Kecurigaan Mama

Acara makan malam selesai, kedua orang tua Kiara kembali pulang setelah beberapa kali mewanti-wanti agar Kiara tidak mengulangi perbuatannya lagi.

"Ingat, Kiara, rumah tangga itu dibangun bukan untuk main-main. Pernikahan itu disaksikan Tuhan, jadi kamu nggak bisa mempermainkan seenaknya," pesan sang mama. "Mama harap kamu paham ya."

Kiara mengangguk seraya tersenyum tipis.

"Dan satu lagi yang harus kamu ingat, Ra. Dalam menjalankan pernikahan harus terus dipupuk dan diobati. Kamu pasti tahu soal ini." Papanya menimpali.

"Kamu juga, Arga. Kamu punya tanggung jawab yang besar sebagai laki-laki dalam hal ini suami. Papa rasa kamu sudah cukup paham seperti apa yang dimaksud, Papa percaya kamu pria yang tepat untuk putri Papa."

Arga terlihat tegang meski begitu dia mencoba tersenyum.

"Ya sudah, kalian berdua baik-baik ya," pesan Liara lagi sebelum menutup pintu mobil. "Paham yang Mama sama papamu bilang, kan, Ra?"

"Kiara paham, Ma. Pa," balasnya sesaat sebelum mobil yang dikendarai kedua orang tuanya meninggalkan kediaman keluarga Atmajaya.

Menarik napas dalam-dalam, Arga menoleh ke samping. Memindai wajah istrinya dia berkata, "Kita pulang juga?"

"Saya ikut aja apa yang Mas mau."

Kembali Arga menarik napas.

"Oke, kita pulang. Pamit dulu ke Mama Papa," ajaknya mencoba meraih bahu Kiara.

Namun, lagi-lagi dia menghindar dengan alasan ingin ke kamar mandi. Arga hanya mengangguk membiarkan istrinya melangkah cepat masuk rumah.

"Keras kepala," gumamnya seraya mengusap wajahnya.

**

"Kalian malam ini tidur di sini aja ya. Mama pengin ngobrol banyak sama kamu, Kiara," pinta Dira saat Arga bersiap untuk mengajak istrinya pulang.

Tak menjawab, Kiara menatap Arga yang berdiri tak jauh dari sofa tempat dia dan mertuanya duduk. Dari gerakannya, pria itu baru saja membalas pesan seseorang dengan tergesa-gesa.

Seperti tahu keraguan Kiara, Dira ikut melayangkan pandangan ke putranya.

"Kalau Arga nggak mau menginap di sini, biarkan saja dia pulang sendiri, Ra," sindir Dira.

"Mama apa-apaan sih? Kalau Kiara di sini, Arga juga di sini, Ma," protesnya lalu melangkah mendekat.

"Ya mungkin aja kamu masih mau sendiri," balas Dira.

Arga menghenyakkan tubuhnya di sofa tepat di samping Kiara.

"Mama kenapa bilang begitu sih, Ma?"

"Arga!"

"Ya, Ma?" Dia menoleh.

"Jawab dengan jujur, apa kamu masih berhubungan dengan Astrid?" Tajam mata Dira menatap sang putra.

Melihat ekspresi mertuanya, Kiara terkejut kemudian menoleh ke Arga. Pria itu juga terlihat sama terkejutnya dengan sang istri.

"Mama?"

"Iya. Jawab pertanyaan Mama, Ga! Katakan dengan jujur soal ini sebelum papamu tahu!" tegasnya.

"Mama bicara apa sih, Ma? Tentu saja itu nggak mungkin, kan Mama tahu sendiri Arga sudah memutuskan untuk meninggalkan dia."

Dira masih menatap putranya seperti tadi. Sebagai seorang ibu dia seperti tidak percaya dengan jawaban Arga.

"Kamu yakin dengan ucapanmu?"

"Yakin, Ma."

Mengangguk Dira menatap Kiara.

"Kiara, kamu adalah istri sah Arga, kamu perempuan yang berhak atas dirinya setelah Mama. Jadi jika kamu mendapati sesuatu hal yang membuatmu tidak nyaman, kamu bisa bicara ke Mama. Jangan sungkan, oke!" ujarnya seraya menggenggam tangan menantunya.

"Dan kamu, Arga." Kali ini Dira kembali menatap sang putra. "Kamu adalah seorang pria. Ingat! Seorang pria itu yang dipegang adalah ucapannya!" tuturnya lagi.

Arga menelan ludahnya, situasi saat ini sungguh membuat dirinya merasa tersudut. Belum lagi tatapan iba Kiara yang justru seolah-olah tengah mengolok-oloknya.

"Arga, kamu paham maksud Mama, kan?"

"Kalau sampai kamu melanggar dan masih berhubungan dengan Astrid. Mama jamin, kamu nggak akan pernah mendapat apa pun dari aset papamu!"

Mata Arga membulat mendengar ucapan Dira.

"Ma, Mama apa-apaan sih?"

Dira tersenyum. Sambil mengusap puncak kepala menantunya, dia bertanya, "Kapan-kapan kalau ada pameran UKM lagi, kamu ajak Mama ya?"

