34 : Semakin jauh dari tujuan

"Ma!"

Waktu melihat sosok mama yang muncul dengan terusan sederhana dan tentengan plastik di sebelah tangannya melintasi lobi depan Rumah Utama, Anjela langsung menjerit dan menghambur ke wanita itu. Hari ini ia diberitahu kalau Nino mengundang mamanya datang hanya untuk sekedar bertukar sapa. Terlebih ini hari kedua pernikahan mereka, jadi tidak ada salahnya mengundang mertua datang ke rumahnya sendiri. Hanya saja, sementara ini, Nino sedang entah ada di mana.

"Eh, mama beneran nggak perlu lepas sandal, nih?"

Anjela mendesis sambil menahan tawa, "ma, nggak usah nanya yang aneh-aneh deh kalau nggak disuruh, yah. Yok, sekarang ke kamar Jela. Lihat seberapa gedenya ini rumah."

Beberapa pelayan yang merawat Anjela ikut menyapa mama Anjela dengan ramah dan menuntunnya ke kamar. Melewati lorong-lorong, ruang tengah, ruang terbuka di luar bangunan, mama sama terpukaunya seperti waktu Anjela pertama kali datang ke Rumah Utama ini.

"Ini beneran rumah? Gedenya udah kayak ngalahin rumah presiden. Mama kira cerita Heni selama ini kayak ya udahlah, rumah orang kaya biasa, tapi ini mah..."

Anjela menepuk mama sambil malu-malu. "Sssshhhh, ma ih, jangan di gituin dong. Jela kan, malu..." sahut Jela sambil melirik pelayannya yang terkekeh pelan.

"Lah ngapa kamu yang malu. Jujur aja, waktu pertama kali datang ke sini kamu pasti mikir gitu, kan?"

Para pelayan jadi makin menjadi-jadi menahan tawa. Selagi dirinya sekarang paling dihormati setelah Nino, tapi tetap saja, peraturan Anjela untuk tetap tunduk terhadap tatakrama yang diatur sedemikian rupa turun-temurun dari kakek buyut Chang, Anjela tidak bisa sekenanya berlaku sana-sini. Dia tetap 'orang luar' istilahnya.

Sesampainya mereka di kamar, para pelayan meninggalkan keduanya dan membiarkan mama Anjela sibuk menikmati interior kamar yang mewah dan luas. Anjela sibuk membuka plastik yang mama bawa dan ternyata berisi martabak telor. Terang saja langsung diserang cewek itu.

"Ma, Nino kebetulan lagi kerja di ruangannya kayaknya nggak bisa mampir deh. Dia biasanya sibuk banget emang. Oh ya, tadi mama bilang mama mau ngomong sesuatu. Ngomong apa sih emang? Kayak rahasia betul. Ada yang nyolong di toko? Atau karyawan barunya nguntit recehan? Apa ada yang—"

Mama yang berdiri di depan jendela itu berbalik dan menatap Anjela dengan serius. Untuk beberapa detik, Anjela merasa ada aura tidak enak yang menjalar dari sorot mata ibunya itu. Membuat Anjela yang sedang mengunyah mendadak berhenti.

"Jel," mama memulai dengan tatapan ragu-ragu. Wanita itu bergerak duduk di tepi kasur yang empuk.

"Kenapa, ma?"

Mama mengusap permukaan kasur sambil tersenyum sendu. "Mama nggak pernah menekan kamu, bukan?"

"Menekan? Maksudnya?"

Gerakan mama terhenti. Tatapan wanita itu menjatuhi selimut di atas kasur.

"Jangan pura-pura nikah demi wasiat itu, Jel. Jangan paksa diri kamu yang sebenarnya nggak cinta tapi harus terikat hanya untuk membela sesuatu yang bukan menjadi urusan kita."

Mulut Anjela terbuka. Tanpa sadar ia menarik napas panjang dan menahannya untuk beberapa detik.

