2 : Sumber Masalah
"Ma..."
Suara mesin kardiogram berdenyit, memenuhi seisi ruang rawat tempat di mana seorang wanita berbaring setengah tersadar. Di balik selimut garis-garis putih abu-abu, wanita itu adalah sosok yang amat Anjela kenali di sepuluh tahun yang lalu. Refleks, ia pun mendekat dan terkesiap dalam diam.
"Nino... kamu sudah ketemu..."
Nino, teman sebangku dari SD, SMP, dan sekarang, berakhir menjadi Engkong-nya di perusahaan tempat ia bekerja mendekat ke samping ranjang.
"Ma, ini Anjela—"
Dengan susah payah Tante Heni mengangkat kepalanya yang dibalut lapisan kasa. Untuk sedetik, Anjela berusaha memahami situasi dan kondisi yang dimaksud Nino. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak bertemu mama Nino—yang notabene, kalau dulu waktu sekolah, Anjela sering banget lihat wanita kurus dan cantik ini sehat bugar menunggu di ruang tunggu para ibu-ibu yang mau menjemput anaknya. Dan karena Nino dan Anjela satu kelas, Tante Heni adalah sosok yang paling senang membanding-bandingkan nilai Nino dengan Anjela. Padahal sudah jelas sekali, Anjela selalu jauh di bawah prestasi Nino di kelas.
"Halo tante..." lirih Anjela yang memaksakan senyum. Ia sedikit melirik ke arah Nino—bos-nya sekarang.
Sebelum ia turun dari mobil, Nino tidak mengatakan apa pun atas alasannya kenapa membawa Anjela ke rumah sakit. Pertama, Anjela menduga akan ada meeting dadakan yang harus ia datangi, dan karena sekretarisnya juga sedang cuti beberapa hari ini, alhasil Nino selalu menyuruh Anjela untuk masalah di kantor. Dan meeting dadakan sudah seperti makanan sehari-hari untuknya.
Tapi ketika mobil Nino berbelok ke rumah sakit yang tidak jauh dari kantor, mendadak Anjela kebingungan dan bertanya-tanya. Hanya saja, sesuai dengan karakternya, Nino tidak buka penjelasan apa pun atas apa yang terjadi saat ini.
"Tante... nggak pa-pa?" tanya Anjela pelan sambil mendekat dan meraih tangan Tante Heni yang sedikit gemetar waktu hendak menjangkaunya.
Beberapa selang infus ditusukkan ke tangan kanannya. Di samping ranjang juga ada kabel-kabel denyut jantung yang ditempelkan ke dalam piyama pasien yang dikenakan Tante Heni.
"Anjela... tante senang bisa dengar suara kamu. Sayang sekali, kamu pasti berubah banyak ya?"
Menyadari sesuatu yang janggal, Anjela memperhatikan wajah Tante Heni, khususnya di bagian matanya. Tatapan Tante Heni tidak mengarah padanya, melainkan memandang kosong ke atas langit-langit kamar. Anjela mengerjap tersadar, ia melirik Nino yang terdiam di tempatnya tanpa mengatakan apa pun.
"Ehm... nggak juga kok..." Anjela mengusahakan suara tawanya terdengar. Rasanya bodoh banget sih, tapi kalau menduga Tante Heni ternyata tidak bisa melihat...
"Maaf ya, tiba-tiba manggil kamu dalam kondisi begini. Nino cerita sama kamu soal kondisi tante?"
Anjela hendak menyemburkan jawaban sebelum mata Nino memelotot. "Eng—oh—i... iya, cerita tante." Anjela menggigit bibir bawahnya sambil melengos ke arah lain. Pegangan Tante Heni semakin erat. Wanita itu tersenyum lembut.
"Sejak Om Gunawan meninggal dan tante jadi buta, semua wasiat yang dititipkan Om Gun jadi dipegang sama tante. Perusahaan tempat kamu bekerja itu kan punya papanya Nino, jadi, sudah saatnya dialihkan ke Nino secara hukum. Sayangnya, di surat wasiat itu, Om Gunawan bilang kalau Nino harus sudah menikah sebelum benar-benar memegang jabatan perusahaan. Selama ini Nino memang punya pacar dan sering ajak tante jalan-jalan tapi, jujur aja, tante nggak sreg sama pacarnya. Dan karena itu, tante mau nanya sama kamu."
