26 : Hari pernikahan

Sejak bangun tidur Anjela sudah yakin ini adalah hari Sabtu. Hari yang sepanjang minggu ini akhirnya ia tunggu-tunggu sebagai puncak dari permainan sandiwara ini. Suatu hari, Nino bertanya kepada Anjela. "Apa lo udah tahu mau minta apa untuk bayaran kontrak nikah ini?" Tapi Anjela masih belum tahu menginginkan apa. Malahan, sejak mendengar penjelasan Tante Heni malam itu, Anjela merasa segala yang ia lihat dari Nino entah kenapa mulai berubah.

Kita tidak dekat dengan seseorang karena tidak mengenalnya. Kita tidak tahu apa isi pikiran mereka, apa kebenaran yang tidak mereka ungkapkan. Apa yang mereka pertahankan tanpa harus orang-orang bicarakan. Dan itu sosok yang selalu Nino tampilkan selama ini.

Dari awal Anjela tidak mengerti kenapa Nino memilih dirinya untuk melakukan pekerjaan ini. Meski mama Anjela yang lebih dulu memintanya memberi lowongan, tapi ia tidak berpikir lebih selain memiliki teman lama sebangkunya yang nyatanya seorang bos. Hal itu tidak bikin Anjela merasa tertekan, malah dia bisa seenaknya misuh-misuh. Tapi setelah percakapan itu, Anjela mulai paham sisi lain yang selama ini tidak terkena cahaya.

Anjela memandang dirinya dalam balutan gaun putih. Ini bukan gaun pengantin utamanya. Sebelum resepsi, mereka harus perarakan ke rumah sakit dulu. Untuk penghormatan ke Tante Heni baru setelahnya ke makam. Dari sana baru penerimaan sakramen di gereja lalu malamnya resepsi. Anjela sudah mengumpulkan banyak tenaga, mengendalikan emosi dan menjauhi dirinya dari masalah Celine.

Kadang-kadang, itu tidak sepenuhnya bekerja. Tapi hanya satu hari ini waktunya Anjela menyerahkan segalanya.

"Tuan Nino."

Begitu mendengar salah satu pelayan yang berdiri tak jauh dari ambang pintu, Anjela langsung menoleh dan mendapati cowok itu berdiri di depan sana dengan tatapan kosong selama beberapa detik.

"Kenapa lu?" sembur Anjela sambil mengernyit. Tidak menyadari bahwa dirinya yang mengenakan gaun dari bahan velvet begitu cantik. Bagian atasnya sedikit terbuka, memperlihatkan jenjang leher dan pundak Anjela. Sementara bagian roknya yang mengembang sampai ke batas mata kaki merupakan kombinasi dari bahan velvet dan organza yang membuat roknya terkesan lembut tapi sekaligus mengembang di saat yang bersamaan. Ditambah aksen biru langit dari renda-renda yang melapisi bagian rok dan jahitan penuh eksekusi di setiap detail kainnya, Anjela nampak seperti putri dari kerajaan dimensi lain.

"Kita harus jalan sekarang." Nino berujar sambil mendekat. Sementara itu, Nino tampil memukau seperti biasa. Hanya kurang wajahnya yang tidak berekspresi apa pun. Jas hitam Nino dengan aksen keemasan di ujung lengan dan kerahnya serta dasi formal membuatnya terlihat semakin gagah.

Poni rambut Nino disisir ke belakang, membuatnya terlihat lebih rapi tanpa poni mencuat acak-acakkan.

"Ehm, ini aku udah selesai, mbak?" tanya Anjela ke salah satu pelayan yang daritadi merias wajahnya, Anjela kembali menatap cermin, mengamati matanya yang dihias eyeshadow tipis.

Dari sebelahnya, Nino yang berdiri mengulurkan tangan dan menarik dagu Anjela sampai mendongak menatapnya. Anjela mengerjap pelan, balas menatap Nino yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hampir tiga detik Nino memeriksa wajah Anjela, ia berujar pelan. "Udah bagus."

Entah kenapa para pelayan mendadak keluar dari ruangan. Anjela menarik wajahnya kembali lalu menatap ke cermin berharap tidak memunculkan efek aneh dari jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Ini hanya efek dari memakai gaun perarakan sebelum benar-benar menikah. Rasanya lucu jika suatu hari nanti Anjela bilang kalau dia sudah berpengalaman menikah.

"Ini bakal jadi hari yang panjang," kata Nino pelan.

"Tau."

Nino menatap Anjela dari pantulan cermin. "Beberapa hari yang lalu, lo ngapain nemuin nyokap?"

