22 : Peringatan

Saudara-saudara Nino satu per satu mulai mengucapkan pamit. Hidangan penutup sudah selesai dan beberapa tamu masih ada yang berbincang menikmati waktu-waktu mereka sebelum berpisah cukup lama. Anjela dengar, beberapa keluarga jarang saling bertemu. Saudara sepupu yang dari berbagai kota juga tidak sering bertemu. Mereka sibuk oleh keluarga dan pekerjaan. Dan hal-hal seperti ini saja yang bisa menyatukan mereka kembali.

Sebelum Anjela benar-benar melepaskan topengnya, ia mampir ke toilet hanya untuk menghela napas dan merutuki dirinya sendiri sepanjang malam ini.

Ini bukan pekerjaan yang mudah.

Bertemu dengan orang yang tidak dikenal, terus bergandengan dengan Nino, terus mengangguk dan tertawa di saat ia tidak mengetahui cerita-cerita keluarga Nino, semua itu membuatnya ruwet. Ia jadi membayangkan dirinya yang sedang menulis di kamar dengan santai dan hanya berkutat dengan pikirannya sendiri. Tidak seperti malam ini.

Anjela keluar dari salah satu bilik toilet lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Tepat saat itu, seorang wanita yang sedang berdiri tidak jauh dari pintu toilet—sepertinya sedang membuang sampah—mendadak berbalik dan menatap Anjela dari pantulan cermin di depannya.

Untuk sejenak Anjela terhenti. Kran air yang mengalir mengisi kekosongan itu beberapa saat.

"Datang ke pernikahan kamu? Aku nggak sadar ternyata kamu cepat tanggap dalam urusan ini."

Celine menyisipkan senyum tipis lalu berdiri ke samping Anjela yang membeku. Ia bergerak mematikan kran lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Rasanya aneh ketika kita melihat teman SMP kita di momen seperti ini. Aksi sandiwara yang harus dijalankan menjadi halangan utama yang paling tidak mengenakkan. Padahal dulu Anjela tidak punya masalah apa-apa dengan Ratu Matematika ini. Tapi ketika sekarang—ketika semua hidupnya terpusat pada hubungan sandiwara Anjela dengan kekasihnya, Anjela tidak mampu berkutik selain menerima nasibnya.

"Sebenarnya apa alasan kamu mau menerima sandiwara ini? Apa kamu sempat benci sama aku waktu dulu SMP? Atau kamu memang suka sama Nino waktu masih sebangku sama dia?"

Anjela berbalik dan menatap Celine yang sedikit lebih tinggi darinya. Untuk sedetik ia nyaris berseru, tapi ia kembali menahannya entah kenapa. Tatapan intimidasi Celine mengunci sebagian rasa percaya dirinya.

"Nggak ada alasan tertentu."

"Masa? Uang? Atau kamu memang benci sama aku? Jangan malu. Kalau memang benci, bilang aja."

Celine sedikit menyandarkan diri ke wastafel sambil bersedekap. "Sejak SMP aku memang nggak punya banyak teman. Tapi bukan artinya aku nggak tahu kalau sebagian dari mereka membenci aku karena iri. Yah, aku pikir itu cuman sebatas kelakuan anak remaja. Tapi buat kamu, kayaknya beda."

Anjela menghela napas, "lo sendiri yang menyebabkan ini semua, kalau dipikir-pikir," kata Anjela mulai mengumpulkan keberanian. Kalau dipikir-pikir lagi, buat apa takut? Peran Anjela di sini justru lebih penting dan ia harus menguasainya sebelum ada ekstras lain yang berusaha merecoki semua ini. Dan Anjela tidak berlebihan soal itu. Karena apa yang ia hadapi tentang keluarga Nino adalah sungguhan.

"Apa?" Celine menyipitkan matanya, menantang.

"Kecelakaan Om Gun, itu semua berawal dari lo. Yah, memang awalnya itu hanya percikan api yang kecil, tapi lo nggak tahu situasinya saat itu. Om Gun dan Tante Heni lagi bertengkar. Mereka lagi dalam kondisi panas dan paling penting, mereka sedang berkendara. Lo mungkin nggak tahu itu, tapi kalau mau gue telaah lebih dalam, posisi lo ini sebenarnya sedang gue selamatkan, bukan?"

