Jeda

Setelah beres, Kiara menyeret kopernya keluar kamar. Sebelum menutup pintu, kembali dia mengedarkan pandangan seraya tersenyum tipis.

Kiara mengayun langkah menuju ruang tengah. Matanya memindai ke arah dapur, lagi-lagi bibirnya tertarik menatap meja makan. Bayangan dia dan Arga tengah menikmati mie instan berkelebat membuat mata indahnya berkaca-kaca.

Saat dirinya hendak melangkah menuju pintu rumah, ponselnya bergetar.

[Kiara, kamu tetap bawa satu kunci rumah ya. Kamu boleh datang ke rumah kita kapan pun kamu mau. Tolong jangan pernah matikan ponselmu untukku. Jaga diri baik-baik. Jangan telat makan dan jangan terlalu sibuk.]

Air matanya tanpa sadar jatuh begitu saja membaca pesan dari sang suami. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Kiara membuang napas perlahan.

Kembali dia memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas tanpa membalas pesan Arga. Langkahnya terhenti saat melewati bingkai besar berwarna emas di ruang tamu.

Potret dirinya dan Arga saat pernikahan mereka. Semua terkesan benar-benar sempurna. Dia tersenyum bahagia begitu juga dengan Arga.

Terkadang tanpa kita sadari, luka itu bisa menimbulkan bahagia. Karena memang bahagia dan luka itu selalu jalan berdampingan.

Suara Heru memanggil namanya terdengar. Menarik napas dalam-dalam seraya menghapus air mata, Kiara melanjutkan langkahnya meninggalkan rumah pribadi Arga.

"Kamu baik-baik aja, kan, Nak?" tanya Liara saat putrinya meletakkan barang di bagasi.

"Baik, Ma. Eum ... Pa, boleh Kiara ke rumah singgah dulu? Ada hal yang harus diselesaikan di sana," tanyanya menoleh ke Heru.

"Jadi barang-barangmu kami bawa pulang dulu?"

Kiara mengangguk.

"Kiara bawa mobil sendiri, nanti selesai urusan Kiara pulang."

"Oke, kamu hati-hati ya!"

Mengulas senyum, Kiara mengangguk seraya melambaikan tangannya.

"Oh iya, Ra. Jangan pulang terlambat ya. Nanti kedua kakakmu makan malam di rumah," pesan sang papa sebelum mobilnya meluncur.

Kiara membuang napas perlahan. Cerita tentang pernikahan ini pasti akan sampai ke telinga kedua kakaknya. Angga dan Gilang pasti akan berang jika tahu hal sesungguhnya.

Akan tetapi, percuma jika dia melarang kedua orang tuanya untuk cerita, karena mau tidak mau mereka akan mencurigai keberadaan dirinya di rumah itu tanpa Arga.

Mengembuskan napas, dia lalu membalik badan menuju garasi untuk selanjutnya pergi meninggalkan rumah itu tanpa membawa kunci seperti yang diminta Arga. Kiara menitipkan kunci rumah ke petugas keamanan di komplek itu.

Baginya menjauh adalah jalan terbaik untuk menemukan solusi dari masalah pelik yang kini  tengah dihadapi. Kiara tak ingin selalu terbawa perasaan jika masih menyimpan kunci rumah itu.

Jika nanti pada akhirnya dia tidak bisa kembali dengan Arga, itu sama sekali tidak akan mempengaruhi hidupnya, meski status dirinya berubah menjadi seorang janda.

Kiara menarik bibirnya singkat. Janda! Apa yang buruk predikat itu? Toh dia tetap menjadi seorang Kiara meski dia tak lagi 'utuh' seperti dulu. Dia sama sekali tidak memusingkan hal itu. Karena bagi Kiara hidupnya sudah selesai saat Satria pergi.

**

Arga memegang pipinya yang baru saja terkena tamparan Atma. Jika tadi saat ada mertuanya, sang papa terlihat tenang, tidak dengan sekarang. Pria paruh baya itu terlihat sangat marah dan kecewa.

Meski Dira mencoba meredam kemarahan sang suami, tetapi sama sekali tak berpengaruh. Papa Arga itu tetap meluapkan amarahnya.