Bedak yang menempel rata di ujung mata Anjela sedikit terasa lengket di ujung kelopak mata. Anjela menghentikan kesibukannya lalu terdiam sebentar.

"Nggak ngapa-ngapain."

Keheningan menyergap keduanya selama beberapa detik. Tapi kemudian Anjela menghela napas. "Kalau lo merasa kecewa sama Celine, kenapa lo masih belum putusin dia, sih? Maksud gue, bukannya lebih gampang kalau sekarang lo nikah beneran sama orang lain—maksud gue, buat menjalin hubungan baru yang nggak bikin lu benar-benar kembali ke Celine."

Nino tidak menjawab beberapa saat. "Empat tahun itu waktu. Gue nggak mau putus hanya karena masalah Celine yang mencoba dekat sama gue karena nggak direstui nyokap."

"Tapi bukannya harusnya lo tahu kalau hubungan ini dipaksain selamanya itu malah bikin nyokap lu kecewa?"

Nino beralih menatap mata Anjela yang masih duduk di depan meja rias. "Lo nggak pernah pacaran, kan? Menghabiskan waktu empat tahun bersama orang yang udah tahu seluruh sisi hidup kita itu nggak pernah mudah."

"Gue emang nggak pernah pacaran—bahkan hidup gue sepenuhnya diisi dengan menghayal. tapi—lu harusnya sadar hidup ini isinya pilihan. Dan lu nggak bisa mengambil dua pilihan sekaligus. Nggak ada yang bisa diambil semua." Anjela bangkit berdiri. Menatap Nino yang termenung dalam diam.

"Dan pilihannya, lo mau lepasin Celine atau lo lepasin titah bokap lu."

**

Apa alasan Anjela bicara begitu ke Nino?

Nggak terlalu berlebihan, kah?

Penghormatan dan perarakan dari pemakaman Om Gun dan Tante Heni mengikis sedikit rasa gugup Anjela perlahan-lahan. Perlakuan mama yang tadinya sedikit membuatnya gugup karena heboh dengan penampilan putrinya yang memakai gaun indah itu tertutup dengan Julia yang terus-menerus menggodanya. Kalau dulu Julia memang jarang tahu malu di depan Nino, kali ini anak itu semakin tidak tahu diri. Tapi Anjela bersyukur karena setidaknya ada yang bisa mencairkan kegugupannya selama penipuan besar ini berlangsung.

Resepsi malam itu terasa aneh. Pada awalnya karena orangtua Nino tidak ada di kursi yang seharusnya. Melainkan kursi itu hanya diisi oleh mama Anjela dan Om Husein. Tentu dengan Rafael yang terus tersenyum memandangi Anjela.

Gedung tempat pernikahan mereka dilaksanakan tidak jauh dari Rumah Utama. Beberapa tamu datang dan pergi. Mengucapkan beribu selamat dan doa-doa terbaik untuk mereka berdua. Berdampingan dengan Nino selama beberapa hari ini ternyata lumayan memberi kemistri dan Anjela benar-benar tidak merasa canggung lagi hanya untuk mengajak Nino menemaninya berfoto dengan teman kantor yang ia kenal. Walau masih dengan ekspresi yang sama–Nino enggan tersenyum untuk setiap foto.

Para juru kamera, film dan seluruh tamu sibuk menikmati makanan. Untuk sejenak, keramaian yang terasa tidak nyata itu sepintas menjadi sangat meyakinkan ketika Anjela sadar bahwa ia sedang menikah.

Menikah, loh.

Dengan si Engkong ini pula...

Ketika Anjela menoleh ke Nino yang sedang duduk memandangi beberapa tamu tanpa mengangkat setipis pun senyum, Nino menangkap sinyal itu. Refleks, Anjela ingin mengalihkan wajah tapi Nino malah tersenyum ketika mendapatinya.

"Kenapa? Lo lagi bayangin apa sekarang?"

Anjela mengernyit tipis. "Apaan? Gue nggak bayangin apa-apa, kok."

"Gue paham kok kerjaan penulis itu, kan ngayal. Jadi wajar aja kalau sekarang ini lo lagi menikmati momen. Hitung-hitung, lo jadi punya pengalaman nikah supaya bisa lo tulis di cerita lu nanti, kan?"

Anjela mendengus malas. "Nggak ada hubungannya. Walaupun ini pernikahan mewah, tetap aja gue nggak tahu rasanya jatuh cinta..."

Mulut Anjela seketika menutup, merasa kelepasan dengan suara hati. Nino sedikit menaikkan alis tapi kemudian tertawa pelan. Lama-lama Anjela paham untuk apa Nino tertawa begitu.

