Bertemu
Mobil Rendra memasuki komplek perumahan. Demikian pula dengan Arga. Menjaga agar tak diketahui Rendra dan rekannya, dia memperlambat lagi kendaraannya, hingga mobil di Rendra berhenti di depan rumah berwarna putih.
Rumah itu tanpa pagar karena hunian itu mengusung tema cluster. Halaman depannya ditumbuhi rumput yang terlihat terawat dengan aneka tanaman yang mempercantik tampilan rumah tersebut.
Arga menjaga jarak agar tak dicurigai. Terdengar suara Fia memanggil nama Kiara. Sebisa mungkin dia menahan agar tidak keluar dari mobil ketika melihat Kiara menyambut kedatangan mereka.
Meski dari jauh, tetap dia bisa menikmati wajah cantik dan senyum indah perempuan itu. Tanpa disadari, bibirnya ikut melebar. Arga merasa lega melihat Kiara dalam kondisi baik-baik saja.
"Syukurlah kamu baik-baik aja, Ra. Kamu sepertinya bahagia, tapi aku nggak. Aku kesepian, Ra," gumamnya seraya tersenyum getir.
Tak pernah terlintas di kepalanya mempunyai perasaan cinta yang teramat dalam terhadap perempuan itu. Terlintas di kepalanya untuk turun untuk bertemu Kiara. Arga merasa sudah cukup tersiksa dengan kondisinya saat ini.
"Oke, aku rasa aku harus turun dan mengatakan hal yang sebenarnya. Aku nggak bisa diam aja!"
Dia kemudian melepas sabuk pengaman memakai kacamata hitam dan membuka pintu. Akan tetapi, saat melihat mobil lain berhenti di depan rumah Kiara, Arga mengurungkan niatnya.
Perlahan dia kembali menutup pintu mobil mengawasi kendaraan yang baru saja berhenti tepat di belakang mobil Rendra.
Matanya menyipit melihat seorang pria yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Sementara di sampingnya ada Angga kakak Kiara. Mereka berdua dengan santai berjalan ke rumah Kiara hingga menghilang dari pandangan. Kali ini wajah Arga menegang.
Siapa pria itu? Kenapa dia dengan mudahnya bisa menemui Kiara. Mungkin teman Angga, tetapi kenapa Angga datang ke rumah Kiara bersama pria lain? Sementara dia masih sah sebagai suaminya selalu dipersulit dan dihalangi.
Ini semua nggak boleh terjadi! Kiara harus menjelaskan semuanya soal ini. Dia masih berhak atas apa pun di kehidupan Kiara.
Arga mulai meradang. Dia bahkan tak bisa berpikir realistis tentang pria yang datang bersama Angga. Masih diliputi amarah, Arga memutuskan untuk mendatangi rumah sang istri. Akan tetapi, lagi-lagi dia harus menghentikan niatnya karena Angga dan pria itu keluar dari rumah diikuti oleh Kiara.
Tampak Kiara tertawa geli saat pria berbicara padanya.
Tuhan! Sedemikian dekatnya Kiara dengan pria itu. Terlihat mereka bertiga saling bercanda dan meski dari jauh, Arga dapat melihat jelas bagaimana cara pria itu menatap istrinya.
Tidak suka dengan pemandangan di depannya, Arga bergegas keluar dari mobil. Dengan melepas kacamata dia berjalan mendekat ke halaman rumah Kiara. Kedatangan Arga tentu saja mengejutkan mereka, terlebih Kiara.
"Kiara!" serunya.
"Mas Arga?"
Angga menarik tangan adiknya supaya tidak mendekat. Kakak kedua Kiara itu menghampiri Arga.
"Ngapain ke sini?" tanyanya ketus dengan mata menusuk.
"Saya suaminya! Saya berhak bertemu istri saya!" tegas Arga berusaha melewati Angga.
Sementara Rama hanya bisa terheran-heran melihat kejadian itu.
"Ada apa ini, Ra? Dia siapa?" Rama menatap Kiara.
"Dia suami Kiara, Mas."
Kening Rama berkerut tak menyangka gadis kecil yang dulu selalu bisa membuatnya tertawa telah menemukan pasangan hidupnya. Akan tetapi, ada apa dengan rumah tangga Kiara? Rama mencoba mencari tahu, tetapi tentu sekarang bukan saatnya.
"Kiara, tolong ikut aku sekarang," mohonnya masih dihalangi oleh Angga.
"Aku ingin bicara banyak denganmu, Ra. Please!"
Angga mendorong Arga sehingga pria itu hampir terjengkang. Tak menunggu lama kepalan tangan Angga hampir mendarat di wajah pria itu.
"Mas Angga! Aku udah bilang, kan? Aku nggak suka segala sesuatunya diselesaikan dengan kekerasan!" pekik Kiara berlari melindungi sang suami.
"Dengar, Mas! Masalah ini bukan hanya Mas Arga yang salah, tapi aku juga punya andil di dalamnya dengan membiarkan semua berjalan begitu saja!"
Mendengar keributan, ketiga rekannya keluar. Mereka menyaksikan apa yang terjadi dengan tatapan cemas.
"Tapi dia sudah kurang ajar ke kamu, Ra! Dia harus dapat hukuman dan nggak pantas dimaafkan!" Angga masih sengit.
"Mas Angga cukup! Aku hargai itu. Tapi bukan begini caranya."
Kiara lalu menoleh ke Arga. Menatap mata pria itu seperti ada selaksa harap dan rindu yang tergambar di dalamnya. Tak dipungkiri jika hal yang sama juga dirasakan oleh Kiara meski berulangkali dia mencoba mengalihkan rasa itu.
