Ketegasan Kiara
Mobil perlahan masuk ke pekarangan rumah Arga. Mata Kiara menyipit melihat kendaraan roda empat yang tak asing baginya. Kendaraan buatan Jerman berwarna hitam metalik itu adalah mobil papanya.
Perasaannya semakin berantakan membayangkan apa yang terjadi di dalam nanti. Baik mama maupun papanya pasti marah saat mengetahui kelakuannya. Habis sudah semua pencitraan yang dia coba tutupi di depan kedua orang tuanya.
Arga menangkap kegelisahan pada istrinya. Dia tahu ada mertuanya juga di dalam setelah melihat mobil di depannya.
"Kiara, are you oke?"
Perempuan yang memiliki bulu mata lentik itu bergeming. Tatapannya kosong lurus ke depan.
"Kiara?" kembali Arga mengulang kali ini dengan memiringkan tubuhnya menghadap sang istri.
"Aku baik-baik aja," jawabnya seraya menghela napas dalam-dalam. "Kenapa begitu rumit saat semua kupikir akan berjalan baik di depan mereka?" sambungnya memejamkan mata menahan hangat air yang menggenang di pelupuk.
Arga mencoba meraih tangan Kiara, tetapi perempuan itu menjauhkan tangannya lalu mengusap air mata yang sudah mulai turun.
Membuang napas perlahan, Arga melepas sabuk pengaman.
"Kita masuk sekarang?" tanyanya menatap sang istri.
"Oke!" jawab Kiara seraya merapikan rambutnya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu. Terlihat di wajah keduanya keresahan yang mendalam.
Mereka sampai ke ruang tamu. Seperti yang diduga Kiara, kedua orang tuanya juga telah berasa di tempat itu. Tak ada senyum hangat di bibir mamanya, demikian pula dengan papanya. Sementara kedua mertuanya justru menyunggingkan senyum pada Kiara.
"Duduk sini, Kiara!" titah Dira menepuk ruang kosong di sampingnya.
Mengangguk dia mengikuti ucapan perempuan paruh baya itu. Sementara Arga duduk berseberangan dengan papanya. Sejenak ruangan besar itu hening.
"Kamu pasti sudah tahu apa maksud dan tujuan kami memanggilmu ke sini, kan, Ga?" Suara Atma memecah keheningan.
"Ya, Pa."
"Bagus! Kalau begitu Papa nggak perlu mengulang kronologinya. Cukup kamu jelaskan kenapa kalian yang seharusnya bersama ke Raja Ampat justru asyik dengan kegiatan kalian sendiri-sendiri?"
Arga mengusap wajahnya.
"Maafin Arga, Pa."
"Papa nggak mau mendengar kalimat itu sekarang. Kami semua di sini ingin mendengar jawaban dari pertanyaan tadi!" tegasnya.
Mata pria berkaus polo putih itu mengedar ke semua orang yang ada di ruangan tersebut. Sejenak tatapannya berhenti ke Kiara. Perempuan yang baru dinikahinya dalam hitungan minggu itu tak disangka juga tengah menatapnya.
"Mama, Papa, boleh Kiara bicara?" tanyanya seraya menatap mertua dan kedua orang tuanya bergantian.
"Boleh, Sayang. Bicaralah!" Dira tersenyum tangannya mengusap lembut bahu menantunya
"Sebelumnya Kiara minta maaf karena saat itu Kiara sudah punya schedule yang nggak mungkin Kiara tinggal hari itu. Jadi Kiara meminta Mas Arga untuk pergi lebih dahulu."
Kiara menatap satu per satu yang ada di ruangan itu. Lagi-lagi matanya bersirobok dengan mata milik sang suami. Terlihat Arga canggung membalas tatapan itu. Wajahnya sulit diartikan ketika dengan meyakinkan Kiara bisa membuat semua orang percaya.
Dengan ketenangan yang luar biasa dia bisa dengan tenang menceritakan hal yang seharusnya bisa membuat Arga disuruh angkat kaki dari rumah itu.
"Jadi kamu menyusul berangkat ke sana, Ra?" tanya Liara mamanya.
"Iya, Ma. Seperti yang Kiara ceritakan tadi, Ma. Kami ketemu di sana."
Tarikan napas lega terdengar dari semua yang sejak tadi menunggu penjelasan soal bulan madu. Akan tetapi, wajah Dira seolah menangkap hal yang disembunyikan oleh Kiara.
"Kamu yakin dengan apa yang kamu ceritakan tadi, Kiara?" bisiknya sangat lirih.
Mengangguk Kiara berkata, "Yakin, Ma."
Suasana kembali cair, Dira mengajak tamunya untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan di ruang makan. Saat semuanya menuju ruang makan, Kiara menghela napas lega.
"Kiara."
Terperanjat dia menoleh ke arah samping. Perempuan itu mendongak karena Arga berdiri di sampingnya.
"Ada apa?"
"Bisa kita bicara di taman?"
