Kedatangan Cinta Masa Kecil


Dira terperanjat mendengar penuturan perempuan di depannya. Dengan mata berkaca-kaca, Astrid menceritakan semua kisah tentang dia dan Arga hingga kesepakatan yang mereka buat. Meski sebelumnya sudah tahu cerita tersebut, tetapi tetap saja membuat Dira murka.

"Tante, saya dan Arga saling mencintai. Bagi kami tidak ada yang bisa menghalangi perasaan kami berdua."

Dira menarik napas menahan amarahnya. Perempuan paruh baya itu menggumam kalimat istighfar demi meredam emosinya.

"Baik. Sekarang kamu katakan saja apa yang kamu inginkan! Katakan!"

"Ini tentu bukan hanya keinginan saya, Tante. Ini adalah keinginan kami," balasnya seraya mengulas senyum dan menghapus sedikit air mata yang menetes.

"Oke, apa yang kamu dan Arga inginkan?"

"Menikah. Kami ingin menikah!" tuturnya lugas.

Mendengar jawaban Astrid, Dira menarik bibirnya singkat. Sudah dia duga sebelumnya walaupun Arga belum pernah meminta secara gamblang setelah rahasianya terbongkar.

"Baiklah! Tetapi orang tua Arga bukan hanya saya. Ada papanya juga. Jadi tunggu jawaban kami setelah saya bertanya dan berdiskusi dengan papanya Arga."

Astrid melebarkan bibirnya kemudian mengangguk. Rasa percaya dirinya mulai kembali. Terbukti setidaknya ada signal baik dari perempuan paruh baya di depannya itu.  Dia mulai yakin jika impiannya segera bisa diwujudkan.

Menarik napas lega, Astrid menyesap minuman yang telah dihidangkan untuknya.

"Oh iya, kami juga wajib mendengar hal ini dari Arga juga. Walau bagaimanapun dia anak kami dan kami juga harus tahu apa benar itu yang dia inginkan. Kamu nggak apa-apa, bukan, jika harus menunggu jawabannya?"

"Tentu tidak, Tante. Saya akan menunggu."

Dira mengangguk paham meski dadanya bergejolak amarah.

"Lalu bagaimana jika jawaban yang kamu dapat nanti ternyata jauh dari yang kamu harapkan?" selidik Dira.

Mendengar pertanyaan itu, Astrid menggerakkan bola matanya memindai mama Arga itu.

"Sudah pasti hal itu tak mungkin terjadi, Tante. Karena hubungan saya dan Arga sudah sangat jauh."

Manik Dira membulat dengan kening berkerut. Pikirannya mulai liar mendengar penuturan perempuan yang tengah duduk dengan rasa percaya diri itu.

"Sangat jauh seperti apa maksudmu?"

Astrid mengulum senyum, lalu menggeleng.

"Tante bisa tanya ke Arga sendiri soal ini. Saya hanya menyampaikan yang seharusnya dilakukan Tante dan keluarga Tante. Lagian dulu Arga dan saya dipisahkan karena soal mitos, kan? Tapi semua itu nggak terbukti dan justru yang terjadi sebaliknya, bukan?" Astrid memindai wajah perempuan yang tengah terpaku menatapnya.

"Ayolah, Tante! Itu semua cuma takhayul yang sudah nggak relevan di abad ini," sambungnya seraya menyilangkan kaki.

"Bagaimana mungkin pengusaha sekaliber Om Atmajaya sangat percaya dengan kepercayaan kampungan seperti itu? Sampai harus mengorbankan perasaan anaknya dan tentu bukan hanya Arga yang menderita. Saya dan yang jelas Kiara juga ikut menderita. Betul, kan, Tante?" tanyanya dengan wajah mengintimidasi.

Hening. Dira membisu sementara Astrid tersenyum menatapnya.

"Kamu boleh pulang! Soal apa yang kamu inginkan dan kamu sampaikan tadi akan saya bicarakan, tapi ...."

"Tapi apa, Tante?"

"Saya akan pastikan apa yang sudah Arga lakukan denganmu!"

Senyum miring tercetak di bibir Astrid. Dia kemudian bangkit dan berpamitan.

"Saya harap Tante bisa mempertimbangkan soal itu, sebab nggak ada yang bisa memisahkan kami. Bahkan Kiara sekalipun. Permisi, Tante."

**
Arga melempar begitu saja ponselnya ke sofa. Melonggarkan dasinya, menuju dapur, pria itu membuka lemari es dan menuang jus apel instan ke gelas. Seharian dia harus bekerja dengan staf mertuanya dengan tatapan yang menurutnya membuat tidak nyaman.

Entahlah. Apa mungkin cerita tentang pernikahannya sudah tersebar di kantor mertuanya? Jika iya, siapa yang menyebarkan kabar itu? Tidak mungkin bukan Heru sendiri yang menceritakan masalah rumah tangga putrinya. Tentu sangat tidak masuk akal. Arga membuang napas kasar.

Proyek yang sudah disepakati tetap berjalan, meski ada masalah antara dia dan Kiara. Sudah hari ke lima setelah kepergian Kiara dari kediamannya, dan dia belum juga bisa menghubungi perempuan itu.

Kini rumah itu terasa hambar, walaupun sebelum bersama Kiara dia memang sering tinggal di tempat itu. Namun, tentu saja tak seperti saat ada Kiara. Kediamannya lebih terasa hangat dan hidup saat sang istri berada di kediamannya.

Arga menarik napas setelah meneguk habis jus apelnya. Bukan hanya rumahnya yang terasa sepi, tetapi ada yang lebih sepi dari itu. Entah kenapa terasa ada yang kosong di hatinya. Ada rasa yang menyengat setiap kali teringat perempuan itu.