"Kamu ... kamu sudah bikin Papa kecewa sekaligus malu, Arga! Kelakuan macam apa yang sudah kamu lakukan itu! Apa yang ada di kepalamu, hah!"

Arga membisu. Dia tahu dan sadar jika itu salah dan dia berhak menerima kemarahan itu. Kini dia merasa Tuhan benar-benar telah menghukumnya.

"Papa nggak mau tahu! Kamu harus bisa mengambil kembali Kiara dan tetap menjadi istrimu bagaimana pun caranya! Kamu dan Kiara tidak akan pernah bercerai! Urus dan selesaikan perempuan yang kamu bilang pacar itu! Jika tidak dan jika kamu tetap bersama dia, Papa ambil kembali aset yang sudah Papa beri ke kamu! cecar Atma lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Arga mengangkat wajahnya menatap sang papa. Tak menyangka papanya memberi hukuman dan keputusan secepat itu. Bahkan dia sendiri belum sempat menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi. Meski dia tahu dirinya tetap bersalah.

Dira menatap Arga yang terpekur. Sesal tergambar jelas di wajahnya. Meski kesal dan kecewa kepada Arga, tetap saja sebagai seorang Ibu dia ikut sedih melihat masalah yang menimpa putranya.

"Arga sebaiknya kamu ke kamar. Istirahatlah!" titah Dira mendekat.

"Mama, Arga harap Mama juga nggak ikutan menyalahkan Arga seperti Papa. Sungguh, Ma! Arga sudah ingin membenahi pernikahan Arga, dan Arga siang tadi bertemu untuk menyampaikan hal itu pada Astrid."

Dira menggeleng.

"Jangan kamu sebut namanya di depan Mama. Kamu tahu kenapa, kan?" Dira menepuk bahu putranya.

"Lagipula kamu tahu bagaimana papamu jika telah membuat keputusan. Jadi sebaiknya kamu berpikir bagaimana masalah ini segera selesai."

Mengusap puncak kepala sang putra, Dira melangkah menuju kamar untuk menenangkan suaminya.

**

Kiara membelokkan mobilnya. Dia tidak pergi ke rumah singgah. Perempuan yang mengenakan celana jeans berwarna hitam dan blous abu-abu itu memutuskan ke pemakaman meski sore menjelang.

Kedatangannya disambut dengan mata menyipit oleh Tarno. Tak biasanya perempuan itu datang saat matahari hendak tenggelam.

"Sore, Mbak. Tumben?" tanyanya seraya mempersiapkan bunga yang biasa dipesan Kiara.

"Iya, Pak. Kebetulan lewat dan ... kangen Mas Satria," balasnya lirih sambil menerima bunga dari tangan Tarno.

Setelah menyerahkan sejumlah rupiah, Kiara melangkah menuju nisan pria yang memiliki tempat istimewa di hatinya.

"Apa kabar, Mas? Maaf aku kesorean. Aku kangen," sapanya seolah pria itu memang tengah menunggunya.

Menarik napas dalam-dalam dia lalu meletakkan rangkaian bunga itu di atas nisan.

"Mas tahu? Kadang memilih untuk menyendiri dan memutus hubungan dengan orang lain itu lebih baik daripada membaur tetapi tetap sepi."

Hening. Kiara menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Aku sudah memutuskan untuk menjauh, Mas. Aku memutuskan untuk menepi. Memberi jeda agar semuanya selesai. Aku lelah berpura-pura, Mas."

Satu senyum tercetak di bibirnya.

"Aku udah nggak cengeng, kan? Aku bisa tegas sekarang. Kiaramu sudah seperti yang Mas inginkan."

Mengusap pipinya yang basah dia kembali berkata, "Mas tahukan? Aku telah mencoba membuka hati  berharap ada yang bisa mengisi, tetapi aku salah, Mas. Hatiku telah terbuka kepada orang yang salah. Aku bodoh, kan?"

Kiara tersenyum getir.

"Mungkin itu karena memang hatiku hanya mau menerima dirimu. Karena menurutnya cuma Mas yang masih layak di hatiku," tuturnya seraya mengusap nisan.

"Aku berlebihan ya, Mas?" tanyanya kali ini tersenyum sedikit lebar, "nggak apa-apa, biarin aja lebay!" sambungnya masih dengan senyum.

