Hujan

Kiara meletakkan satu mangkuk mie instan dengan asap yang masih mengepul di depan Arga.

"Di makan, Mas."

"Thank you!"

Sejenak dia menatap Arga kemudian mengaduk mie instan miliknya.

"Astrid tadi nggak marah, kan?" tanyanya membuka pembicaraan.

"Maaf kalau ucapanku tadi membuat dia tersinggung. Aku hanya ...."

"Nggak apa-apa, Ra. Aku tahu, nggak seharusnya juga Astrid berada di tempat itu tadi," potong Arga. "Maafin aku ya."

Kiara menghela napas kemudian perlahan kemudian tersenyum.

"Maaf untuk apa? Semua yang Mas lakukan nggak salah. Toh memang seperti itu yang Mas mau, kan? Aku juga setuju, jadi ... nggak ada yang perlu dimaafkan," tegasnya.

Jawaban tegas sang istri membuat Arga meletakkan sendoknya lalu memindai wajah Kiara. Pria itu kembali teringat bagaimana ekspresi Kiara ketika mengatakan statusnya. Entah mengapa ada sedikit kelegaan saat Kiara mengatakan dirinya adalah seorang suami.

Padahal jelas Arga hanya menginginkan hubungan tiga bulan untuk membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa mereka telah salah dalam menilai dan mempercayai mitos.

"Besok sore jadi aku jemput ya. Kita ke rumah Mama," ujar Arga menatapnya intens.

Kiara mengangguk.

"Besok aku nggak ke kantor," tuturnya.

"Kenapa? Kamu mau ke mana?" tanya Arga dengan nada sedikit panik.

Sambil mencepol rambutnya, Kiara bangkit dan membawa mangkuk yang sudah kosong ke sink di dapur.

"Ra? Kamu mau ke mana besok? Kok nggak ngantor?" Arga kembali bertanya, tapi kali ini ikut bangkit mendekati sang istri.

"Aku capek! Mau istirahat," sahutnya santai.

"Di? Eum, maksudku istirahat di mana?"

"Emang ada tempat yang nyaman selaim kamar untuk istirahat?" tanyanya mengambil mangkuk milik Arga untuk dicuci.

Pria itu menghela napas lega. Awalnya dia berpikir Kiara akan pergi ke suatu tempat untuk beristirahat, tetapi di luar dugaan, istrinya itu memilih kamar untuk menenangkan dirinya.

"Kalau begitu aku jemput kamu di sini besok."

Mengeringkan tangannya, Kiara membuka lemari es mengambil jus jambu merah buatannya pagi buta tadi.

"Aku boleh beristirahat di apartemenku?" tanyanya menuang ke gelas lalu menyerahkan ke Arga.

Pria itu menerima dengan mata menatap lekat istrinya.

"Kenapa di apartemenmu? Apa rumah kita nggak cukup nyaman buatmu untuk istirahat?"

Tak menyahut, Kiara melangkah menuju  mini bar dan duduk di sana.

"Ra." Arga mengekor ikut duduk di sebelah sang istri.

"Ini rumahmu, Mas."

Arga menghela napas. Dia semakin kesulitan menghadapi sikap Kiara yang terkadang membuat dirinya bingung.

"Kamu nggak merasakan nyaman di sini? Ini rumah kamu juga, Ra! berapa kali aku katakan itu."

Kiara diam.

"Kamu jangan ke mana-mana ya. Istirahat di rumah ini aja," mohonnya mencoba meraih tangan sang istri, meskipun kembali gagal karena Kiara memilih menghindar.

"Oke. Aku nggak ke mana-mana."

Bibir Arga mencipta bulan sabit. Parasnya terlihat lega setelah mendengar pernyataan Kiara.

"Sudah malam, aku ke kamar dulu." Perempuan itu bangkit setelah kembali merapikan cepolan rambutnya yang terlepas.

"Oke, selamat istirahat, Ra," balas Arga yang lagi-lagi terpaku melihat leher jenjang istrinya.