Meski beberapa kali bertemu dengan Heru mertuanya saat mereka memperbincangkan soal pekerjaan, tetapi dia belum punya keberanian untuk sekadar bertanya kabar.

Karena Heru pun sama sekali tidak pernah bertanya soal urusan pribadinya. Papa Kiara itu bersikap layaknya kepada rekan bisnis yang lain. Tak ada perbincangan pribadi.

Hal itulah yang membuatnya ragu, tentu saja selain itu karena merasa sangat bersalah.

Arga berjalan ke ruang tengah. Ponselnya berdering, tetapi dia seperti enggan meski sekadar melihat identitas pemanggil. Karena dia tahu yang menelepon bukan orang yang dia tunggu.

Sudah barang tentu Kiara adalah orang yang dia harapkan menelepon. Akan tetapi, Kiara benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan yaitu pergi. Kiara pergi atau bahkan seperti saat ini. Bagi Arga Kiara menghilang.

Seperti tak bosan Arga setiap hari menyambangi kantor sang istri berharap bisa bertemu di sana atau jika Kiara menolak setidaknya dia bisa menatap wajahnya dari dekat dan mengetahui bahwa Kiara baik-baik saja.

Namun, harapan hanya sebatas angan, karena seluruh rekan dan karyawan di kantor itu semuanya menutup mulut. Tidak ada satu pun yang mengaku mengetahui di mana Kiara berada.

Pria yang wajahnya terlihat lesu itu mengepalkan tangan. Dia benar-benar terpukul oleh masalah ini.

Seperti teringat sesuatu Arga cepat meraih telepon genggamnya. Akun media sosial Kiara adalah sasaran pencariannya, tetapi lagi-lagi tak ada informasi apa pun di sana. Pria itu mendecak kesal.

"Kiara, aku nggak tahu apa yang ada di pikiranmu. Kenapa kamu menghindariku?" gumamnya seraya mengembuskan napas perlahan.

Arga memijit pelipisnya. Semua terasa menyakitkan saat ini. Bahkan Kiara tak percaya dengan apa yang pernah dia ucapkan.

'Oke, aku harus bertemu Astrid! Aku harus bisa bicara soal ini dan mengatakan yang sesungguhnya,' bisik batinnya.

**

Kiara menatap bunga anggrek yang baru saja mekar di halaman belakang rumah  pribadinya. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tidak tinggal di kediaman orang tuanya. Dia juga tidak tinggal di apartemen dengan berbagai pertimbangan.

Hanya Fia, Niken dan Rendra yang tahu kediaman Kiara. Seperti yang sudah dia pesankan ke keluarganya, dirinya tidak ingin Arga mengetahui di mana dirinya tinggal.

"Mbak Kiara, ada kiriman," suara Aini terdengar dari dalam.

Aini adalah putri Yuk Jum yang baru saja menikah tiga bulan lalu. Dia memang ditugaskan untuk membersihkan rumah Kiara setiap hari.

"Kiriman apa? Dari siapa?" tanyanya heran.

Aini menggeleng. Dia meminta agar Kiara menemui seseorang di luar.

"Rama?" Kiara mengerutkan kening setelah membaca identitas pengirim. Dia lalu menatap kurir di depannya.

"Iya,Mbak. Silakan Mbak tanda tangan di sini."

"Tapi saya nggak kenal siapa yang mengirim ini, Mas," tolaknya.

"Saya hanya mengantarkan saja ke alamat yang diminta, Mbak. Maaf."

Kiara mengangguk paham. "Oke."

Setelah tanda tangan, kurir itu mengucapkan terima kasih kemudian pergi.

"Rama siapa, Mbak?"

Kiara menggeleng mencoba mengingat-ingat seraya melangkah masuk. Kotak berwarna merah muda masih di tangannya.

"Nggak tahu, Mbak. Gini aja deh. Paket ini biar di sini aja," ujarnya seraya meletakkan kotak itu di meja tamu. "Kali aja ada orang yang ...."

Kiara menggantung kalimatnya saat terdengar klakson mobil dan suara seseorang memanggil namanya.

"Mas Angga?" gumamnya menoleh ke pintu. Tampak mobil Angga terlihat di luar pagar.

Tersenyum tipis Kiara melangkah ke pintu. Matanya menyipit melihat seorang pria turun dari mobil mengikuti kakaknya.

"Mas Angga sama siapa?" Kiara menatap kakaknya seperti meminta penjelasan tentang pria yang datang bersamanya.

"Kamu lupa, Ra? Coba kamu ingat-ingat lagi deh siapa dia!"

Pria di samping Angga itu menarik bibirnya menatap Kiara.

"Halo, Kiara. Masih suka mengoleksi aksesoris berwarna pink?"

Kiara masih menyipit.

"Lupa, Ra? Masa lupa sih?" Angga mencoba mengingatkan. "Terakhir dia kasi kamu bando warna pink dan hilang saat prom night SMP. Ingat?"

"Waktu itu kamu nangis nggak berhenti meski Mama membujuk dan berjanji akan membelikan yang baru untukmu. Kamu menolak karena menurut kamu bando itu istimewa. Ingat?"

Mata indah Kiara membulat sempurna dengan pipi kemerahan. Dia terlihat sangat terkejut menyadari pria yang kini ada di sebelah sang kakak adalah pria yang sama saat dia merasakan cinta monyet.

"Mas Rama?" tuturnya masih dengan manik membulat.

"Syukurlah kamu ingat, Ra. Apa kabar Kiara?" Pria yang memiliki mata serupa dengan bintang film Korea itu mengulurkan tangannya.

"Baik, Mas Rama. Nggak nyangka bisa ketemu lagi setelah sekian tahun menghilang!" sahutnya menerima jabatan tangan Rama.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top