21 : Keluarga Chang

Santap malam—begitu Nino menyebutnya, berangsur cepat. Hidangan datang dan pergi mengisi piring aluminium yang kosong. Mereka banyak mengobrol dengan Nino dan Anjela. Seluwes mungkin Anjela berusaha mengimbangi gaya bicara Nino. Meski ia sudah menghujat dirinya sendiri bahwa ia tidak pintar dalam aksi tipu-menipu, tapi ada beberapa hal yang baru ia ketahui tentang isi rumah ini.

Duka Om Gun sudah setahun yang lalu. Mereka semua sudah berpindah fokus pada perusahaan yang sekarang dipegang sementara oleh Husein. Sebagai adik kandung dan saksi utama wasiat. Karena sejauh ini Nino sibuk mengurus Tante Heni dan Reno, adik laki-lakinya di rumah sakit, Nino masih belum cukup waktu untuk mengurusi wasiat. Apalagi proyek yang terus bertambah di kantor. Pekerjaan akan ada lebih banyak lagi.

Anjela tidak banyak menjawab pertanyaan. Semua yang ditanyakan beberapa saudara Nino selalu dijawab lantang oleh Nino dan Anjela hanya ikut-ikutan tertawa. Setelah makan malam, mereka menghabiskan camilan penutup yang juga mewah. Bahkan waktu terasa begitu cepat sampai Anjela tidak cukup waktu untuk menikmati betapa enaknya makanan di rumah ini.

Bahkan camilannya ada dari berbagai jenis. Puding, es krim, bolu, buah-buah segar, dan berbagai jus. Anjela sempat terkagum-kagum dengan semua ini. Seolah ia baru saja masuk ke dimensi yang benar-benar berbeda dari biasanya. Sebagai tambahan, ia juga sudah menahan kentut berkali-kali.

"Kelihatannya kamu udah terbiasa sama rumah ini, ya?" tiba-tiba sebuah suara menyapa Anjela ketika ia bersandar di pilar yang ada di pinggir ruangan. Orang-orang sibuk dengan camilan dan obrolannya mereka. Nino sedang berbincang dengan seorang wanita sementara Husein sibuk dengan pria-pria tua lain di sudut ruangan. Lapisan dinding meresap dengung obrolan. Warna gadingnya menambah kesan hangat dari lantai marmer yang mengkilap. Ruang makan ini hampir menyerupai ballroom jika bisa Anjela sebut begitu.

"Ah? Masa sih?" Anjela menyengir, ia menyesap jus tomatnya sebentar lalu menjawab, "sebenarnya, ini kali pertama aku ke sini."

Rafael mendekat dan ikut bersandar di salah satu pilar. "Oh ya? Kenapa Nino nggak pernah undang kamu ke Rumah Utama?"

Satu hal lagi yang baru saja Anjela ketahui. Alasan kenapa Nino tidak pernah memberitahu orang asing—tentang Rumah Utama ini adalah karena di sini, semua dokumen tentang Holamp berada. Yang baru Anjela ketahui, ternyata, Holamp yang berpusat di Singapore, sebagai pemegang proyek terbesar—PJU (Penerangan Jalan Umum) di Singapore nyaris delapan puluh persen. Beberapa lampu di jembatan, jalan raya, area publik, gedung bertingkat, gedung pemerintahan, bahkan sampai mal-mal besar di Singapore memakai produk dan jasa Holamp.

Di mana hal itu adalah pemasukan terbesar dari keluarga Chang yang sejak dua puluh tahun lalu berubah menjadi unicorn. Semua penjabat di Singapore mengenal sosok Chang. Tapi mereka tidak pernah benar-benar menampilkan perwakilan resmi ke klien mereka. Mereka dikenal oleh banyak orang tapi tidak pernah muncul secara langsung. Sebagai alasan—Nino bercerita, kalau itu hanya bisa membuat salah satu keluarga bisa diancam. Karena selain pemasukan yang besar dari satu negara, mereka juga diintai oleh beberapa mafia kelas atas yang sama-sama unicorn. Bedanya, unicorn mafia itu beraura gelap.