Mata Celine menyalang, tapi ia menahan kata-katanya. Riasan bulu matanya yang cantik membuat Anjela paham kenapa banyak orang lebih menyambutnya daripada dirinya sendiri.

"Sekarang gue tanya, kenapa lu nggak pernah diundang ke sini sebelumnya? Gue jadi heran, apa memang dari awal Tante Heni nggak pernah suka sama lu makanya Nino nggak pernah undang lu ke sini? Empat tahun bukan, kalian pacaran?"

"Lama atau nggaknya, bukan artinya Nino nggak percaya sama aku. Dan Tante Heni dulu percaya sama aku."

Anjela mengangkat satu alisnya. "Percaya deh, Celine. Gue nggak pernah benar-benar menaruh hati sama Nino atau lebih. Semua ini gue lakuin karena mama. Mama gue nggak mau lihat sahabatnya sengsara. Dan lu nggak perlu takut buat membayangkan hal yang aneh-aneh antara gue sama Nino."

"Kamu belum pernah pacaran, ya?" pertanyaan Celine menghentikan Anjela yang sedang mengelap tangannya dengan tisu. Ia melirik Celine pelan. Sebelum menjawab pun, Celine tersenyum memahami jawabannya.

"Mungkin kamu nggak pernah tahu rasanya nggak direstui. Tapi Nino, adalah orang paling penting buat hidupku. Aku mengizinkan Nino dengan sandiwara ini karena aku percaya dia—walaupun kamu yang dia nikahi secara resmi, tapi aku, tetap miliknya. Hati Nino, tetap ada di tanganku."

Anjela memutarkan bola matanya. Ia berbalik sambil membuang tisu. "Oke, terserah lu. Ambil aja hati Nino. Gue hanya berharap kita cepat-cepat menikah supaya wasiat itu bisa turun langsung dan setahun pun berlalu. Mudah, bukan? Dan satu lagi, boleh nggak lu jangan terlalu sering tersenyum ke Nino kalau ada orang lain? Lu bisa bikin sandiwara ini malah kelihatan nggak natural, tahu?"

"Apa urusannya kamu larang aku?"

Anjela memicingkan mata. "Nino memang punya lu. Lu bebas mengakui itu di luar sandiwara. Tapi ingat, kalau lu mengacau, maka wasiat Nino gagal. Om Husein orangnya teliti dan penuh cekatan. Dia jenius dari yang lu bayangkan. Jika permainan ini bisa membodohinya, maka gue menghargai posisi lu. Dan gue dengan senang hati bisa selesai dari urusan sandiwara ini."

Tisu yang digulung itu dilemparkan ke tong sampah. Celine masih bergeming di tempatnya. Sebelum Anjela benar-benar keluar, ia menahan langkahnya dan berujar pelan, "lu bisa pegang kata-kata gue. Gue nggak akan pernah jatuh cinta sama seseorang—apalagi teman sebangku dan bos gue sendiri yang udah punya pacar."

**

Anjela melemparkan dirinya ke atas sofa yang ada di kamar. Untuk beberapa menit, ia menatap langit-langit kamar yang tinggi dan didekorasi dengan warna putih yang klasik. Kamar itu pada dasarnya tempat paling tertutup dan paling nyaman sejauh ini.

Setelah semua tamu pulang dan Anjela disuruh Nino pergi ke kamarnya, Anjela sudah memastikan kalau Husein juga sudah menghilang dari ruang makan. Berbondong-bondong mobil mengangkut saudara-saudara Nino pulang dari rumah besar ini. Ruang makan mendadak sepi dan semuanya lelah pergi ke ruangan masing-masing.

Tersisa Anjela dengan seluruh pikirannya yang mendadak terbang melayang di depan matanya.

Sosok Husein yang meneliti dirinya.

Jamuan malam yang begitu mewah.