Jadi sekarang, mama juga sudah tahu?

"Mama tahu darimana?"

"Tante Heni yang bilang kalau dia bakal mengambil alih kontrak nikah kalian. Dan nggak seharusnya dia menekan Nino."

"Nggak ada yang menekan Jela atau Nino, ma. Semua ini keputusan kita. Aku nggak akan berhenti sebelum—"

"Sebelum Nino kehilangan segalanya?"

Anjela mengerjap bingung.

"Mama udah tahu semua ceritanya. Dan sekarang, kalau kamu melepas pernikahan ini, masih ada kesempatan buat Nino memiliki sebagian harta."

Mendadak Anjela bangkit dan menghampiri mama. "Ma, aku nggak akan berhenti di sini hanya karena mau menyerah. Kalau aku memang ikut campur urusan orang, maka biarin aja. Nino teman lamaku dan aku nggak mau dia sendirian berada di situasi kayak gini. Kalau mama ngerti, dia udah kehilangan banyak banget hal. Dan kalau aku tinggalin dia, aku nggak tahu gimana Nino...."

Tanpa istrinya, di sampingnya.

Itu, kan, yang mau Anjela katakan?

Tapi kenapa mendadak bibirnya terasa gemetar dan kaku. Seolah ada yang menjerat hatinya untuk berhenti berdegup setiap kali memikirkan nasib Nino?

Dengan gerak pelan, mama menyentuh tangan Anjela. "Kenapa... kenapa kamu masih mau terusin ini kalau tahu lawan kamu bahkan terlalu kuat, Jel? Kamu nggak harus memaksakan diri."

Kadang-kadang manusia memang terlalu membatasi dirinya pada beberapa hal sampai mereka tidak tahu di mana letak akhir seharusnya mereka berada. Tapi untuk kasus ini, Anjela tidak akan berhenti hanya karena tidak ada cara. Semua masalah pasti ada solusinya. Sesusah apa pun itu, selama kita berjuang demi itu, Anjela yakin ada pintu-pintu lain yang masih terbuka dan mampu ia masuki.

"Aku nggak memaksakan diri, ma. Pernikahan kami juga nggak bohongan."

Mama menatap Anjela setengah bertanya-tanya.

"Aku nggak mau ninggalin Nino. Aku bakal ada di sampingnya, sebagai istrinya."

**

Malam itu, setelah menemui mama Anjela sebentar, Nino langsung berkendara sendiri ke rumah sakit hanya untuk sekedar menengok sebentar. Sebenarnya, karena Anjela mengundang mamanya, ia jadi ikut rindu sama mamanya sendiri.

Nino mengetuk pintu kamar mama dan menemukan seorang perawat sedang mengatakan sesuatu pada mama yang hari ini rambutnya digerai ke belakang. Nino menyapa sebentar sambil masuk ke kamar pasien dan meletakkan bunga segar di atas nakas. Perawat membantu mengganti bunga di vas itu.

"Ma, gimana? Kepalanya masih pusing?" tanya Nino sambil meraih tangan wanita itu. Perawat itu pergi meninggalkan mereka berdua. Sementara mama Nino mengulas senyum sedikit.

"Udah mendingan. Kamu tuh kalau ada waktu sempatin tengok adekmu. Kasihan dia sama pacarnya doang."

"Reno mah biarin aja. Dia, kan temannya banyak."

"Iya, memang. Tapi sekali-kali, nggak apa-apa, kan?"

"Kemarin sebelum nikah aku udah sempat mampir kok. Dan yah, dia kelihatan lebih dari sehat kecuali kakinya aja."

Reno dirawat tidak jauh dari bangsal ibunya. Tapi kamar adiknya itu selalu ramai teman-temannya. Reno dan Nino terpaut jauh berbeda dari segi sosialisasi. Jika Nino sering memilih teman, Reno adalah pribadi yang terbuka dan ceria. Bahkan dia tidak segan menceritakan kisah keluarga rumit yang katanya rumahnya sendiri. Kemudian teman-temannya itu hanya iseng dan menambahkan gunyolan hanya supaya lingkaran mereka selalu dipenuhi bumbu humor ringan.

