Ketahuan

Menjelang senja Kiara berkemas pulang. Dua rekannya sudah terlebih dahulu meninggalkan lokasi. Mendung terlihat menggantung membuat warna saga di langit berganti abu-abu.

Setelah dirasa semua barang sudah terkemas di tas besar miliknya, dia segera merogoh tas mengambil ponsel untuk memesan taksi online.

"Suami kamu nggak jemput?" Suara seseorang dari belakang mengejutkannya.

Kiara berbalik. Senyumnya terbit melihat Rendra tengah mengawasinya.

"Hai, Ren. Apa kabar?"

"Fine!"

"Syukurlah." Kiara kembali ke ponselnya.

"Ara."

"Ya?" Kiara mengangkat wajahnya membalas tatapan Rendra.

"You are in trouble, Kiara?" selidiknya.

Kiara kembali tersenyum. Kali ini dia menggeleng seraya berkata, "Nggak, Ren. Aku baik kok. Kenapa kamu berpikir begitu?"

Rendra tak menjawab. Dia tetap menatap perempuan yang sejak lama dia kagumi.

"Kamu nggak bohong, kan?"

"Aku baik, Ren. Kamu kenapa sih? Nggak biasanya kek gini!"

"I saw him with another women today!" tuturnya dengan ekspresi datar.

"Who? Maksud kamu apa, Ren?" tanya Kiara dengan dahi berkerut.

"Suamimu! Aku lihat dia tadi."

Kiara tersenyum tipis.

"Dia sedang meeting, Ren. Aku tahu kok."

"Meeting?"

"He emh."

"Berdua saja? Di restoran?"

Pertanyaan Rendra membuatnya mengunci mulut.

"Taksiku udah sampai. Eum, aku balik dulu ya." Gegas dia meraih tas besar lalu melangkah ke pintu.

"Kiara, tunggu!"

Membalikkan badan dia menatap Rendra. Pria itu terlihat serius. Tatapannya tajam seperti hendak menguliti Kiara hidup-hidup.

"Kamu bahagia?"

"Yes, sure!"

"Secepat itu?"

Perempuan bermata indah itu memejamkan matanya sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa? Apa salah kalau aku bahagia, Ren?"

"Nggak salah, Ra. Aku akan bahagia kalau kamu bahagia, tapi akan salah kalau kamu hanya berpura-pura!"

Kembali Kiara menarik napas dalam-dalam.

"Taksiku sudah menunggu. Percayalah, aku baik-baik aja dan happy!" ucapnya seraya melihat ke arah arloji.

"Makasih ya, Ren. Kamu bisa dan mau terlibat di acara ini."

Rendra mengangguk pelan.

Setelah mengucapkan salam, Kiara bergegas melangkah keluar dan segera menghampiri taksi yang sudah dia pesan. Sementara Rendra mengiringi dengan tatapan sulit diartikan.

**

Arga meletakkan ponsel ke meja. Rinai mulai deras, guntur ikut menggelegar. Sama dengan perasaannya saat ini. Pertanyaan bertubi-tubi dari mamanya membuat dia mati kutu.

Dia bangkit menuju kamar dengan meninggalkan jas dan dasinya di sofa. Mandi adalah keinginannya agar bisa segar dan berpikir dengan baik. Pertanyaan sang mama tentang bulan madu telah membuat dia bertanya-tanya juga.

Bagaimana bisa foto Kiara ada di majalah terbitan lokal dan terbaca oleh mamanya? Bukankah istrinya itu telah berjanji untuk menyembunyikan dirinya sampai dia kembali dari Raja Ampat?

Terdengar mobil berhenti di depan rumah. Arga tahu Kiara datang. Dia mengurungkan niat untuk mandi.

Melangkah cepat pria itu membuka pintu rumah untuk sang istri.

"Hai, kehujanan?" sambutnya.

"Nggak, kan naik mobil," sahutnya seraya menyibak rambutnya yang tak beraturan.

"Aku tahu, tapi kenapa nggak panggil aku untuk bawain payung? Jadi nggak basah begini."

Kiara tersenyum. Dengan tas besar di bahu dia terlihat ringkih, belum lagi beberapa map yang ada di pelukannya.

"Sini kubantu!" Arga meraih tas besar dari bahu sang istri setelah itu dia menutup pintu kembali.

"Thanks."

"No problem! Kamu mandi gih! Nanti masuk angin."

Mendengar saran dari Arga, Kiara menyipitkan matanya.

"Mas baru datang?"

"Iya, eum ... nggak juga sih, lumayan."

Meletakkan map.di meja, Kiara mendaratkan tubuhnya di sofa.

"Tas ini aku letakkan di ...."

"Sini aja, Mas. Makasih." Dia menepuk ruang kosong di sebelahnya.

"Kiara."

"Ya?"

Membalas tatapan Kiara, Arga duduk di sebelah tas besar milik istrinya.

"Ada yang ingin kutanyakan."

"Soal?"