"Bukannya harusnya kamu tahu sendiri alasannya?"

Rafael lantas tersenyum miris. "Hm, kukira Nino kasih tahu soal keluarga kita sejak kalian pacaran. Maaf ya, bagi kita, keluarga itu yang paling utama. Aku sendiri nggak pernah benar-benar percaya bahwa ada satu negara yang semua jasa lighting-nya bergantung sama keluarga kita. Yang membuat hampir semua orang benar-benar merasa awas terhadap keberadaan kita dan bahkan mereka selalu mencari tahu seperti apa sebenarnya keluarga Chang. Kalau kamu ke Singapore dan mengeluarkan KTP dengan marga Chang, pasti kamu bakal dapat perlakuan khusus. Terutama ke tempat-tempat besar yang terkenal. Tapi nggak jarang juga, banyak yang mencari kita, menghantui kita, meneror kita. Makanya itu kita selalu berhati-hati dan nggak pernah kasih tahu soal keluarga ini ke orang lain."

Jika Anjela bisa mempersiapkan hal ini lebih awal, mungkin dia bisa menerima keadaan ini. Tapi sebagai penerima delapan puluh persen proyek dari satu negara, bukankah itu sedikit tidak masuk akal?

Lalu Rafael kembali bercerita. "Kakek buyut Chang dulu salah satu penjabat di Singapore. Dia pintar dan cekatan. Yang anehnya, bahkan beliau pintar dalam dua jenis otak. Otak kanan dan kiri. Dia pintar menghitung dan cerdas secara logika, tapi juga kreatif dalam mendesain. Itulah sebabnya Kakek Chang selalu dicari orang untuk membantu proyek pembangunan. Walaupun Kakek Chang sibuk dalam pekerjaannya, ia tetap menjalankan bisnis keluarga dan itulah sebabnya dia memiliki banyak istri dan anak supaya bisa meneruskan bisnis itu. Sampai sekarang."

Rafael sempat tertawa waktu mengatakan Kakek Chang yang memiliki banyak istri dan anak. Tapi itu masuk akal jika dipikir-pikir lagi. Mungkin usaha Kakek Chang yang dulu tidak akan sebesar sekarang—dan tidak akan diperebutkan seperti ini jika tidak diturunkan ke cucu-cucunya yang banyak. Wasiat itu, apakah ada hubungannya dengan perusahaan Holamp di Singapore? Anjela jadi semakin ingin tahu lebih dalam soal keluarga ini.

"Tenang aja, kamu pasti lama-lama terbiasa, kok," tambah Rafael dengan gaya ramahnya. Anjela menyisipkan senyum tipis lalu menatap ke seberang ruangan. Ketika matanya bertemu dengan sosok yang begitu ia kenal, Anjela terdiam dan memelotot tanpa sadar.

Itu....

Celine?

Rasa dingin yang menjalar dari gelas jus mendadak membekukan jari-jari Anjela. Rafael yang menyadari ekspresi Anjela langsung menatap ke arah yang sama. Ia berseru kecil.

"Oh, itu... "

Anjela melengos ke arah Rafael. "Kamu kenal?"

Celine sedang bergerak ke samping Nino. Seolah ia adalah pendampingnya. Dari kejauhan, gadis itu mengenakan gaun malam berwarna hitam dan rambut indahnya yang dikepang ke atas rapi. Ia mengenakan anting-anting cantik dan hampir sembilan puluh persen benar-benar terlihat berbeda dari terakhir kali ia temui. Kelihatannya gadis itu baru datang tapi saudara Nino yang lain nampak menyambutnya dengan ramah. Jauh berbeda ketika menyambut Anjela sendiri.

"Nggak sih, tapi aku sempat ketemu dia."

"Di mana?"

Rafael mengernyit, berusaha mengingat. "Waktu di bar. Kami sempat mengobrol. Hm... beberapa hari yang lalu," Rafael memiringkan kepalanya, "dia kelihatan berbeda. Waktu itu dia depresi berat, katanya baru saja dikhianati sama seorang pria karena wanita yang dibela pria itu, hubungan mereka kandas. Kebetulan banget, waktu itu aku juga antar dia pulang karena sudah terlalu mabuk."