"Omong-omong soal nikah, mama jadi keingat wasiat, No," kata mama memulai. Kali ini, walaupun matanya menatap kosong, tapi ada emosi yang mendadak menghardik pandangan itu.

Wasiat.

Mama seharusnya nggak perlu mikirin wasiat itu untuk sekarang.

"Kenapa... sama wasiat itu, ma?" tanya Nino pura-pura polos. Padahal dalam hati Nino sudah nyaris turbulensi.

Sebelum menjawab, mama tersenyum lagi. Kali ini senyum itu berubah menjadi kecut. Kecut yang membuat hati Nino seolah tersenggol tempayan besar sampai getir tipis menyakitkan menusuk dadanya.

"Jangan memaksakan diri buat menggapai apa yang nggak bisa kamu ambil."

Nino bergeming untuk beberapa saat. "Apa... maksudnya?"

Tangan mama kembali meremas Nino dengan lembut. "Ini semua salah mama. Mama yang terlalu buru-buru mau bikin kamu menikah tapi bukan sama Celine. Ini salah mama, yang dari awal selalu takut Husein bikin papa kamu terjungkal keluar dari keluarga ini."

Nino mengangkat matanya, menggapai kata-kata mama sekali lagi. Lewat mata itu, kesedihan menjalar masuk dari hatinya. Menyentuh Nino untuk beberapa saat.

"Kenapa mama ngomong gitu?"

Mata mama berkaca-kaca. Ia melipat bibirnya sambil menarik napas. "Papa kamu itu bukan anak kandung keluarga Chang, No. Papa kamu—"

Waktu terasa berhenti, Nino mendengar apa yang mama katakan, tapi otaknya menolak memahami kalimat itu.

"Papa kamu diadopsi oleh kakek sejak umur tiga dan semua itu terjadi setahun sebelum Husein lahir. Waktu itu... papa kamu lebih dipercaya ketimbang anaknya sendiri dan itu bikin Husein sampai sekarang selalu mau bikin papa kamu keluar dari keluarga ini hanya karena dia iri papa kamu bisa melakukan semuanya lebih dari keturunan asli. Husein... karena Husein mama selama ini takut kamu—apalagi sejak kematian papa—mama takut kamu yang menerima semua perlakuan Husein dan benar, bukan...? Ini salah mama, No... ini semua salah mama...."

Pegangan itu kian mengerat. Mencakar dan mengacak-acak hati Nino. Untuk keseratus kalinya, ia semakin menolak kenyataan pernyataan itu.

"Kenapa... kenapa mama nggak pernah bilang dari awal kalau papa...?"

Mama terisak pelan, "karena di mata kakek, papamu meski diadopsi, dia adalah tetap anak kandungnya. Dia tetap bagian dari keluarga Chang yang tahu tanggungjawab dan terlebih... dia adalah pewaris utama keluarga."

Dada Nino terasa sesak. Seolah ada duri-duri yang menusuk bagian terdalam dirinya sampai Nino tidak mampu bernapas. Ke mana udara di sekitar? Kenapa mendadak semua terasa hampa?

"Dan alasan papa kamu memberikan semuanya ke kamu hanya karena papa kamu tahu suatu saat nanti, kamu bakal menghadapi kenyataan ini. Tapi setelah mama sadari, ini sudah terlalu jauh... sudah terlalu jauh dari apa yang mama inginkan."

Tangan mama meraih wajah Nino. Tanpa sadar, pandangan Nino buram. Ketika ia mengedip, air mata menjatuhi pipinya. Untung saja bukan di tempat mama menjangkau wajahnya.

"Mama cuma mau kamu bahagia, No..."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top