Senyum kecil terpeta di bibir Kiara. Perempuan itu lalu mengayun langkah meninggalkan sang suami yang masih enggan memalingkan mata ke arah lain.

**

Malam semakin larut, terdengar gemericik air turun dari langit. Kiara masih terjaga di atas ranjang. Di depannya laptop masih menyala. Ada banyak kerjaan yang harus dia selesaikan malam ini sebelum esok dia mengirim email ke beberapa mitra bisnisnya. Diiringi musik lembut melalui earphone perempuan berhidung mancung itu seperti tak kenal waktu.

Rinai terdengar semakin deras. Sementara di luar kamar, Arga juga masih terjaga. Pria bertubuh tegap itu masih asyik dengan gadgetnya meski televisi menyala. Di sebelahnya ada laptop yang juga menyala.

Sama halnya dengan sang istri, malam itu dia berusaha menyelesaikan semua laporan dan berkas kerjasama yang harus ditandatangani. Besok dia berniat untuk masuk kantor lebih siang. Karena besok Kiara memilih tidak masuk kerja.

Saat tengah membuka beberapa email masuk, tiba-tiba saja di memorinya berkelebat wajah Kiara dan leher jenjang sang istri tadi. Walau bagaimanapun dia pria normal dan Kiara adalah istri sahnya. Meski dirinya merasa menjadi pria pengecut yang berlindung di balik punggung sang istri.

Arga lalu mengusap wajah dan mengurut pelipis seraya menggeleng, dia membuka galeri ponselnya. Bibir pria itu sejenak mengembang melihat wallpaper di handphone-nya. Namun, senyum itu pudar perlahan.

Arga menarik napas dalam-dalam meletakkan gadgetnya tepat saat petir tiba-tiba menggelegar dan listrik padam.

Terkejut dengan keadaan, Arga segera bangkit menyalakan senter di ponsel. Teringat Kiara, segera dia mengarahkan cahaya pintu kamar istrinya itu. Sepi, dia berpikir perempuan itu sudah terlelap.

Sementara di kamar, Kiara tampak gusar. Dia sangat membenci gelap. Sejak kecil dirinya selalu menangis jika keadaan gelap gulita. Terlebih kondisi cuaca di luar yang berangin serta hujan turun semakin deras. Suara embus angin yang berpadu dengan gesekan dedaunan menciptakan suasana mencekam baginya.

Sama dengan Arga. Demikian pula dengan Kiara, dia segera bangkit menyalakan penerangan dari ponselnya. Kiara teringat ada lampu emergency di ruang tengah.

Segera dia membuka pintu. Pikirannya cuma satu, menyalakan lampu emergency supaya gelap bisa teratasi. Namun, saat pintu terbuka, dia tak bisa menahan rasa terkejut ketika menabrak sosok Arga yang berdiri tepat di depannya.

"Sstt! Ini aku, Ra." Arga mencoba mendekap Kiara menenangkan rasa terkejutnya.

"Mas ngapain di depan kamarku?" tanyanya mengurai pelukan lalu membuat jarak.

"Eum ... aku mau kasi ini," sahutnya menyerahkan lampu emergency ke Kiara.

"Aku pikir kamu sudah tidur, jadi agak ragu tadi mau ngetuk pintu," jelas Arga.

Pria itu terlihat sedikit canggung ketika menyadari istrinya hanya mengenakan tank top dan celana pendek sebatas paha sehingga meski dalam keremangan, tetap terlihat kulitnya yang bersih.

"Oke, makasih." Dia menerima benda itu dari tangan Arga. "Eum ... Mas belum tidur?" tanyanya menyelidik.

Menggeleng dia menjawab, "Belum. Masih ada beberapa email yang harus aku pelajari."

"Sudah malam, sebaiknya Mas istirahat. Besok masih ada waktu. Lagipula Mas yang punya kendali atas perusahaan itu, kan? Nggak dikejar-kejar atasan."

Arga mengangguk. "Eum, kamu nggak kedinginan?" tanyanya ragu.

Kening Kiara berkerut.

"Apa, Mas?"

