Kecurigaan Damar

Kiara merasa terhibur dengan kehadiran Damar. Adik iparnya itu sangat menyenangkan. Sesekali pria yang seusia dengannya itu bisa membuat tertawa meski kondisi masih belum benar-benar fit.

"Mama nggak nyangka kalian bisa secepat ini akrab," ujar Dira yang sejak tadi memperhatikan mereka berinteraksi.

"Mbak Kiara ternyata nggak seperti yang Damar kira, Ma."

"Memangnya kamu mengira Mbak seperti apa?" tanya Kiara.

Sambil tertawa kecil, Damar menjelaskan kesan pertama yang dia tangkap saat melihat kakak iparnya adalah sosok perempuan tegas yang tidak begitu suka bercanda.

"Ternyata, Mbak rame juga orangnya!"

Kiara tersenyum.

"Itu karena Mbak menyesuaikan sih. Kita kan harus bisa fleksibel," balasnya tersenyum lebar.

Dira ikut tersenyum lalu mendekati mereka berdua.

"Mbak Kiara ini paket komplit sih bagi Mama," timpalnya seraya mengusap puncak kepala sang menantu. "Selain cantik, baik, ramah dan pintar membawa diri, dia juga sangat mudah beradaptasi dengan siapa pun, dan satu lagi!"

Damar menatap mamanya.

"Apa itu, Ma?"

"Penyabar!" Mata Dira berbinar menoleh ke arah Kiara. Bibirnya melengkung sempurna seraya mengusap punggung tangan sang menantu.

"Mama terlalu berlebihan. Kamu jangan percaya, Damar."

"Ya maunya sih aku nggak percaya, Mbak, tapi bener kok!"

Kiara tertawa kecil, tetapi sontak berubah saat melihat Arga masuk dengan ekspresi datar. Pria itu tak berkata apa-apa. Dia langsung duduk di sofa dan meneguk air mineral kemasan yang tersedia di meja.

Tak lama kemudian datang perawat bersama dokter.

"Permisi, selamat siang," sapa dokter berambut kelabu itu ramah.

"Siang, Dokter. Apa menantu saya sudah boleh pulang hari ini, Dok?"

Mengangguk seraya tersenyum, dokter itu menjawab, "Saya akan periksa dulu ya, Bu."

Dira mengangguk kemudian memberi isyarat kepada Damar supaya menjauh membiarkan dokter memeriksa Kiara.

"Kamu kenapa, Ga? Kamu nggak tanya seperti apa kondisi istrimu? Kenapa malah duduk di sini dengan muka kusut begitu?"

Arga menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.

"Nggak apa-apa, Ma," balasnya lalu bangkit mendekati brankar sang istri tepat saat dokter selesai memeriksa.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dokter?"

Dokter itu tersenyum lalu mengabarkan jika Kiara bisa pulang hari ini.

"Tapi kami sarankan supaya Ibu Kiara beristirahat dan jangan terlalu banyak aktivitas ya, Bu. Jaga pola makan supaya Ibu nggak main lagi ke sini," tuturnya jenaka.

Kiara melebarkan bibirnya kemudian mengangguk. Arga lalu mengucapkan terima kasih setelah dokter itu pamit.

Menghela napas lega, dia lalu menoleh ke sang istri.

"Kita pulang ke rumah ya. Aku beresin barang-barang dulu," tuturnya mengusap lengan Kiara.

Terdengar suara tak asing dari luar kamar, wajah kedua orang tua Kiara muncul di pintu. Mereka berdua disambut hangat oleh Dira. Mertuanya itu mengatakan kondisi Kiara saat ini.

"Ah, syukurlah. Mama sudah khawatir banget sama kamu, Ra," tutur mamanya seraya mendekat dan mencium pipi putrinya.

"Kamu itu nggak biasanya sakit sampai harus dirawat seperti ini, kan? Mama jadi khawatir banget waktu dengar kabar dari suamimu!" imbuhnya.

Dira yang berdiri di samping Liara tersenyum.

"Kiara terlalu sibuk, Jeng. Menurut dokter dia untuk saat ini harus membatasi aktivitasnya dulu. Saya jadi berpikir ini ada baiknya juga."

Mama Kiara menoleh ke besannya dengan mata menyipit.

"Dengan Kiara mengurangi aktivitas, dengan begitu mereka bisa sering bertemu dan kita akan bisa melihat cucu. Bukan begitu, Jeng Lia?" tanya Dira dengan mata mengerling.

Ucapan Dira disambut dengan mata membeliak oleh Liara. Perempuan berkulit bersih itu mengangguk seraya menatap suaminya.

"Bukannya semalam kita bicara soal ini, Pa?" tanyanya dengan wajah berseri, "Kami juga semalam membayangkan jika kami memiliki cucu dari Kiara, pasti itu hal yang membahagiakan!" sambungnya.

Seperti biasa, pembahasan soal cucu tentu tak akan selesai begitu saja, terlebih ada Damar yang ikut menimpali soal nama dan jenis kelamin.

"Mas Arga! Kalau bisa nanti anak pertama laki-laki ya! Biar bisa galak ke adeknya kayak Mas ke aku!" celetuknya dengan menaik turunkan alis.

