Ada apa dengan Kiara
Kening Kiara berkerut mendengar kabar dari Niken.
"Kamu yakin itu namanya?" tanya Kiara dengan mata menyipit.
"Iya, Ra! Keluar deh. Itu dia lagi ngobrol sama Fia!"
"Ngapain dia ke sini?"
"Mana aku tahu, tapi sepertinya ada hubungannya dengan ...."
"Mas Arga. Iya, kan?"
Niken mengedikkan bahu lalu memberi isyarat agar Kiara keluar menemui Astrid.
"No, Niken. Suruh dia masuk ke ruanganku aja!"
"Nggak-nggak, Ra! Dia itu tadi terlihat marah, Ra. Kalau kamu diapa-apain gimana?"
Kiara tertawa kecil kemudian menggeleng.
"Ini kantorku, Ken. Tenang aja. Suruh dia masuk sekarang!"
"Kamu yakin, Ra?"
"Sure!"
Kiara tersenyum menyambut kedatangan Astrid. Dia lalu mempersilakan perempuan itu untuk duduk setelah sebelumnya mengajaknya berjabat tangan. Akan tetapi, Astrid tak menanggapi.
"Baiklah. Silakan duduk, Astrid!" tuturnya tegas, tetapi tetap dengan senyum.
"Katakan apa yang membawamu ke mari!"
Perempuan berambut pendek itu menyeringai seraya memandang sekeliling ruangan Kiara.
"Nggak perlu sok nggak ngerti deh! Aku rasa kamu sudah paham kenapa aku datang ke sini!" ujarnya sinis.
Kiara melebarkan bibirnya kemudian mengangguk.
"Kalau kamu ke sini untuk membicarakan Mas Arga. Kamu salah!"
Astrid menatap tajam Kiara.
"Kamu bisa langsung tanyakan ke mas Arga. Karena aku sudah menjauh, memberi ruang baginya untuk berpikir."
"Dan tentu saja agar kalian bisa membicarakan rencana itu!" sambungnya lagi.
Menyeringai Astrid berkata, "Sok baik kamu ya? Kamu tahu, kebaikanmu yang terlihat di luar sama ternyata berbanding terbalik dengan dirimu yang sesungguhnya!"
"Aku tahu, kamu mencoba merayu Arga agar dia tidur denganmu sehingga kamu dengan mudah bisa mengikatnya, kan? Licik! Murahan!"
Wajah Kiara puas mendengar penuturan Astrid. Dia berpikir jika Arga sudah menceritakan semuanya kepada perempuan itu dan itu artinya, Arga tengah menyusun skenario baru untuk pernikahannya.
Kenapa Arga menceritakan soal itu? Apa dia melakukan hal itu hanya untuk mempermalukan dirinya di depan Astrid? Apa itu artinya dia sama sekali tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan?
Beragam spekulasi bermunculan di kepalanya. Akan tetapi, tentu saja Kiara tak mau terlihat lemah di mata orang lain terlebih Astrid.
Teringat ucapan Arga yang mengatakan jika Astrid sudah menyampaikan hal bohong keluarganya soal hal yang tidak pernah dia lakukan. Jika Astrid sak sudah memfitnah Arga, bisa jadi saat ini Astrid juga sedang merencanakan sesuatu padanya.
"Kenapa diam, Kiara? Benar, kan apa yang kukatakan tadi? Kamu sengaja merayu dan mengajak Arga bercinta supaya dia tak bisa meninggalkanmu dan tidak ...."
"Aku istrinya, Astrid! Dan dia suamiku! Tidak ada yang salah bukan jika aku merayu dia untuk tidur di ranjangku?" balasnya dengan tatapan menusuk.
Mata Astrid membulat, merasa disindir, dia lalu berdiri dan hendak melayangkan tangannya ke pipi Kiara, tetapi cepat perempuan berdagu lancip itu menahan dengan senyum mengejek.
"Kamu lupa kamu ada di mana? Kamu lupa siapa yang akan kamu tampar?" ujarnya dengan bibir sedikit terangkat.
Kiara lalu melepaskan kasar pergelangan tangan Astrid. Sementara wajah Astrid terlihat kesal.
Dengan isyarat, Kiara kembali mempersilakan tamunya untuk duduk.
"Jadi apa yang ingin kamu sampaikan, Astrid?" tanya Kiara santai.
Wajah Astrid masih terlihat tegang dengan mata memindai Kiara.
"Aku perempuan baik-baik sebelum ini, Kiara! Aku punya sopan santun dan tahu tata krama. Tapi itu dulu sebelum aku disingkirkan secara paksa dari hidup Arga! Sekarang aku minta, tinggalkan dia! Biarkan aku dan Arga melanjutkan hidup kami tanpa dibayangi olehmu! Tinggalkan dia! Karena aku mencintainya, karena kamu nggak bisa memberikan perasaan yang sama kepada Arga seperti aku mencintainya!" cecarnya dengan mata berkilat amarah.
Kiara bergeming. Ada suara hari yang memberontak mengatakan bahwa ini saatnya dia menunjukkan perasaannya kepada sang suami. Jika selama ini dirinya hanya bungkam dan hanya bisa memberi isyarat, tetapi kali ini pantang baginya untuk diam saat Astrid tengah mengintimidasinya.
"Baiklah, Astrid! Aku akan meninggalkan Mas Arga, tetapi sebaiknya kamu tanyakan ke dia, apa dia mau aku tinggal?"
Balasan Kiara membuat emosi Astrid memuncak. Dengan tangan kanannya dia memukul meja. "Perempuan licik!" umpatnya.
Kiara menarik napas dalam-dalam.
"Astrid, boleh aku mengatakan sesuatu padamu?"
Perempuan yang memakai setelan blazer dengan panjang di atas lutut itu bergeming.
