Bersandiwara
Mata Arga sejak tadi mengawasi Kiara dari yang tengah menyiapkan makan malam di dapur. Perempuan semampai itu sesekali menyibakkan rambut panjangnya.
Suara denting alat dapur berpadu dengan aroma sedap yang menguar dari masakan Kiara. Seolah tengah menikmati acara memasak di televisi, dia terus memindai kegiatan sang istri dari ruang makan yang memang tidak diberi sekat. Sehingga memudahkan siapa pun melihat ke arah dapur.
Siang tadi mereka berdua pulang ke rumah. Selain supaya Arga ingin Kiara lebih leluasa, dia juga tidak ingin sang mama menatapnya dengan tatapan curiga ketika menerima telepon seperti saat Kiara ke kantor pagi tadi.
Ayam goreng mentega siap memanjakan lidah Arga malam ini. Tersenyum tipis, Kiara membawa hidangan itu ke meja.
"Sudah selesai?" tanya Arga masih yg dengan mata tak lepas menatap sang istri.
"Sudah. Mau makan sekarang?"
"Boleh!"
Cekatan dia mengambil nasi dan lauk pauknya ke piring, kemudian meletakkan tepat di depan Arga.
"Selamat makan. Semoga suka!" tutur Kiara dengan senyum terukir.
"Thank you. Kamu nggak ikut makan?" Kening Arga terlihat berkerut memandang sang istri.
"Aku ...."
"Diet?"
Dia menggeleng cepat.
"Lalu?"
Menarik napas Kiara berkata, "Aku masih kenyang."
Pria berkaus putih itu tersenyum. Mengedikkan bahu, Arga memulai suapan pertamanya. Tampak dia mengangguk-angguk sambil terus mengunyah.
"Enak?" tanya Kiara ragu.
"Enak dong! Enak banget malah!" pujinya kembali menyendokkan suapan keduanya.
"Nggak bohong?"
"Kenapa harus bohong untuk makanan seenak ini?" balasnya. "Kamu ternyata pintar masak juga! Aku nggak nyangka seorang Kiara juga suka menyambangi dapur."
Kiara menarik bibirnya singkat.
"Nggak juga. Jujur aku baru masak menu itu barusan. Sebab aku bingung mau masak apa."
"Barusan?" tanyanya tak percaya.
Kiara mengangguk.
Kali ini Arga kembali dibuat kagum oleh kepiawaian sang istri.
"Kamu mau coba nggak?" tanya Arga menatapnya. "Duduk sini! Di sebelahku!" titahnya dengan isyarat dagu.
"Coba apa?" Kiara mengikuti perintah sang suami.
"Masakan ini. Mau coba?" Pria itu menyendok makanannya lalu mengangkat dan menyorongkan ke Kiara.
"Cobain! Aku pikir ini nggak kalah dengan masakan di restoran!" tuturnya memberi isyarat agar Kiara membuka mulutnya.
Tampak Kiara ragu, tetapi karena Arga terlihat memohon, mau tak mau dia membuka mulutnya perlahan.
Suapan pertama dari tangan sang suami membuat mata mereka saling bersirobok. Arga tak menyangka perempuan yang berpredikat istrinya itu kali ini mengikuti apa yang dia inginkan.
Demikian pula dengan Kiara. Hatinya justru merasa aneh saat dia begitu saja mengikuti keinginan Arga.
Dering telepon menyudahi tatapan mata itu. Ponsel Arga yang berada di sebelah piringnya terlihat menyala. Jelas terlihat identitas pemanggil di sana.
Tak ingin masuk terlalu dalam pada situasi saat itu, Kiara bangkit meninggalkan Arga yang masih terpaku dengan kejadian barusan.
"Kiara kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke kamar. Ada kerjaan yang harus diselesaikan. Maaf," balasnya tanpa memberi kesempatan Arga untuk bertanya lebih lanjut.
Menarik napas dalam-dalam kemudian dia meletakkan sendok ke piring. Sejenak dia membiarkan telepon seluler miliknya terus berdering. Memijit pelipisnya, Arga menggeser tombol menerima panggilan.
**
Memakai baju olahraga berwarna pink dengan rambut dicepol menyisakan rambut di sisi kanan dan kiri dan sepatu kets putih, pagi-pagi sekali Kiara sudah bersiap pergi.
"Kiara? Kamu mau pergi?" Arga tampak heran melihat penampilan berbeda dari sang istri.
"Ada acara Minggu bersih di kantor. Seperti biasa disusul dengan bazar," paparnya mengulas senyum. "Sarapan udah siap, Mas. Aku berangkat dulu ya."
Membalik badan, dia membuka pintu.
"Kamu nggak mau ngajakin aku?" Pertanyaan Arga menghentikan tangannya yang hendak memutar anak kunci.
Perlahan dia kembali memutar tubuh menghadap sang suami. Matanya memindai penuh tanya kepada Arga.
"Apa kamu keberatan jika aku ikut? Ini hari Minggu, kan? Aku nggak ada jadwal apa pun hari ini."
