Kembali


Suara siulan terdengar dari ceret di atas kompor. Sigap perempuan berambut sepunggung itu menuang ke cangkir yang telah diisi jahe. Aroma rimpang yang memiliki banyak khasiat itu menguar seketika. Perempuan itu lalu mengambil sendok kayu kemudian menuangkan sesendok madu ke dalam cangkir tadi.

Perempuan itu kemudian melirik jam dinding. Masih terlalu pagi untuk membangunkan kedua sahabatnya. Semalam mereka berbincang hingga dini hari sehingga setelah salat subuh mereka kembali meringkuk di balik selimut.

Kiara membuka pintu balkon. Menikmati munculnya mentari merasakan segar udara pagi. Duduk di kursi besi berukir, ditemani secangkir jahe hangat adalah favoritnya.

Ponsel yang sejak tadi dia pegang bergetar. Alarm reminder berbunyi. Hari ini adalah ulang tahun Satria. Pria yang semua kenangan tentangnya masih tersimpan rapi di hatinya. Ada sesal menjalar mengusik pagi itu. Tanpa terasa air matanya menetes.

"Happy birthday,  Satria," tuturnya lirih seraya mengusap pipinya.

Sentuhan di bahu membuat Kiara menoleh.

"Are you oke, Ra?"

Kiara mengangguk.

"Sudah bangun?"

"Aku nggak sekebo Fia," kelakarnya kemudian duduk di samping Kiara.

"Kamu nangis?"

Kiara tak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis dan menatap lurus.

"Satria, kan? Kamu mengingat dia?" tanya Niken. "Aku hapal kebiasaanmu. Ini tanggal dua puluh satu bulan Maret, ulang tahun dia. Betul, kan?"

Perempuan berhidung mancung itu bergeming.

"Kiara, eum ... maafkan aku kalau menyarankan ada baiknya kamu perlahan melupakan dia. Iya aku tahu, dia memiliki tempat istimewa di hatimu, tapi dia sudah bahagia di sana, Ra."

Perempuan berdagu lancip itu hanya menarik napas dalam-dalam lalu menyesap minumannya.

"Aku tahu, Ken. Aku mengerti maksudmu, tapi kehilangan orang yang kamu harap bisa merenda hidup bersama itu menyakitkan," tuturnya pelan sambil meletakkan cangkirnya di meja.

Niken mengangguk paham. Kiara dan Satria adalah pasangan yang serasi. Satria begitu menyayangi Kiara, demikian pula sebaliknya. Hubungan mereka unik, meski jarang bertemu, tetapi tidak pernah salah satu dari mereka yang berkhianat. Menjalin cinta sejak SMA hingga Kiara lulus kuliah dan bekerja membuat kedua keluarga besar sudah merestui.

Hanya menunggu waktu untuk Satria meminang. Pria Angkatan Udara itu tengah berada dalam tugas di luar negeri tepatnya di negara konflik sehingga untuk berkomentar sangat jarang. Akan tetapi, kekuatan cinta keduanya bisa menjadikan mereka hampir saja menikah.

"Kamu bisa belajar mencintai orang lain, Ra. Eum ... suamimu misalnya." Keraguan tampak di wajah Niken saat mengatakan itu.

Mendengar kata suami, Kiara menaikkan bibirnya ke samping.

"Suami? Kata itu cuma predikat sementara."

"Maksudnya?"

"Mungkin aku harus bertahan atau berhenti. Cuma itu pilihannya, Niken."

"Bertahan dengan kondisi pernikahan yang sakit, atau berhenti dengan resiko mencoreng nama baik keluargaku atau mungkin keluarganya."

Sejenak mereka saling diam. Matahari mulai memberikan hangat bagi bumi. Kiara melihat ke arah pergelangan tangan.

"Kamu mandi dulu sama. Bangunin Fia. Kita berangkat jam delapan ke lokasi!" titahnya seraya bangkit.

"Kamu mau ke mana?"

"Mau main treadmill sebentar."

Niken mengangguk kemudian ikut bangkit meninggalkan balkon.

Tepat pukul delapan mereka tiba di rumah singgah yang mereka rintis. Sambutan hangat anak-anak dan para orang tua menjadikan kebahagiaan sendiri bagi ketiganya terlebih Kiara.

