Kegelisahan Arga
Damar meniupkan asap rokok ke atas seraya mengedikkan bahu. Sementara Arga menatapnya tajam seolah tak percaya dengan penjelasan adiknya.
"Aku mungkin senang bercanda, Mas, tapi aku nggak suka berbohong!"
"Berhenti menyindirku, Damar!" Arga mengeratkan pegangannya ke cangkir capuccino miliknya.
Adiknya itu tertawa kecil. Ada rasa kesal bercampur dengan kecewa bersarang di hati Damar. Dia begitu mengidolakan sang kakak yang menurutnya tegas dan sangat mahir menjalankan bisnis keluarga mereka.
Di mata Damar, Arga adalah anak yang penurut dengan apa pun yang diinginkan orang tua mereka.
Berbeda dengan dirinya yang lebih memilih bebas dan berkeras menentukan apa yang dia inginkan. Meski kala itu mendapat tantangan keras dari Pak Atmajaya, papa mereka.
Kecewa tentu saja tak bisa dipungkiri olehnya. Semua gambaran tentang sang kakak melebur begitu saja begitu tahu hal yang sebenarnya di depan mata malam itu.
"Aku nggak nyindir! Tapi kalau Mas tersindir ... itu bukan urusanku!"
Arga menarik napas dalam-dalam. Pria berkemeja putih itu seperti tengah mencoba menguasai emosinya.
"Jadi Mama belum tahu?"
Damar mengangguk. "Aku nggak sejahat itu, Mas! Api aku harus tahu apa masalahnya!"
"Cerita ke aku, Mas. Apa yang terjadi! Kenapa Mas tega melakukan hal itu kepada Mbak Kiara!"
Arga seperti enggan berbagi kisah dengan adiknya. Dia memilih diam dengan mata terus memindai Damar.
Mengangkat alis, Damar berujar, "Oke, kalau Mas keberatan menceritakan apa yang terjadi, aku bisa cari tahu sendiri, atau ...."
"Atau apa? Kamu sedang mengancamku?"
Senyum Damar melebar.
"Mbak Kiara sepertinya akan ...."
"Dia sudah tahu!" potong Arga dengan mata menajam menatap Damar.
Adiknya itu sontak membulatkan mata menatap sang kakak. Pengakuan Arga barusan soal Kiara membuatnya semakin memutar otak mencari jawaban.
Aneh! Menurutnya Kiara adalah perempuan yang ideal untuk Arga, tetapi kenapa kakaknya itu seperti tengah mempermainkan istrinya dan lembaga pernikahan?
"Apa-apaan ini, Mas! Mbak Kiara tahu soal Mas ber ...." Damar menghentikan kalimatnya sambil menggeleng dia mengimbuhkan, "Nggak! Aku nggak yakin ini persetujuan dua belah pihak! Aku yakin ini adalah ide darimu, Mas! Iya, kan?"
"Ini kesepakatan kami, Damar." Arga bersandar di bahu kursi. "Meski ide awalnya dari aku," tuturnya menerawang.
Pria itu menekan rokoknya ke seraya menggeleng dengan rahang mengeras.
"Hubungan macam apa ini!" timpalnya. "Mas keterlaluan!"
Arga menarik napas panjang.
"Kamu sudah mendengar semuanya. Nggak ada yang disembunyikan, meski Mas tahu jika dalam hal ini kesalahan ada padaku!" tegasnya menatap Damar.
"Lalu setelah tiga bulan ...." Damar membuang napas kasar. "Apa yang ada di kepala Mas? Mas mau menikahi perempuan itu? Apa Mas pikir Mama Papa akan setuju? Lalu bagaimana dengan Mbak Kiara? Dia jadi janda, Mas! Mas tahu itu! Janda yang sama sekali tidak memiliki salah apa pun! Gila ini!" ungkapnya seolah kali ini dia berdiri di pihak Kiara.
"Kamu nggak tahu Damar! Kamu nggak tahu rasanya menikah tanpa cinta! Aku nggak mencintainya dan dia juga demikian!"