Tanpa sadar, Anjela menelan jusnya susah payah. Ya ampun, seandainya Celine mabuk dan benar-benar keceplosan, apakah penyamaran Anjela sekarang bisa terbuka di depan Rafael? Lagi pula, sedang apa sih Celine ke sini?

Tepat ketika ia berpikir begitu, dari kejauhan Nino menoleh ke arahnya. Punggung Anjela menegak terlebih waktu Nino berjalan ke arahnya. Sementara Celine, berdiri di sana dengan segelas minuman bening di tangannya. Menatap Anjela dingin.

"Ikut gue sebentar," Nino menawarkan tangannya. Anjela melirik Rafael sebentar, sekedar mengucapkan pamit. Dan Nino mengambil gelas jus di tangannya dan menyerahkannya ke Rafael sambil mengucapkan, "titip," yang kemudian diterima dengan rendah hati oleh Rafael.

Di dalam genggaman hangat itu, jantung Anjela berdentam tak keruan. Ia tidak tahu seperti apa sekarang ekspresinya, tapi ia harus bekerja dengan baik.

Ia adalah calon istri Nino.

Ia di sini karena harus membantu Nino mengambil kepercayaan Husein supaya wasiat itu cepat turun. Dan jika sudah turun, maka biaya rumah sakit Tante Heni dan Reno bisa lebih cepat, dan... dan—

Langkah Anjela terhenti di samping Nino. Bersebelahan dengan sosok Celine yang menahan senyum tipisnya. Wajahnya yang dirias tipis membuat Anjela tersengat untuk melihat ke cermin, apakah dia kalah cantik? Apakah dia kurang meyakinkan untuk bisa berdiri di samping Nino sementara... sementara...

"Masih ingat? Ini Celine, teman sekolah kita."

Anjela mengerjap ke arah Nino yang mengenalkan Celine dengan sosok seperti itu. Tapi lebih daripada bisa bereaksi, Anjela justru melayangkan pertanyaan lewat tatapannya.

Yang kemudian dijawab langsung oleh Nino. "Dia ini salah satu investor Holamp. Dan, posisinya cukup penting untuk bisa membantu perusahaan kita."

Cukup penting? Tunggu, apakah ini juga sandiwara lain? Apakah ini ekstras yang ditambahkan Nino ke dalam sandiwara? Anjela tidak tahu. Ia nyaris kehilangan kepercayaan dirinya. Tapi kemudian, Nino mengusap jempolnya di atas tangan Anjela yang masih saling menggenggam. Seolah memberi isyarat untuk Anjela merespons sesuatu.

Benar.

Anjela harus lebih menguasai dirinya sendiri sebelum ia bisa mengendalikan semua orang.

Dengan satu tarikan napas dan keyakinan, Anjela menatap Celine yang mengangguk tipis, seolah memberi hormat. Bagaimana wanita ini—wanita yang kemarin menangis di lorong rumah sakit bisa sepandai ini memainkan perannya?

"Selamat malam, Nona Anjela. Senang bertemu denganmu lagi."

Senang bertemu denganmu lagi?

Anjela menyeringai, "jangan sungkan gitu, kita kan teman lama. Oh ya, omong-omong, kamu nanti datang ke pesta pernikahan kita, kan?"

Saat itu, senyum Celine sempat hilang di bibirnya. Tapi kemudian, ia kembali mengangkat senyum terbaiknya. Karena kalau bukan orang-orang di sekitar yang memperhatikan mereka, mungkin Celine sudah menampar atau menjenggut Anjela sekarang. Tapi, ini, kan yang harus ia pertahankan? Kepercayaan semua orang. Keyakinan bahwa Nino benar-benar memiliki calon istri dari yang mamanya inginkan. Demi wasiat itu. Demi masa depan keluarga Nino. Anjela hanya membantu semua ini berjalan lancar.

Celine ikut tersenyum, "tentu dong."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top