Mengulas senyum manis, dia mengangguk. Arga meraih tangan sang istri mengajaknya ke halaman samping rumah keluarga Atmajaya. Pelan Kiara menepis tangan Arga, hal itu membuatnya menatap sang istri. Ditatap sedemikian rupa, Kiara tersenyum manis.
"Kita jadi ke halaman samping, kan?"
Arga mengangguk dengan senyum kaku dia melangkah mendahului Kiara.
Temaram lampu taman dengan gemericik air kolam serta aneka bunga anggrek tidak mewakili perasaan keduanya.
Duduk berdampingan di depan kolam renang mereka saling diam.
"Kenapa kamu bicara seperti tadi?" Arga bertanya dengan mata memindai Kiara yang menatap lurus ke arah kolam.
Tak menoleh, dia tersenyum tipis.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Mas?"
"Tentu. Mau tanya apa?"
"Menurut Mas, apa yang Mas lakukan bersama Astrid itu sesuatu yang baik atau buruk?" tanyanya masih enggan menoleh.
Arga menarik napas perlahan. Tampak kepalanya terangguk dengan tangan memijit pelipis.
"Maafkan aku, Kiara.
"Sama seperti Papa tadi. Aku nggak butuh kata itu. Toh Mas tahu aku sudah memberi maaf sejak awal tentang apa pun itu," tegasnya.
"Tolong Mas jawab pertanyaanku barusan!"
Terdengar Arga membuang napas perlahan.
"Buruk!" balasnya dengan rahang mengeras. "Oke aku tahu aku salah, kenapa tadi kamu tidak membiarkan aku berkata yang sesungguhnya? Kenapa kamu menutupi kesalahanku. Kenapa? Kamu berbuat seperti seorang malaikat yang melindungiku. Sementara justru kamu sendiri yang mempersilakan aku pergi bersama Astrid? Kenapa Kiara? Apa maksud kamu?" cecarnya dengan mata berkilat menahan amarah.
Masih tak menoleh, Kiara mengedipkan matanya membiarkan bulir bening yang jatuh.
"Tidak semua permasalahan diumbar apalagi yang menyangkut permasalahan rumah tangga. Meskipun bercerita dengan orang tua. Sebagai seorang istri harus selektif untuk berbagi hal-hal privasi yang baik kepada orang lain, termasuk untuk aib suami. Karena seorang istri berkewajiban untuk menjaga aib suami!" tegasnya masih dengan posisi menatap kolam renang di depannya.
"Aku pikir Mas paham seperti apa konsep pernikahan, Mas. Tapi ternyata sama sekali tidak terbesit di kepala Mas untuk paling tidak memberi jeda sebentar sebelum akhirnya kita berpisah seperti yang ada di kepala Mas!"
Arga terpaku mendengar perkataan istrinya. Tak menyangka akan mendapatkan jawaban di luar dugaan.
"Sejak Mas menjabat tangan papaku, sejak itu pula hal yang wajib tentang pernikahan otomatis terikat. Termasuk menyembunyikan kekurangan dalam pernikahan ini."
"Aku nggak minta hakku sama sekali, Mas. Aku hanya minta beri kesempatan untuk menunjukkan seperti apa kita bersikap meski dengan orang yang sama sekali tidak Mas cintai!"
Kali ini air muka Arga memerah dengan rahang tampak semakin mengeras.
"Jadi maksudmu aku kurang bersikap baik terhadapmu? Begitu?"
"Mas bisa mencerna ucapanku, kan?" sahutnya tenang. "Tolong dicerna dengan baik. Apa ada aku bicara bahwa Mas tidak memperlakukan aku dengan baik?"
"Ck! Mau kamu apa sih! Kamu bilang soal kewajiban seorang istri. Itu artinya kamu mengakui aku sebagai suamimu, kan? Tapi kenapa saat kutanya tentang masa lalumu, kamu justru menolak kuaggap istri! Apa-apaan sih kamu, Kiara!"
Kiara menoleh ke pria di sampingnya. Tak ada yang kurang dari tampilan Arga, pun demikian dengan pekerjaan dan penghasilan dia. Semua lebih dari cukup.
"Dengar, Mas. Alasanku tetap seperti yang diungkapkan barusan!" timpalnya kembali. "Sebagai seorang istri, aku harus menyembunyikan aib suami. Cuma itu. Kalau Mas rasa aku salah, maaf."
Kiara bangun dari duduknya.
"Kamu mau ke mana?"
"Masuk. Apa Mas masih belum selesai mengungkapkan kemarahan?"
Menarik napas dalam-dalam Arga ikut bangkit.
"Baik. Aku ucapkan terima kasih untuk apa yang kamu lakukan tadi. Katakan kalau suatu saat kamu membutuhkan bantuanku."
Menyungging senyum Kiara menggeleng, "Nggak perlu berterima kasih. Mas nggak berpikir kan kalau ucapanku tadi juga sudah menyelamatkan Astrid dari tuduhan yang bukan-bukan yang pasti akan ditujukan padanya andai keluarga Mas tahu?"
Arga kembali terpaku. Dia masih berdiri di tempatnya dengan mata menatap punggung sang istri yang menjauh.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top