Damar tersenyum mengejek. "Tanpa cinta ya?"
"Iya. Kamu kenapa? Ada yang lucu dari ucapanku?"
"Sebaiknya nggak perlu menunggu tiga bulan, Mas. Sini! Biar aku bantu urus perceraian kalian!"
Arga mematung. Adiknya memang tidak pernah berubah. Susah jika harus mengajak pria itu untuk berdiskusi hal yang seharusnya bisa didiskusikan. Damar frontal, tak suka drama, meski sebenarnya hatinya sangat peka.
"Maksudmu?"
"Aku yang akan mempermudah drama ini selesai, Mas! Aku cuma nggak ingin Mas terlalu lama tersiksa, terlebih Mbak Kiara."
"Mas nggak pernah memikirkan perasaan Mbak Kiara?"
Damar menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Matanya menatap intens ke sang kakak. Sementara Arga diam. Otak dan hatinya berusaha saling tarik menarik.
"Kenapa? Mas tenang aja, untuk Mama dan Papa aku coba untuk membantu menjelaskan!" tuturnya santai.
Cerai? Damar membantunya untuk mengurus segala sesuatunya, padahal masih ada waktu setidaknya dua bulan untuk berpura-pura. Namun, apa iya dia kini masih menginginkan hal itu? Mengingat satu bulan yang sudah dijalani terasa begitu cepat dan begitu berkesan. Cinta? Apa benar dia sudah mulai merasakan hal itu pada Kiara?
Perlakuan Kiara padanya, kesepakatan yang diamini oleh perempuan itu tanpa menuntut apa pun membuat Arga kini menjadi serba salah. Serba salah? Apa dia kini hanya merasa serba salah?
Masih teringat bagaimana dirinya sakit, bagaimana Kiara merawatnya tanpa beban apa pun. Perempuan itu tetap tersenyum tanpa ingin mencampuri urusan asmaranya dengan Astrid.
Kembali Arga teringat bagaimana perasaannya saat melihat Rendra begitu dekat dengan Kiara. Ada sesuatu yang tidak biasa terasa di hatinya. Cemburukah?
"Kenapa diam, Mas? Mas ragu?" tanya Damar seolah tahu apa yang dipikirkan.
"Atau mungkin aku yang langsung berbicara dengan Mbak Kiara? Aku pikir Mbak Kiara akan dengan senang hati mengiyakan!"
Arga menggeleng.
"Damar! Ini urusanku. Cukup bantu dengan tutup mulut itu sudah cukup! Jangan sampai Mama juga Papa tahu soal ini. Biar nanti Mas yang akan selesaikan semuanya sendiri!"
Adik Arga itu kembali menyalakan rokoknya kemudian mengangguk.
"Oke! Kalau begitu aku mau jalan dulu, Mas. Thank you sudah menjelaskan soal drama yang sedang dijalani. Semoga sukses! Oh iya," Damar bangkit lalu memiringkan kepalanya menatap Arga.
"Aku pikir ... akan banyak pria yang menunggu Mbak Kiara di luar sana, Mas! Bagaimana jika aku juga menginginkannya?" ucapnya seraya terkekeh lalu meraih korek api miliknya di atas meja.
"Kamu jangan ngawur kalau bicara, Damar!"
Tawa Damar terbit.
"Andai dulu aku yang dinikahkan dengannya ... mungkin dia sekarang sedang bahagia!"
"Damar!" Arga terlihat meradang.
"Kenapa, Mas? Cemburu? Bukannya Mas bilang nggak cinta?" ujarnya seraya tersenyum mengejek.
"Pergi sekarang!" usir Arga.
"Oh iya, aku lupa. Sore nanti aku janjian sama Mbak Kiara. Aku mau ajak dia ke galeri lukis yang bergerak di bidang sosial," terangnya.
"Aku pergi, Mas. Jangan khawatir! Mbak Kiara perempuan baik-baik kok. Aku tahu itu!"
Damar melangkah menjauh meninggalkan Arga yang semakin merasa di ujung tanduk. Iya! Di ujung tanduk karena ulahnya sendiri.
