Berlibur
"Kiara!" panggil Arga saat dia baru membuka lemari.
"Ya, Mas?"
Arga bangkit mendekat.
"Setelah kedatanganku nanti, kita pindah ke rumah pribadiku. Aku rasa kita bisa banyak ngobrol di sana."
Ayu mengangguk seraya menaikkan alisnya. Wajah Arga tampak merasa bersalah.
"Aku nggak tahu harus bicara apa soal ini, tapi terima kasih sudah mengerti."
Kiara tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Eum, mungkin kamu bosan mendengar permohonan maafku, tapi aku akan tetap meminta maaf dan berterima kasih."
Tak menanggapi, Ara mengemas baju-bajunya ke koper. Melihat semua baju masuk ke koper, Arga tertegun.
"Kenapa semua baju punyamu kamu masukkan ke koper?"
Bibir Kiara kembali mengembang.
"Nggak apa-apa."
"Tapi kamu bakal balik ke sini, kan?"
Kiara tertawa kecil.
"Aku balik atau nggak itu sama sekali bukan masalah buat Mas, kan?"
"Kiara, jangan buat aku menjadi merasa bersalah. Please!"
"Tapi masalahnya, kan kita harus tetap terlihat baik-baik saja di mata keluarga?"
"I know, Mas. Nggak usah khawatir."
Ara tersenyum. Meski hatinya tercabik, dia merasa harus terlihat tegar di depan pria yang sejak kemarin telah sah menjadi suaminya itu.
"Sekali lagi Mas nggak perlu mempunyai perasaan itu. Aku baik-baik saja, Mas," ujarnya saat menyadari Arga tampak serius.
Mengangguk pria jangkung itu menghela napas.
"Oke. Kita berangkat jam empat sore."
"Oke. Boleh aku beres-beres sekarang?"
Arga mengangguk kemudian menjauh.
"Ada yang mau aku beli. Aku pergi dulu," pamitnya lalu menutup pintu.
Ara menarik napas dalam-dalam. Dengan cepat dia mengemas semua bajunya ke koper. Hati perempuan itu remuk meski terlihat baik-baik saja.
Mungkin bagi sebagian orang dia akan dianggap bodoh karena tidak memiliki keberanian untuk bicara soal perasaannya ke Arga. Akan tetapi, biar bagaimanapun ada hal besar yang dia pertaruhkan. Nama baik dua keluarga.
Kiara menatap cermin besar di sisi kanannya. Mata perempuan itu terlihat sendu. Baru sehari dia resmi menjadi Nyonya Arga, tetapi sudah cukup menguras emosinya.
Kiara mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Kamar yang besar hampir sama dengan luas kamarnya. Wallpaper berwarna biru gelap, terdapat lukisan abstrak tergantung di dinding. Tak ada lagi hiasan selain lukisan itu. Bahkan dia gak mendapati satu figura pun di ruangan ini.
Perlahan dia melangkah menuju jendela. Udara siang yang tidak begitu terik menyapa wajahnya. Dari tempat itu dia bisa melihat ke arah samping rumah mertuanya. Ada kolam renang dan gazebo di bawah sana.
Suara panggilan telepon yang asing terdengar dari sofa. Dari nada deringnya, jelas bukan milik Kiara. Gegas dia menuju ke asal suara. 'Love memanggil' demikian yang terbaca di ponsel itu. Terlihat pula wajah seorang perempuan tengah tersenyum. Dari nama yang muncul, dia bisa menebak siapa perempuan itu.
Arga telah meninggalkan telepon genggamnya. Tak ingin suaminya berpikir yang bukan-bukan, cepat dia meninggalkan kamar berlari kecil menuruni anak tangga.
"Kiara kamu mau ke mana?" Sapaan Arga mengentikan langkahnya.
"Ke dapur," sahutnya tersenyum.
Mengangguk Arga naik menuju kamar. Ponselnya masih berbunyi saat dia sampai.
"Halo."
"Halo, Sayang."
"Udah siap-siap?"
"Udah. Eum ... kamu yakin, Ga?"
"Yakin soal apa?"
"Kalau keluargamu tahu gimana?"
Terdengar suara helaan napas dari Arga.
"Mereka nggak bakal tahu kecuali ada yang kasi tahu."
"Istrimu? Maksudku, Kiara?"
"Dia bisa diajak kompromi."
Kali ini suara helaan napas terdengar dari Astrid.
"Kenapa kita seperti orang yang selingkuh, Ga? Nggak bisakah semua ini segera selesai? Aku rindu kita sama-sama seperti biasa."