"Jangan cemberut. Kalau lagi lihat gue lo harus pakai hati. Kayak lihat orang yang lu cinta."

"Lah, gue kan nggak cinta sama lo. Gimana mau kasih lihat tatapan kayak gitu?" Anjela balas acuh tak acuh. Beberapa kameramen kembali memotret mereka berdua.

"Mau gue ajarin?"

Sebelum Anjela menjawab, Nino keburu mengulurkan tangannya dan menyalipkan jari-jari jenjangnya ke belakang sanggul Anjela hingga kepala gadis itu memutar menghadapnya. Lalu untuk tiga detik penuh, pandangan Anjela dikuasai bola mata coklat Nino.

Sorot lembut itu menghantarkan perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar masuk ke dalam hatinya. Anjela sadar ia seharusnya melepaskan pandangan ini, tapi momen adalah pekerjaannya. Dan kameramen sedang menangkapnya. Anjela berusaha menguasai ekspresinya.

"Jangan kaget gitu," Nino mendekatkan wajahnya sedikit supaya bisa berbisik, "muka lo nggak seimbang sama kebahagiaan gue."

Napas Anjela seketika tersekat tapi ia langsung menggelakkan tawa kecil dan balas menatap Nino dengan tatapan dalam.

"Gimana?" tanya Nino sambil menaikkan alisnya dan mengusapkan jempol ke pipi Anjela.

"Apanya yang gimana?" tanya Anjela sambil menahan cengiran.

"Lo udah tahu mau minta apa buat bayaran kerjaan lo ini?"

Anjela menghela napas lalu melepaskan tatapannya duluan sambil melempar pandangan melegakan ke arah tamu. Dari sofa tempat Om Husein dan Rafael berada, Anjela melihat pria itu bangkit dan beranjak ke arahnya.

"Mungkin gue bisa nemu jawabannya nanti waktu gue udah beneran butuh."

Nino masih memainkan rambut tipis Anjela di pelipisnya. "Maksudnya?"

Dari bawah panggung tempat Anjela dan Nino duduk, Om Husein datang dan menghampiri Nino yang kemudian melepaskan tangannya dari Anjela. Diam-diam Anjela melesak lega.

"No, ada yang nunggu kamu di bawah, tuh. Katanya penting." Om Husein berkata sambil menunduk ke telinga Nino.

Untuk sejenak, Anjela bergeming tapi ia menutupi kecurigaannya sebentar.

"Siapa?" tatapan dingin Nino mulai memenuhi sorot matanya.

Om Husein sambil tersenyum berbisik pelan, "nggak akan enak kalau om sebut di sini. Mending kamu lihat sendiri, gih. Biar Anjela, om yang temani sebentar."

Tersirat keraguan sejenak sebelum Nino bangkit berdiri dan pamit sebentar ke mama Anjela di sofanya. Anjela mengamati Om Husein diam-diam lalu menegapkan punggungnya hanya untuk sekedar mengumpulkan keberanian lebih. Entah kenapa, setiap berhadapan dengan pria ini, Anjela sedang merasa diselidiki terus.

"Gimana, pesta pernikahannya, mewah, bukan?" tanya Om Husein memulai. Anjela mengangguk ke arah mama di tempatnya lalu menatap Om Husein dengan wajah super ceria terbaiknya.

"Yah, yang penting acaranya berjalan lancar, om."

Dari samping, Om Husein mempertahankan senyumnya sambil berujar pelan, "selancar rencana kamu, bukan?"

Untuk sejenak, Anjela ingin menurunkan ekspresinya, tapi ia tetap menahan senyumnya sambil menoleh ke arah Husein yang sudah mengamatinya dengan licik.

"Kamu nggak bisa ke mana-mana, Anjela. Om tahu semua permainan ini. Kamu dan Nino, cuma pura-pura, kan?"

Bibir Anjela membeku. Dia tersenyum, tapi matanya sudah hilang dari perasaan itu. Ia memandang Om Husein yang memicingkan matanya.

"Ada sisa waktu untuk kamu, Jela."

"Aku nggak pu–"

"Sshh... kamu bisa bikin penyamaran ini terbongkar, loh."

Anjela mengerjap, matanya membelalak bingung dan panik. Tapi ia masih tetap tersenyum. Ia harus tersenyum, pokoknya ia sedang tidak pura-pura. Tidak mungkin Om Husein tahu soal—

"Tiga hari, kamu bisa mundur atau Nino, nggak akan mendapatkan surat wasiat itu selamanya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top