Mengusap wajah, Arga kembali bertanya pada batinnya soal rasa terhadap sang istri. Pertanyaan Damar soal perasaan cemburu membuatnya berpikir.
Cemburu? Benarkah? Lalu bagaimana perasaan Kiara padanya? Perempuan itu sama sekali tak pernah menampakkan perasaan cemburu padanya, meski ... meski mata Kiara terkadang menjelaskan perasaannya yang sulit dia artikan.
**
[Ra, jadi nanti sore kamu janjian sama Damar? Kok nggak bilang sama aku?]
[Maaf, Mas. Aku pikir Mas membebaskan aku sama seperti aku membebaskan Mas, kan? Tapi maaf kalau dirasa salah. Kalau Mas nggak ngizinin aku nggak apa-apa.]
Arga menarik napas dalam-dalam. Dia merasa tersudut dengan jawaban sang istri.
[Oke, nggak apa-apa, tapi pulangnya aku jemput ya.]
[Nggak usah, Mas. Aku nanti bareng-bareng kok.]
[Bareng-bareng?]
[Iya. Aku bareng sama tim. Jadi nanti mereka yang antar aku pulang.]
Sejenak Arga berpikir, teringat ucapan sang istri soal tim-nya.
"Rendra," gumamnya dengan rahang mengeras.
Mendadak Arga merasa mood-nya seketika buyar. Mungkin benar kata Damar. Dia cemburu! Jadi apakah dia juga jatuh cinta?
**
Kiara menguncir rambutnya, merapikan lipstik kemudian meriah tas tangan di meja.
"Ayo berangkat!" ajaknya pada kedua rekannya.
Fia dan Niken mengangguk lalu bangkit mengikuti Kiara. Di luar tampak Rendra baru saja keluar dari mobil. Pria itu melepas kacamata lalu menghampiri Kiara dan kedua rekannya.
"Udah dapat alamatnya?" tanyanya.
"Udah," sahut Kiara.
"Oke, kita berangkat sekarang!" ajaknya.
**
Astrid mengusap pipinya yang basah. Jawaban Arga sama sekali tak bisa membuat dirinya tenang. Perempuan itu meminta agar Arga bersikap tegas soal pernikahannya dan rencana mereka.
Siang itu Astrid memaksa mereka bertemu untuk makan siang di kantin kantor Astrid. Sengaja di tempat itu karena Arga mulai khawatir jika Damar kembali mengetahui hal ini.
Namun, bukan tenang yang dia dapat, justru jawaban yang itu- itu juga yang diterima.
"Ga! Kamu tahu, kan, kalau aku nggak punya siapa-siapa lagi?"
Arga bergeming.
"Aku cuma punya kamu, Ga! Cuma kamu! Kalau kamu terus begini, aku harus gimana!"
"Ck! Aku capek kamu terus membahas soal ini, Astrid! Aku lelah kamu terus bertanya sementara kamu sudah tahu jawabannya!"
Astrid naik pitam mendengar balasan Arga.
"Arga! Kamu pikir aku nggak capek? Kamu pikir aku bahagia dengan kondisi ini? Kamu egois, Arga!"
Hening sejenak. Kantin siang itu tidak seberapa ramai. Mereka berdua sengaja mengambil duduk di sudut ruangan sehingga tidak begitu terlihat oleh orang yang datang.
Astrid kemudian tersenyum sinis.
"Atau jangan-jangan ... kamu sudah mulai mencintai istrimu?"
Tak menyahut, Arga meneguk air mineral di depannya.
"Ingat, Ga! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi!" tuturnya dengan penekanan.
"Astrid! Bisa kita ganti pembicaraan dengan hal lain?"
Perempuan berambut sebahu itu semakin meradang. Dia merasa Arga semakin berbeda akhir-akhir ini. Hal itu tentu saja membuat dirinya khawatir.
"Nggak! Aku akan bahas ini terus sampai kamu benar-benar meninggalkan perempuan itu! Aku nggak peduli bagaimana caranya!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top