"Mas mau bawa aku ke mana?"
"Pulang, Ra. Kita pulang!"
Kiara menggeleng sambil tersenyum.
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa," tolaknya.
"Kenapa?"
"Mas tentu tahu jawabannya. Aku nggak mau ...."
"Astrid! Iya, kan?" potong Arga cepat.
"Aku kan sudah bilang selesaikan semuanya dengan cepat. Jadi aku dan Mas bisa tahu apa yang akan kita lakukan selanjutnya."
Angga dan yang lainnya masuk atas ajakan Rendra. Rekan Kiara itu memberi isyarat agar Kiara dan Arga agar membiarkan mereka berdua.
"Kita bicara di mobil. Karena aku nggak mungkin masuk ke sana, terlalu banyak pria yang menyayangimu, Ra! Dan itu membuatku ingin memukul mereka semua satu per satu."
Mata Kiara menyipit mendengar ucapan suaminya. Pria itu menurutnya terlalu sulit untuk ditebak. Terkadang dia tak acuh, terkadang perhatian, kadangkala bersikap manis, tetapi tak jarang pula dia terlihat sulit menentukan sikap sehingga tampak datar saja.
Kiara membiarkan tangannya digenggam oleh Arga. Pria itu membawanya ke mobil.
"Apa kabar, Ra?" tanyanya setelah mereka berdua berada di mobil.
Menelan ludah, Kiara mengangguk seraya berkata, "Baik, Mas. Mas sendiri apa kabar?"
Arga menarik bibirnya samar.
"Aku buruk! Kabarku sangat buruk. Tapi aku senang setelah tahu kamu baik-baik saja dan terlihat bahagia."
Kalimat Arga seolah sindiran buatnya. Pria itu tidak tahu bagaimana setiap malam dirinya tak bisa terlelap tenang.
Arga juga tidak pernah tahu jika hatinya selalu terasa diremas setiap mengingat kebersamaan mereka. Tentu saja Arga juga tidak tahu jika belakangan ini asam lambungnya sering kambuh.
"Ra."
"Iya, Mas?"
Arga menarik napas dalam-dalam kemudian menatap perempuan di sebelahnya. Kiara terlihat cantik seperti biasa meski menurutnya terlihat sedikit pucat. Perlahan Arga meraih jemari sang istri. Seraya memiringkan wajah dia bertanya, "Kamu sakit, Ra?"
Kiara menggeleng sambil tersenyum.
"Nggak, Mas. Aku sehat."
"Tapi kamu pucat, Ra? Kamu jangan bohong, kamu sakit?" Kali ini kedua tangannya menangkup wajah Kiara.
"Udah ke dokter?" Terlihat kekhawatiran pada suara Arga.
"Aku baik-baik aja, Mas. Aku nggak apa-apa, kok!" jawabnya seraya menepis pelan tangan Arga.
Kiara bergeming. Matanya menatap lurus ke depan. Kepalanya berdenyut mengingat kejadian pagi tadi.
Tak biasanya dia terbangun dengan kondisi mual setengah mati. Padahal semalam dia sudah mengonsumsi obat asam lambung yang biasa dia minum, tetapi sama sekali tidak berpengaruh pada perutnya.
"Katakan apa yang mau Mas bicarakan! Aku masih banyak urusan," tegasnya tanpa menoleh.
"Aku ingin bicara kalau aku cuma ingin kamu kembali ke rumah kita, Ra."
Kiara menarik bibirnya singkat. Pulang ke rumah itu sebagai apa? Sebagai istri yang hanya pelengkap? Atau sebagai pelarian karena menyembunyikan sandiwara babak kedua yang telah direncanakan oleh pria itu? Membayangkan hal itu Kiara menggeleng pelan.
"Aku mau kamu kembali ke rumah kita sebagai istri. Sebagai satu-satunya istriku yang kelak akan melahirkan anak-anakku!" jelasnya kali ini kembali meraih tangan Kiara lalu membawa ke dada seolah mencoba meyakinkan bahwa apa yang diucapkan ada suatu kesungguhan dari hati.
Sepi. Kiara hanya bergeming membiarkan Arga menatapnya lekat.
"Maafkan aku, Ra. Maafkan aku atas apa yang sudah aku lakukan padamu," tutur Arga dengan suara berat.
"Aku tahu mungkin aku nggak bisa dimaafkan, tapi beri aku kesempatan, Ra. Aku akan mengubah semuanya."
Kiara menarik pelan tangannya.
"Bagaimana dengan Astrid? Apa Mas sudah bicarakan soal ini? Tolong, Mas. Aku nggak mau Mas seperti ini karena kasihan. Jangan pernah kasihani aku. Aku baik-baik aja. Sungguh!"
"Kiara! Apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa mengerti bahwa aku sungguh-sungguh? Katakan!"
Kiara mengangkat wajahnya membalas tatapan Arga.
"Aku nggak perlu menjawab dan menjelaskan apa yang Mas harus lakukan. Karena aku yakin Mas tahu yang harus Mas lakukan. Kalau Mas masih ingin bersama Astrid. Pergilah! Aku baik-baik aja!"
Arga mengembuskan napas perlahan. Entah mengapa dia bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Kiara.
"Sore ini aku janjian sama dia. Aku akan katakan apa yang jadi keputusanku. Aku nggak peduli dia bisa terima atau nggak!"
Arga lalu menceritakan bahwa Astrid datang ke rumah papanya dan membuat cerita yang sama sekali tidak benar.
"Aku sadar, seharusnya yang protes soal ini adalah kamu, Ra. Tapi kamu diam dan memberi aku ruang untuk berpikir. Terima kasih untuk semua pengertianmu."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top