Riasan cantik Celine.

Obrolannya dengan gadis itu.

Untuk sejenak, apakah Anjela benar-benar menghayati dirinya sendiri?

Anjela bangkit dan terduduk di tepi kasur. Saat itu seseorang mengetuk pintu dan membukanya tanpa Anjela suruh.

Nino muncul dari balik pintu. Wajahnya tanpa ekspresi menyandarkan bahu ke kosen pintu.

"Kerja bagus. Sekarang udah paham sama jalan ceritanya, kan?"

Anjela menyipitkan matanya lalu bangun untuk menghampiri cowok itu. "Kalau lo bisa lebih detail, seenggaknya kasih gue skrip, kek! Siapa yang tahu kalau Celine mendadak bisa muncul begitu? Terlebih, dia parnoan. Takut banget gue bener-bener ngerebut lo. Nggak habis pikir." Anjela menumpahkan pikirannya sementara ia sudah tidak punya tenaga untuk membahas hal lain.

"Jangan pikiran soal dia. Sekarang lo harus tidur biar besok pagi kita ke kantor bareng. Gue nggak mau ketemu Husein pas berangkat." Sebelum Nino beranjak dari ambang pintu, Anjela menahannya sebentar.

"Apa Rafael tahu soal wasiat itu?"

Langkah Nino terhenti sebentar lalu ia bergeming beberapa saat. "Rafael nggak tahu apa-apa soal wasiat itu."

"Dia nggak tahu kalau papanya jahat?"

Nino terdiam.

"Kenapa lo nggak coba kasih tahu Rafael soal—"

"Tidur, Jel. Hal ini nggak usah dibicarain dulu. Rafael empat tahun nggak ada di sini, gue nggak mau bikin dia terbebani karena masalah ini."

Nggak mau terbebani? Sikap macam apa itu? Dia pikir Nino bisa kelihatan kayak pahlawan? Helloo, padahal Anjela di sini yang berkorban lebih banyak. Walau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Celine juga...

Anjela terdiam beberapa saat sebelum Nino beranjak. "Kenapa lo... nggak pernah ajak Celine ke sini sebelumnya?"

Pertanyaan itu membuat jeda panjang sebelum Nino menjawab. Jeda yang membuat Anjela bertanya-tanya apakah Nino sedang memikirkan ingin menjawab jujur atau tidak. Tapi, jika hubungan mereka memang sudah berjalan empat tahun, kenapa ia tidak pernah membawanya ke rumah ini? Apakah Nino juga menjaga Celine dari dokumen penting Holamp? Tapi, kan Celine juga salah satu investor?

"Itu karena nyokap gue nggak pernah undang dia."

Anjela terkejut dalam diam. "Jadi soal investor itu...."

"Bohong. Dia memaksa ikut ke sini karena dia nggak tahan. Gue nggak mau ambil pusing dan suruh dia pura-pura jadi investor." Nino berbalik dan menatapnya dalam hening yang dalam. "Sekarang, lo ingat-ingat apa aja yang terjadi tadi. Jangan sampai lupa soal kata-kata sandiwara yang nggak sengaja lo ucapin. Gue nggak mau ada plot hole yang lo buat. Terlebih soal Celine. Biar gue yang urus."

Setelah mengatakan itu Nino beranjak pergi. Anjela menghela napas. Jika Celine bisa diurus Nino, apakah ia bisa menjanjikan kalau gadis itu tidak mengacau? Anjela sudah melakukan sandiwara penuh malam ini dan ia takjub untuk bisa merasa lelah. Siapa kira menipu saja butuh tenaga? Ia tidak tahu apakah ia sanggup jika ada orang lain yang ikut merecokinya.

Tapi...

Anjela kembali merebahkan dirinya di atas kasur super empuk dengan selimut tebal dan beraroma lembut.

Kalau semua kekayaan sementara Nino bisa Anjela nikmati, bukankah hidupnya selama setahun ini bisa sedikit merasa untung? Mungkin itu bisa sepadan dengan kelelahan yang akan ia terima di hari-hari ke depan.

Mungkin.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top