"Sudah, jangan sedih gitu. Siapkan aja semuanya. Kita ketemu di bandara ya."
"Oke. See you, Dear!"
Keduanya mengakhiri obrolan. Ada senyum terukir di bibir Arga.
**
"Kalian hati-hati di sana ya. Meskipun ini adalah untuk pertama kalinya kalian berdua saja. Mama harap awal yang baik untuk pernikahan kalian," pesan Dira kepada Arga juga Kiara saat mereka berpamitan.
"Iya, Ma," sahut Arga singkat lalu mencium punggung tangan mama juga papanya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Kiara. Perempuan berkulit putih itu terlihat cantik dengan membiarkan rambutnya tergerai dengan bando pita di kepalanya.
"Arga, kamu jaga istrimu ya, nanti hilang! Dia cantik banget, kan?" ujar Dira seraya mengusap pipi menantunya.
"Mama." Kiara tersenyum malu.
Sementara Arga tersenyum tipis kemudian mengangguk. Sekilas mata mereka bersirobok, tetapi cepat Kiara mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Ma, Arga bawa mobil sendiri aja. Nggak perlu diantar sopir."
"Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Ma. Biar nanti mobil diparkir di bandara aja."
Kedua orang tuanya mengangguk setuju.
"Oke, kami berangkat dulu, Ma, Pa."
"Hati-hati kalian!" pesan Atma melepas kepergian mereka.
**
Mobil meluncur meninggalkan rumah besar keluarga Atmajaya. Kiara mengirim pesan ke Niken juga Fia untuk bertemu di tempat biasa. Tempat biasa yang dimaksud Ara adalah sebuah rumah singgah untuk anak jalanan. Di tempat itu dia bersama rekan-rekannya memberikan keterampilan dan pembelajaran serta perpustakaan untuk mereka. Sudah lama Kiara berkecimpung di dunia sosial selain bisnisnya.
Satu pesan bergambar masih ke ponselnya. Seketika wajahnya ceria melihat anak-anak binaannya tengah melukis, sebagian yang lain sedang asyik membaca.
Gerak-gerik sang istri tertangkap oleh mata Arga. Pria itu hanya bisa menarik napas dalam-dalam tanpa ingin membuat mood Kiara buruk.
"Eum ... aku turun di dekat jembatan sana aja, Mas," tuturnya setelah memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Dekat jembatan? Kamu mau tinggal di mana selama satu pekan?"
Tersenyum tipis, Kiara mengedikkan bahu.
"Ada banyak hotel di kota ini. Oh iya, Mas tahu nomor teleponku, kan? Kabari aja kalau Mas udah sampe sini lagi."
"Kamu yakin turun di situ?"
Kiara mengangguk.
"Pastikan kamu tinggal di tempat yang baik seminggu ini ya. Eum, tapi kamu nggak tinggal di hotel milik papamu, kan?"
Kiara tertawa kecil mendengar pertanyaan suaminya. Sambil menggeleng dia berkata, "Aku nggak sebodoh itu untuk membuat orang tuaku bersedih atau bahkan marah."
Arga menarik napas dalam-dalam.
"Sudah, nggak perlu risau. Jembatan sebentar lagi. Mas pikirkan aja bagaimana menghabiskan liburan dengan Astrid. Eum ... sebaiknya ditahan sampai kita benar-benar memutuskan untuk berpisah."
Dahi Arga berkerut.
"Maksudnya?"
Bibir Kiara melebar.
"Kalian adalah dua orang dewasa yang berlibur ke Raja Ampat. Aku tahu seperti apa rasanya jatuh cinta. Jadi sebaiknya ditahan untuk menjaga perasaan keluarga besar."
Mobil meluncur memelan kemudian menepi. Di depan sudah ada jembatan tempat Kiara turun.
"Kamu pikir aku akan segegabah itu?"
"Aku hanya berpesan. Sebaiknya jaga kehormatan keluarga."
"Aku tahu itu, Ara. Kenapa kamu berpikir aku akan melakukan ...."
"Nggak, aku hanya mengingatkan. Maaf jika itu dirasa salah," potongnya seraya berkemas.
"Aku paham. Aku tahu apa yang harus aku perbuat."
Mengedikkan bahu, Kiara tersenyum.
"Oke, terima kasih sudah diberi tumpangan. Selamat berlibur!" tuturnya dengan senyum, lalu bergegas keluar setelah meminta Arga membuka bagasi untuk mengambil kopernya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top