Terlihat Kiara ragu. Berulang kali dia menggigit bibir mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Arga.
"Atau kamu memang nggak mau aku temani?"
"Eum ... bukan. Bukan begitu, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Astrid."
Wajah Arga berubah ketika di menyebutkan nama itu. Menarik napas panjang Arga berkata, "Astrid urusan aku. Kamu nggak perlu khawatir."
Kiara menggeleng cepat.
"Aku bukan khawatir padamu, tapi padanya."
"Kiara, kita sudah sepakat untuk mencoba menjalani ini semua seperti selayaknya, kan?"
Membuang napas perlahan, dia mengangguk.
"Kamu bisa tunggu aku sebentar? Aku siap-siap."
Perempuan beraroma citrus itu mengangguk. Ada beragam rasa di hatinya.
"Mas Arga!"
"Ya?"
"Tapi Mas belum sarapan, lagipula Mas juga belum sehat betul, kan?"
Pria yang memiliki rahang kukuh itu tersenyum.
"Ada kamu yang nggak mungkin membiarkan aku kelaparan, kan?" balasnya kemudian melangkahkan ke kamar meninggalkan Kiara yang terpaku di tempatnya.
**
[Aku agak telat] Kiara mengirim pesan ke Niken.
[Kenapa? Ngurusin suami? Emang dia masih sakit?]
[Nggak. Dia ikutan]
[Ikutan? Ikut acara kita?]
[Hu umh]
[Wow! Good news!]
Kiara memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
"Mas sarapan ya. Nanti di sana akan banyak kegiatan yang nggak memungkinkan untuk sarapan dengan nyaman," ungkapnya seraya membuka kotak makan yang sengaja dia siapkan saat sang suami ganti baju tadi.
"Kamu?"
"Iya. Aku siapkan tadi. Makan ya?"
Arga menatap sekilas lalu bertanya, "Aku lagi nyetir, Ra. Gimana caranya ...."
"Aku suapin! Khawatir kalau Mas sakit lagi, Mama Dira akan berpikir aku nggak becus ngurusin Mas," potongnya menyendokkan nasi dan lauk ke arah Arga.
Arga tersenyum tipis kemudian menerima suapan itu ke mulutnya. Mobil terus meluncur menuju kantor Kiara.
"Thanks, Ra," ujarnya saat suapan selesai.
Tak menyahut, dia hanya mengangguk menanggapi.
"Setelah lampu merah depan, belok kanan ya. Nggak jauh dari situ kantorku."
Arga mengangguk.
"Kalau nggak gini, aku nggak pernah tahu di mana kantormu, kan?"
Kembali senyum Kiara tercetak.
"Mas, kalau nanti Mas mau pulang dulu, nggak apa-apa. Kali aja Mas bosan atau ...."
"Nggak! Kan aku bilang hari ini aku kosong. Daripada diam di rumah, lebih baik nemenin kamu, kan?"
Bibirnya kembali tertarik kali ini singkat. Perlahan dia merasa Arga mulai serius dengan mencoba menjalani pernikahan ini seperti yang seharusnya. Akan tetapi, ada hal yang membuat Kiara merasa sia-sia. Walau bagaimanapun Astrid tetap jadi seseorang yang akan menghantui apa pun niat dari sandiwara ini.
Kiara mengangguk. Tak lama mobil sudah masuk ke pelataran parkir. Kehadiran Kiara dan sang suami disambut oleh beberapa karyawan di sana. Tampak Fia dan Niken juga ikut antusias menyambut mereka berdua.
"Mas," panggilnya ketika mereka berdua sudah berada di halaman kantor.
"Ya?"
"Karena ini temanya Minggu bersih. Mas nggak apa-apa ikutan kerja bakti?"
"Nggak apa-apa dong! Kamu pikir aku nggak pernah bersih-bersih?" Arga balik bertanya dengan mengunci mata Kiara.
"Bukan begitu, tapi Mas kan belum sembuh total."
"Kan aku bilang ada kamu."
Kiara mengedikkan bahu kemudian mengangguk.
"Kalau begitu ... Mas bisa gabung dengan mereka." Dia menunjuk ke arah taman. Ada beberapa karyawan pria yang siap membersihkan dan membenahi tanaman.
"Oke, aku ke sana sekarang."
Arga terlihat bersemangat menghampiri mereka.
"Ehem! Kamu kasi ramuan apa dia?" Fia menyenggol lengannya dengan mata menatap ke titik yang sama. Ke arah Arga.
"Eh, kamu Fi. Ngagetin deh!"
"Ciee ... bahaya nih!"
"Bahaya apa?"
"Jangan bilang kamu mulai terpesona, Ra!"
Kiara menoleh ke samping membalas tatapan lucu sahabatnya. Tersenyum kecut dia berkata, "Tiga bulan, Fi. Tiga bulan kami akan terus seperti ini sebelum akhirnya selesai."
Kiara kemudian memberi isyarat agar Fia tak lagi membahas soal itu.
"Ayo ke dalam. Masih banyak pekerjaan, kan?" ujarnya melangkah menjauh.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top