"Enggak, ini kan hujan deras, AC nyala, kamu berpakaian seperti ini nggak dingin emang?" jelasnya dengan wajah resah.

Seperti baru tersadar, Kiara segera menutup dadanya dengan kedua tangan. Terlihat jelas oleh Arga pipi Kiara merona.

"Aku balik tidur ya, Mas. Selamat malam," tuturnya mundur perlahan lalu menutup pintu.

Di dalam, Kiara menepuk dahinya berkali-kali. Dia sama sekali tidak sadar dengan penampilannya di depan Arga barusan.

"Semoga dia nggak berpikir macam-macam! Jangan sampai dia berpikir aku sedang menggodanya! Nggak! Nggak boleh begitu!" gumamnya masih bersandar di balik pintu.

Sementara Arga masih berdiri di tempatnya. Bibirnya sedikit terangkat mengingat ekspresi sang istri. Namun, kemudian pria itu menggeleng lalu melangkah ke kamarnya.

"Have a nice dream, Kiara," tuturnya sedikit keras berharap sang istri mendengar.

**

Kiara tersentak ketika ponselnya berdering. Matanya seketika menatap jam dinding.

"Jam delapan? Oh, God!" keluhnya mengusap wajah.

Segera dia menerima panggilan dari Fia.

"Halo, Fi?"

"Ya ampun, Kiara! Sejak tadi itu aku telepon! Kamu ke mana aja sih? Hari ini jadi nggak ngantor?"

Menghela napas, dia menjawab, "Iya. Aku mau istirahat, Fi. Email aku kirim sekarang ya. Sori, semalam listrik padam jadi ...."

"Hah? Listrik mati? Terus kamu ngapain? Semalam hujan, kan?  Kamu sama ...."

"Jangan mikir aneh-aneh! Udah ah! Aku kesiangan ini. Aku mau mandi!" potongnya disambut tawa dari seberang.

Kiara menarik napas lega setelah obrolan berakhir. Dia lalu bangkit menuju kamar mandi membersihkan diri.

Setelah rapi mengenakan mengenakan baju terusan sebatas lutut, dengan rambut dibiarkan tergerai, Kiara menuju dapur. Merasa sang suami sudah ke kantor, dia tak lagi memperhatikan garasi dan kamar suaminya.

Saat asyik mengoles butter ke roti untuk dipanggang, tiba-tiba Arga sudah berada di sampingnya.

"Pagi. Baru bangun?" sapa pria itu.

Sedikit melonjak, mata Kiara membulat. Pria di sampingnya itu tampak baru saja selesai jogging. Kaus tanpa lengan menunjukkan jelas otot bisepnya. Meski terlihat berkeringat, tak terendus aroma keringat dari tubuh tegapnya. Seperti biasa, dia tetap wangi dengan parfum favoritnya.

"Kenapa bengong?" tanyanya memiringkan wajah membalas tatapan Kiara.

Terpergok tengah mengamati sang suami, cepat dia memalingkan muka ke arah lain.

"Mas kok nggak ke kantor?" tanyanya kembali meneruskan aktivitas.

"Nanti jam sembilan. Sekalian ada meeting di kantor," jawabnya membuka lemari es.

"Mau ngapain?"

"Minum."

"Jangan minum air dingin! Itu ada lemon hangat baru aku buat. Mas bisa minum itu."

Senyum Arga terbit. Meski sang istri terlihat tak acuh, tetapi perhatian kecil kerapkali dia tunjukkan.

"Ini minuman kamu, kan? Kenapa kamu kasi ke aku?"

"Aku bisa bikin lagi nanti. Sehabis olahraga nggak baik minum air dingin," jawabnya seraya meletakkan roti yang sudah selesai dipanggang ke piring saji.

"Mas sarapan dulu. Terus siap-siap!" titahnya memberi isyarat agar Arga menuju meja makan.

"Ra."

"Ya?"

"Makasih ya."

"Makasih untuk?"

"Kamu udah perhatian ke aku."

Kiara menarik bibirnya sejenak.

"Itu tugasku untuk tiga bulan ke depan, kan?"

**

Colek jika typoooo 😘😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top