"Aku tahu banget seperti apa perasaanmu, tapi itu bukan jadi pembenaran agar bisa melakukan hal yang tidak baik. Tetap kontrol amarah, jangan biarkan dia menguasaimu. Semua akan hancur jika kita mendahulukan amarah."
Hening. Astrid masih terlihat meradang.
"Kosongkan hati. Telaah apa yang sudah terjadi dan ambil pelajaran dari semuanya. Jika memang takdirmu bersama Mas Arga maka dia akan tetap jadi takdirmu. Sebaliknya jika bukan takdirmu, sekuat apa pun dan sekeras apa keyakinanmu, itu akan sia-sia. Aku pikir ... kamu harus bisa terima."
"Kamu sedang menceramahiku? Nggak usah sok bijak! Simpan aja ucapan itu untukmu! Karena sepertinya lebih pantas jadi nasehat buatmu!"
Astrid lalu bangun dari duduk.
"Ingat ya, Kiara Paramitha! Jangan merasa di atas angin dengan statusmu sekarang! Karena segala sesuatu yang diawali dengan hal buruk nggak akan bisa menuai bahagia! Kamu camkan itu!" sentaknya lalu berjalan cepat menuju pintu. "Tinggalkan Arga! Atau kamu akan menuai akibatnya!"
Pintu lalu dibanting keras membuat Kiara melonjak. Mengembuskan napas perlahan Kiara mencoba menenangkan hatinya.
Bukan dia ingin menahan Arga, tetapi dia hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan Astrid. Karena Kiara tahu jika orang dalam posisi Astrid akan bahagia jika lawan bicaranya terlihat lemah.
"Ra, kamu nggak apa-apa?" tanya Fia dan Niken. Mereka berdua masuk bersamaan.
"I'am okey!"
"Kamu nggak kabari Arga, Ra?" Fia menatap rekannya.
"Kabari apa?" Kiara balik bertanya.
"Ya soal dia datang ke sini," sahut Fia sewot. "Perempuan aneh!" gerutunya.
Kiara menggeleng cepat.
"Nggak perlu! Aku bukan anak TK yang merengek ketika ada orang yang membuatku nggak nyaman," tukasnya.
Niken dan Fia saling menatap kemudian mengangguk setuju.
**
Arga mencoba menghubungi Kiara sejak pagi, tetapi selalu gagal. Tidak terdengar nada sambung di ponsel Kiara. Sementara dirinya masih berada di luar kota untuk mengurus bisnis barunya.
'Apa dia marah karena aku tidak mengabarinya seharian kemarin? Tapi marah bukan kebiasaan Kiara! Sial! Orang kantornya kenapa tidak satu pun yang bisa menjelaskan kenapa Kiara tidak datang ke kantor?' batin Arga bertanya-tanya.
Meskipun dia sudah mengambil sikap atas masalahnya dengan memilih sang istri, tetapi Kiara masih tinggal di kediamannya dan masih menolak untuk kembali ke rumah mereka.
Ada beberapa pertimbangan salah satunya karena dia merasa belakangan ini kondisi tubuhnya mudah lelah. Bahkan terkadang dirinya kehilangan napsu makan.
Jika tinggal di rumahnya, ada Aini yang menemani. Karena memang anak Yuk Jum itu dipercaya oleh kedua orang tuanya itu untuk membersihkan rumah pribadi Kiara.
Sementara di rumah Arga, tidak ada asisten rumah tangga di sana dan tentu akan menjadi sulit jika kondisinya sedang drop seperti saat ini.
Hari beranjak siang, tetapi Kiara masih bergelung selimut. Tubuhnya sedikit demam dan kepalanya terasa berdenyut. Aini sejak tadi bingung karena Kiara menolak untuk makan apa pun.
"Aku mual, Aini. Bawa ke meja makan aja semua makanan ini."
"Tapi, Mbak Kiara sejak tadi belum kemasukan makanan apa pun," tutur Aini cemas. "Nanti kalau Mbak sakit gimana?"
"Aini, udah aku nggak apa-apa. Paling nanti juga baik."
Aini tak lagi membantah. Dia mengemas piring dan mangkuk yang sudah berisi makanan kembali ke dapur.
Perlahan Kiara bangkit mencoba mengabaikan perasaan tak enak di perut. Pukul sebelas, dia ada pertemuan dengan staf dari departemen perindustrian setelah itu sore harinya harus pergi ke yayasan di dekat rumah singgah.
Akan ada konser musik kecil-kecilan yang digelar Damar dalam rangka mencari dana untuk pembangunan sekolah alam bagi anak-anak yang kurang mampu.
Kiara menuju meja rias, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat! Seperti yang berkali-kali diucapkan Arga padanya.
"Aini!" panggilnya.
Perempuan yang lebih tua dua tahun dari Kiara itu datang tergopoh-gopoh.
"Iya, Mbak Kiara?"
"Aku pucat ya, Ni? Aku kenapa sih?"
"Mbak Kiara ke dokter aja, Mbak supaya tahu kenapa," usulnya.
"Iya sih. Tapi nanti aja deh! Aku harus ke kantor. Mungkin setelah meeting nanti aku sempatkan ke dokter," tuturnya. "Aku mau mandi. Eum ... kayaknya segar kalau kamu potongkan belimbing sama nanas di kulkas untukku! Tiba-tiba aja aku pengin makan yang segar-segar," sambungnya lalu melangkah ke kamar mandi.
"Siap, Mbak!"
**
Pemberitahuan : Kisah ini sudah tamat di KBM App dengan versi berbeda di novelnya nnti. Ada yang mau kekep novelnya gak? He-he
Yang pen kekep novel boleh gabung grup wa aku. Yang minat boleh gabung ya.
Terima kasih 🙏💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top