar oleh Heru.

"Gimana, Mbak?"

Kiara menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Lakukan apa yang Papa inginkan, Pak."

"Jadi, Mas Arga saya ...."

"Nanti saya nemuin, Pak! Di mana dia?"

Kiara menelan ludah melihat Gilang sudah berada di tengah-tengah mereka.

"Di luar pagar, Mas," sahut Hasan sopan.

"Kiara, balik ke kamar!" titah Gilang seraya memberi isyarat dengan kepalanya.

"Mas mau ke mana? Mas mau nemuin Mas Arga?"

"Iya."

"Bicara baik-baik aja sama dia ya, Mas. Kiara nggak mau ada keributan," mohonnya.

"Kamu tenang aja, Ra. Mas tahu apa yang harus dilakukan."

Gilang melangkah melewati Kiara yang menatapnya ragu hingga pria itu menghilang di balik pintu.

**






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top