Senyum Kiara tercetak sempurna. "Mama mau hadir?"

"Tentu dong!"

"Iya, Ma. Nanti pasti Kiara kabari Mama."

Mereka berdua lalu asyik membicarakan produk UKM yang memang diunggulkan untuk diekspor. Sementara Arga hanya diam mengamati keakraban keduanya.

**

Kiara meletakkan ponsel ketika Arga masuk kamar.

"Belum tidur?" tanyanya seraya mengunci pintu.

"Ini mau tidur, eum ... kamu mau tidur di ranjang atau ...."

"Sofa. Aku di sofa aja."

Menghela napas dalam-dalam, Kiara mengangguk lalu merebahkan tubuhnya ke ranjang setelah sebelumnya menarik selimut.

"Eum, Ra."

"Hmm?"

"Kamu udah ngantuk?"

"Udah!" Kiara merapatkan selimut seperti enggan diajak bicara.

Sebenarnya dia masih ada meeting lewat zoom dengan kedua rekannya dan beberapa staf yayasan milik mereka untuk membahas bakti sosial yang akan digelar pekan depan. Akan tetapi, terpaksa dia keluar forum tanpa permisi.

Arga mengangguk paham. Dia menuju sofa dan meluruskan punggung di sana. Dering telepon Kiara mengejutkan pria itu. Dia tahu sang istri tidak benar-benar ingin tidur.

"Ponselmu bunyi. Kamu kalau masih ada urusan selesaikan dulu. Atau aku keluar dulu deh. Kamu silakan dilanjut." Arga bangkit menuju pintu.

"Mas mau ke mana?" tanyanya menyibakkan selimut seraya mengetuk tombol merah di ponselnya.

"Aku keluar dulu. Biar kamu bisa leluasa mengerjakan yang sempat tertinggal," balasnya kemudian membuka pintu dan meninggalkan kamar setelah menutup kembali pintunya.

Perempuan itu kembali duduk bersandar di ranjang. Meraih ponselnya lalu menelepon Fia.

"Kamu gimana sih, Ra. Masa iya saat semua telinga mendengarkan kamu tadi, eh malah ngilang!" Suara Fia terdengar kesal.

"Sori, Fi. Kamu tahu kan aku lagi di rumah mertua."

"Terus? Kamu dilarang gitu?"

"Bukan, Fi, tapi tadi Mas Arga masuk kamar. Kan aku jadi nggak nyaman, Fi."

Terdengar helaan napas di seberang.

"Terus sekarang di mana dia?" Sumbang terdengar suara Fia bertanya.

"Dia nggak jadi tidur."

"Sori? Dia nggak jadi tidur?"

"Iya, di keluar kamar. Dia bilang aku disuruh nerusin urusanku dulu."

Terdengar suara Niken.

"Heii, kalian nge-loud speaker? Forum udah kelar, kan?"

Keduanya tertawa sambil terkekeh, Wulan nyeletuk, "What, Ra? Dia bilang supaya kamu meneruskan urusanmu dulu?"

"Iya. Kenapa?"

"Aku berhenti di kata dulu! Itu artinya ... setelah kamu menyelesaikan urusanmu, dia akan melakukan hal apa, Ra?" tanya Wulan antusias.

"Ck! Kalian ini pikirannya kenapa sih? Suka aneh deh! Ya udah, kalau begitu, besok kita ke basecamp kita ketemu dengan Pak Renggo pemilik pabrik sepatu yang akan mendanai misi kita, oke!"

"Oke, Ra. Eh ... Rendra diajak, kan? Kan Pak Renggo itu rekanan Rendra, Ra."

"Oke, Rendra juga ikut!

Obrolan selesai. Kiara kembali meletakkan gadgetnya di nakas. Matanya menatap jam dinding. Sudah hampir jam dua belas malam. Perasaannya tiba-tiba merasa tak enak kepada Arga yang bisa memposisikan diri tadi.

Merapikan rambut, Kiara beringsut menuju pintu. Dia berniat mencari Arga. Perlahan dia menuruni anak tangga setelah tak mendapati suaminya di lantai dua. Cahaya lampu tak lagi seterang tadi, karena asisten rumah tangga selalu mengganti dengan lampu temaram.

Terdengar suara televisi menyala dengan volume kecil dia menebak sang suami tengah menonton televisi. Ruang keluarga tujuannya. Kiara memperlambat langkah kakinya saat melihat Arga tertidur dengan posisi duduk dan dengan ponsel di tangannya.

Kiara menarik napas dalam-dalam. Dia sudah menduga siapa yang dihubungi suaminya beberapa menit yang lalu. Kiara mengambil ponsel itu lalu meletakkan di meja. Tanpa sengaja dia menyenggol tombol bagian kanan sehingga tampak wallpaper ponsel tersebut.

Bibirnya menyungging senyum ketika melihat foto perempuan yang tengah berada di tepi pantai. Ada emosi yang mati-matian dia tahan menghadapi kenyataan bahwa Arga memang benar-benar tidak pernah mengharapkan dirinya.

**

Hello.    apa kabar semua ... tetep sehat ya. Terima kasih sudah menunggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top