Arga hanya tersenyum tipis mendengarnya. Sementara Kiara seolah menulikan telinga, dia terlihat fokus pada ponsel.

"Ra, kamu mau ganti baju?" tawar Arga. "Aku tadi sempat pulang sebentar ambil bajumu." Dia melihat paras sang istri tak nyaman ketika orang tua mereka membahas soal keturunan.

Kiara mengangguk cepat. Dira dan Liara membantu Kiara untuk bangkit. Sementara Arga meraih lengan sang istri lalu menuntunnya ke kamar mandi.

"Aku bisa jalan sendiri, Mas. Nggak apa-apa," tuturnya pelan saat telah menjauh dari orang tua mereka.

"Kamu baru sembuh, Ra. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku bilang aku baik-baik aja. Please, Jangan khawatirkan aku!" balasnya sebelum menutup pintu kamar mandi.

Lagi-lagi Arga dibuat serba salah olehnya. Mencoba bersikap wajar akhirnya pria itu berdiri di dinding sebelah pintu kamar mandi. Dirinya tak ingin ada yang curiga tentang pernikahan mereka.

Namun, hal itu dibaca dengan baik oleh Damar. Gesture Kiara yang terlihat kaku saat dipegang oleh sang kakak sudah membuat dia menyipitkan mata. Itu sebabnya sejak tadi dia mencoba memancing pembicaraan agar dirinya bisa memahami apa yang terjadi, tetapi masih belum terjawab.

"Kamu yakin nggak apa-apa jalan ke sana?" tanya Arga saat Kiara selesai berganti baju.

"I'm okay! Aku merasa lebih baik. Thank you, Mas!" jawabnya tersenyum seraya menuju sofa.

"Jadi kalian pulang ke rumah siapa?" tanya Dira.

Keduanya menjawab dengan jawaban berbeda. Arga menjawab,  pulang ke rumah pribadi mereka, sementara Kiara justru ingin pulang ke rumah orang tuanya.

Kembali Damar mencium ada hal yang disembunyikan oleh pasangan yang belum lama menikah itu.

Kening Dira berkerut menatap keduanya, demikian pula dengan orang tua Kiara.

"Ra?"

"Iya, Ma?"

"Kamu mau pulang ke rumah?" tanya mamanya.

"Iya, Ma."

Sejenak suasana di kamar itu berubah auranya. Kiara tampak tertunduk, sementara Arga merasa canggung.

"Sayang, bukannya Mama nggak mau kamu ikut pulang ke rumah, tapi sekarang ada suamimu, Ra. Ada Arga," papar Liara.

"Mamamu benar, Kiara. Kamu memang putri kesayangan kami, tapi sekarang ada suami yang juga menyayangimu," sela sang papa.

"Nanti kami akan berkunjung ke rumah kalian. Sekarang kamu pulang bersama Arga ya, Nak?" sambung papanya lagi.

Tak ingin keinginannya menjadi urusan panjang, perempuan berbaju panjang berwarna oranye itu mengangguk. Melihat itu Arga menarik napas lega. Sementara Dira ikut tersenyum seperti kedua orang tua menantunya.

**

Kembali ke kediaman mereka membuat hati Kiara kembali sepi. Merebahkan tubuh di ranjang menarik selimut dengan mata menerawang, memorinya terlempar ke masa di saat masih bersama Satria.

Tak lama kilas kejadian pagi beberapa hari yang lalu juga ikut hadir. Masih lekat di ingatan bagaimana saat bibir mereka bertemu. Sehingga tanpa disadarinya bulir bening menitik di pipi.

Arga yang baru saja masuk meletakkan tas milik sang istri melihat hal itu.

"Ra? Kamu nangis?" tanyanya seraya duduk di bibir ranjang.

Tak menyangka sang suami ada di dekatnya, segera Kiara membuat jarak seraya menggeleng.

"Nggak, kok, cuma ...."

"Sebelah mana yang sakit?" tanyanya mencoba menghapus pipi istrinya.

"Nggak ada," balasnya menjauhkan wajahnya dari tangan Arga.

"Ra." Cepat pria itu menahan lengan Kiara agar tak kembali menjauh.

"Lihat aku!" titahnya.

Kiara bergeming, dia masih menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Ra, aku tahu aku salah," tuturnya seraya menggeleng dengan wajah menyesal. "Please, kamu jangan bersikap seolah aku musuhmu ya. Dan kejadian beberapa waktu yang lalu yang mungkin membuatmu nggak nyaman itu ... aku mohon lupakan. Itu sama sekali nggak sengaja, Ra."

Ada nyeri perlahan menusuk hati Kiara. Suaminya bahkan memintanya untuk melupakan dan pria bersuara berat itu menganggap semua itu tak berarti dan sebuah ketidaksengajaan.

Kiara merutuk dirinya sendiri saat peristiwa itu. Entah kenapa ada rasa berbeda yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya terhadap sang suami.

"Ra." Arga menarik napas dalam-dalam masih mencekal lengan istrinya. "Jangan diemin aku ya. Setidaknya biarkan aku mengenalmu lebih dari sebelumnya." pintanya dengan nada memohon.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top