Langit sudah mulai menampakkan warna saga. Kiara bangkit perlahan kemudian mengucap salam dan pamit pergi. Hatinya kembali sunyi. Dia melangkah ke mobil setelah sebelumnya berpamitan dengan Tarno.

Satu pesan masuk di ponselnya, Kiara menarik napas dalam-dalam saat mengetahui pengirim pesan. Gilang kakak pertamanya.

[Ra, pulang! Mas tunggu kamu di rumah!]

Malas dia mengetikkan satu kata.

[Iya.]

**

Arga meremas rambutnya kesal. Dia sama sekali tidak bisa berpikir harus mengurai masalah dari mana. Semuanya terasa buntu. Kiara yang sama sekali tak menerima telepon dan tak membalas pesannya justru semakin membuatnya frustrasi.

Belum lagi telepon dari Astrid yang bertubi-tubi menjadikan dirinya merasa di medan perang.

Ketukan di pintu membuat Arga menoleh.

"Masuk!"

Tampak Damar melongok dengan bibir tersenyum. Dia lalu masuk dan kembali menutup pintu.

"Sabar, Mas!" tuturnya seraya mendekat ke sofa lalu duduk tepat di samping Arga.

"Apa yang bisa kubantu?" tanyanya menatap sang kakak yang semakin terlihat kacau.

Arga menggeleng cepat.

"Nggak ada dan nggak perlu dibantu!" tukasnya.

Damar menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia tahu sang kakak sedang tak bisa berpikir jernih saat ini. Akan tetapi, itu bukan alasan untuk meninggalkannya sendirian bukan?

"Oke! Tapi kalau Mas butuh bantuan, aku ada, Mas," balasnya.

Arga tak menyahut. Dia lalu bangkit membuka kemejanya dan masuk ke kamar mandi setelah sebelumnya meminta agar Damar keluar dari kamarnya.

**

Kiara duduk di sebelah mamanya
Malam itu selepas makan bersama mereka berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati camilan yang dibuat pembantu rumah tangga mereka.

"Ra, sebaiknya kamu ikut Mas Gilang aja ke Surabaya. Kamu tinggal di sana aja. Lagian ada rumah nganggur juga di sana bisa kamu tempati," ujar Gilang kakak tertua dari Kiara.

"Iya, Ra. Kalau ikut Mas Angga juga bisa, cuma memang agak jauh. Tapi kalau kamu mau bukan masalah, kan?" Angga menimpali.

Heru yang baru saja bergabung duduk di tengah-tengah mereka. Pria bertubuh sedikit subur itu ikut menimpali.

"Kiara untuk sementara tetap harus berada di kota ini sampai masalahnya selesai," ujarnya. "Ingat, dia masih sah istri Arga Lazuardi Atmajaya meski sedang bermasalah."

Gilang mengepalkan tangannya lalu menatap Kiara.

"Andai nanti Mas bisa ketemu sama Arga Mas punya hadiah menarik untuknya!" tuturnya geram.

Tahu bagaimana jika Gilang sedang marah, Kiara menggeleng.

"Mas, nggak perlu menyikapi seperti anak kecil gitu! Udah, biarkan masalah ini selesai tanpa ada kekerasan. Kiara nggak mau ada pertengkaran, Mas."

"Dia sudah keterlaluan, Ra! Kamu itu adikku. Adik perempuan satu-satunya diperlakukan seperti itu Mas pikir nggak ada satu orang pun di dunia ini yang rela!" balasnya sengit.

"Kiara tahu maksudnya, Mas. Tapi tolong jangan sampai ada kekerasan, Mas. Semuanya pasti bisa diselesaikan dengan baik," balas Kiara.

"Kamu juga, Ra! Kenapa nggak bilang ke kami soal ini? Nggak seharusnya laki-laki seperti dia dilindungi!" Angga menimpali.

"Sudah, sudah! Sekarang kita nggak usah menyalahkan satu sama lain. Lebih baik dan bijak jika kita selesaikan semuanya dengan cepat itu akan lebih baik untuk Kiara," tutur Liara menengahi perdebatan putranya.

"Mama sekarang cuma ingin Kiara bahagia. Entah dengan cara apa,cuma Kiara yang tahu," ucapnya lagi seraya menatap hangat putrinya.

**





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top