Pria yang telah melepas kancing kemejanya sebagian itu meraih ponsel dari meja.

"Ini apa? Bisa kamu jelaskan?" tanyanya menyodorkan benda itu ke sang istri.

"Ada apa, Mas?"

"Kamu lihat di situ. Ada foto kamu."

Matanya membulat melihat fotonya saat berjalan bersama kakek tua ketika itu.

"Mama sudah tahu. Media lokal sudah memuatnya, dan Mama sudah tahu!"

Wajah Kiara pias seketika. Dia tak menyangka jika ada wartawan yang mengambil gambarnya kala itu.

"Mama tadi telepon. Beliau tahu kamu sedang sibuk jadi memilih menghubungi aku."

Kiara bergeming.

"Kita malam ini diminta ke rumah. Papa juga Mama ...." Arga menggantung kalimatnya. "Kiara, ini sejak awal adalah kesalahanku. Biar aku saja yang akan bicara ke mereka."

"Maafin aku, Mas. Tapi aku benar-benar nggak tahu kalau ternyata mereka tahu aku. Padahal aku sudah ...."

"Aku percaya ke kamu. Sudahlah! Semua sudah terjadi, kita harus hadapi."

Kiara tertunduk. Pikirannya kini berlabuh kepada kedua orang tuanya. Cepat atau lambat mereka pun akan tahu. Dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka. Wajah kecewa keduanya membayang di pelupuk. Belum lagi wajah kedua kakaknya yang kala itu sangat bahagia mengetahui dirinya setuju dengan ide pernikahan oleh kedua orang tuanya.

Matanya mulai berkaca-kaca. Berjuta kalimat tak sanggup dia susun untuk mencari alasan. Bukti foto sudah jelas tak bisa dia mengelak.

"Kiara?"

"Aku mau ke kamar dulu," pamitnya kemudian bangkit.

"Oke. Eum ... jam tujuh nanti kita ke rumah Papa. Kalau kamu lelah biar aku aja yang ...."

"Aku nggak lelah!" potongnya seraya menjauh.

**

Senyap. Tak ada pembicaraan yang keluar dari keduanya. Kiara menatap lurus ke depan, demikian pula dengan Arga. Pria itu terlihat resah mengingat sudah pasti dia akan disalahkan atas hal ini.

Sejak tadi ponsel Arga berbunyi, tetapi tak sekali pun pria itu menanggapi. Arga hanya fokus mengemudi.

"Mas, telepon," ujar Kiara menatap sang suami.

"Biarkan aja."

"Kalau penting bagaimana?"

"Kiara, sekarang nggak ada yang lebih penting dari pertemuan dengan keluargaku. Aku bingung harus berkata apa. Jujur pun aku pikir kamu tetap kena imbasnya," keluhnya.

Suasana kembali sepi. Hujan senja tadi masih menyisakan rintik. Sementara di sisi kiri dan kanan jalan banyak orang menjajakan dagangannya di bawah payung lebar.

"Maafin aku sekali lagi. Ini semua bukan kesengajaan."

Arga tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Aku tahu."

Mereka kembali saling diam.

"Mas."

"Ya?"

"Mas mencintai Astrid, kan?"

Arga tak menjawab. Meski dia tahu sang istri paham dengan perasaannya, tetapi tetap saja dia merasa bersalah jika mengatakan hal yang sesungguhnya.

"Kenapa kamu tanyakan itu?"

Kiara tersenyum. 

"Aku tahu rasanya jatuh cinta tapi nggak bisa bersama. Pasti sakit. Itu juga yang dirasakan Astrid."

Gerimis masih menyertai perjalanan mereka.

"Kenapa Mas nggak menikah saja. Kenapa waktu itu Mas nggak bersikeras menolak?"

Mendengar pertanyaan dari Kiara, bibirnya sedikit terangkat.

"Restu, Ra. Mungkin aku bukan termasuk yang percaya kepada mitos anak pertama yang mereka yakini, tetapi untuk restu, aku pikir hal ini nggak boleh dibuat main-main."

"Aku rasa pemikiran kita sama, kan?"

Kiara mengangguk pelan. Dia lalu menatap pemandangan ke luar jendela.

"Kiara, seperti yang aku pernah bilang, aku sama sekali nggak tahu soal pribadimu. Aku hanya tahu sepak terjangmu di dunia bisnis dan sosial tentu saja. Eum ... kamu nggak berminat bercerita soal pribadimu?"

Perempuan berbaju biru langit itu menoleh. Bibirnya tersungging senyuman.

"Nggak. Soal itu biar jadi rahasiaku."

"Tapi bukankah aku berhak tahu?"

"Tentu saja tidak!"

"Tidak? Kenapa? Aku suamimu, Ra."

Senyum Kiara melebar.

"Suami? Yakin?"

Arga terdiam. Ucapan sang istri benar-benar membuatnya tersindir.

"Maaf," gumam Arga seraya menaikkan kecepatan mobilnya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top