Hari itu tepat dua tahun kegiatan di tempat itu di mulai. Mereka ingin mengadakan syukuran sekaligus berbagai kebahagiaan dengan seluruh anak dan keluarga yang mereka bina. Saat baru masuk ke ruangan, langkah Kiara terhenti.

"Ra, kamu kenapa?" tanya Fia heran.

"Kayaknya aku nggak bisa gabung deh, Fi, Ken."

"Kenapa?"

"Ada wartawan lokal itu. Aku khawatir nanti Mama Dira baca, lebih khawatir lagi kalau sampai keluargaku baca," ungkapnya mengajak kedua rekannya minggir.

Niken dan Fia saling bertatapan.

"Terus?" tanya mereka bersamaan.

"Aku di mobil aja ya sampai mereka pergi," pintanya.

"Tapi ini kan proyek kita bertiga, Ra. Kalau kamu nggak ada nggak komplit dong!" balas Fia.

Kiara menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.

"Aku tetap ada, Fi. Nggak perlu ada aku juga, kan? Lagian akan lebih kacau kalau aku ada dan mereka pasti akan ...."

"Oke-oke! Aku paham. Fia, kita segera ke sana aja. Biarkan Ara balik ke mobil. Nanti kalau wartawan itu sudah cabut, kamu harus gabung, Ra!" Niken menengahi.

Senyum perempuan semampai itu terbit. Sambil mengangguk, cepat dia mengambil langkah seribu menuju mobil sebelum para pemburu warta itu tahu.

**

Kiara menyandarkan dirinya di jok mobil. Menyalakan musik lirih sambil bersenandung menghilangkan gundah hati. Satu ketukan di kaca jendela membuatnya menautkan alis. Seorang pria tua menengadahkan tangan kepadanya.

"Maaf, Neng. Boleh Bapak minta sesuatu untuk dimakan?" Ara menatap pria tua itu. Wajahnya lusuh demikian pula dengan bajunya.

Bibirnya kemudian tertarik, sambil mengangguk dia membuka pintu mobil. Kiara menyerahkan beberapa bungkus roti yang ada di mobil dan sebotol air mineral.

"Bapak tinggal di mana?"

Setelah mengucapkan terima kasih, pria tua itu menyebutkan daerah tempat tinggalnya.

"Saya pulang dulu, Neng. Cucu saya pasti menunggu dengan perut lapar," pamitnya terburu-buru.

"Cucu? Ini untuk cucu Bapak?"

Pria lusuh itu mengangguk.

"Tunggu, Pak. Ajak saya ke tempat Bapak. Ayo masuk mobil!"

Pengemis itu terlihat ragu.

"Kita jalan aja, Neng. Nggak jauh kok kalau lewat jalan tikus."

"Malah kalau naik mobil makin sulit," sambung pria tua itu.

"Oke! Saya ikut!"

Kiara mengikuti langkah pria itu melewati lorong sempit. Tanpa diketahui olehnya, seorang pewarta sempat mengabadikan gambar dirinya.

**

Kiara memasukkan bajunya ke koper. Jam empat sore Arga akan tiba dari liburannya. Tak banyak baju yang dia bawa kembali ke rumah mertuanya.  Selain karena sang suami mengatakan akan segera pindah ke rumah pribadinya, dia juga telah memutuskan untuk menempati apartemen ini jika kelak mereka harus mengambil keputusan.

Menemani Arga mungkin hal buruk, tetapi membahagiakan orang tua adalah sesuatu yang dia inginkan. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkan perempuan cantik itu. Keluarganya hanya tahu dia bahagia kini bersama putra keluarga Atmajaya.

Selesai packing, dia duduk di bibir ranjang. Satu pesan masuk di ponselnya.

[Aku ambil penerbangan lebih awal. Kita ketemu di bandara jam satu siang.]

Ara kembali meletakkan ponsel di nakas. Masih ada tiga jam lagi untuk pergi menemui Arga. Semalam dia tidur terlalu larut karena harus mengerjakan beberapa pekerjaan yang tertunda karena pernikahannya beberapa waktu lalu.

Ada banyak agenda kunjungan ke beberapa UKM di kotanya yang segera dia lakukan pekan depan. Menjadi pengusaha yang membina usaha kecil menengah adalah impiannya. Menurut Kiara ada banyak hal yang bisa digali dari masyarakat agar bisa meningkatkan taraf ekonomi mereka.

Kiara merebahkan tubuhnya di ranjang melepas penat hingga tanpa sadar dia terlelap.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top