Kalimat selanjutnya adalah kalimat yang membuat degup jantung Anjela mendadak berdentam-dentam keras. Ia melirik Nino yang menatap ke luar jendela. Pikirannya seolah terlempar jauh ke lautan kota di luar sana. Sementara di sini—dengan sentuhan lembut dan genggaman erat Tante Heni, Anjela terjebak.
Sebentar, apakah ia sekarang ada di sebuah drama?
"Tante mau kamu jadi bagian dari surat wasiat itu, Jel."
Anjela mengerjap. Merasakan desing panjang yang kosong sebelum pikirannya menjetikkan suara untuk menyuruhnya menjawab sesuatu.
"Su—surat wasiat..?"
"Maksudnya, tante mau kamu jadi istri Nino."
Napas Anjela tersekat. Ia mungkin akan terjengkang jika tangannya tidak sedang digenggam Tante Heni. Tapi yang mengejutkan adalah, kenapa Nino diam saja? Kenapa si Engkong tukang marah malah nggak ngomong apa-apa? Ini apa-apaan sih sebenarnya? Anjela planga-plongo di samping ranjang dengan tenggorokan ketar-ketir kebingungan.
Dikata menikah kayak nawar ikan di pasar apa?
"Jel?"
"Ah, iya—eh, kenapa tante?" Anjela terbata-bata. Kali ini ia melirik Nino yang malah terasa semakin jauh. Walaupun tubuhnya di sini, tapi keheningan yang merata di seluruh ruangan mengunci Anjela untuk melawan.
Tante Heni menghela napas panjang. "Kamu nggak suka sama Nino, ya?"
Kali ini Nino meliriknya dari ekor mata. Membuat hunusan tak kasat yang membuat Anjela semakin kikuk.
Omong-omong soal kisahnya dengan Nino sewaktu masa sekolah, keduanya tidak ada yang spesial. Nino hanya cowok yang tidak terlalu pintar di kelas tapi melampui pintar untuk Anjela sendiri. Nino selalu les sana-sini dan ibunya dan ibu Anjela sangat akrab sampai sering banget main ke rumah Nino. Tapi hubungan mereka tidak lebih dari sebatas teman cowok dan cewek yang sebangku.
Nino dulu terlalu tertutup dan tidak punya banyak teman. Kerjaannya di kelas cuman banyak buku, atau melipat-lipat origami. Dia juga aneh. Kalau melucu selalu garing, kalau pelajaran olahraga juga payah. Pokoknya dia dulu dijauhi sama geng anak cowok yang keren-keren. Sementara Anjela, terpaksa menerima nasib harus sebangku lagi sama Nino waktu ia naik ke SMP.
Sesuatu yang menonjol dari hubungan mereka berdua hanya itu. Sebatas teman sebangku saja. Tidak lebih. Apa yang Anjela tahu tentang Nino, selalu ia dapatkan dari mamanya yang dekat sama Tante Heni ini.
Dan sekarang, kalau ditanya suka atau nggak, sejujurnya....
Tatapan tajam Nino kini beralih menghadapnya. Memberi tekanan ke Anjela yang seperti sedang di santet. Secara fisik Anjela bisa bicara, tapi secara mental, Anjela dibungkam rapat-rapat oleh cowok itu.
"Ehm... suka kok, tan. Suka. Tapi... yah, belum sampai—"
"Ah, bagus kalau sudah suka aja! Dari satu hal kecil, itu bikin kamu melangkah ke tahap selanjutnya. Tante yakin kamu pasti suka sama Nino lebih lagi waktu sudah menikah."
Anjela menganga, kali ini ia menatap Nino untuk menyuruhnya melakukan sesuatu. Tapi Nino malah memutarkan bola matanya sambil mendekat ke ranjang.
"Ma, udah kan ketemu Anjela-nya? Sekarang aku masih ada rapat lagi. Kalau mama mau, pulang dari rapat nanti Anjela suruh ke sini lagi. Gimana?"
Tante Heni tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Ya udah. Boleh. Eh tapi, Anjela—nggak pa-pa?"
Nino menoleh sedetik, sebelum Anjela menyela, cowok itu sudah melanjutkan lagi. "Nggak apa-apa. Biar mama puas sekalian."
"Nino," sahut mama mendadak tegas.
Nino tertahan di langkahnya yang hendak berbalik.
"Kamu sudah benar-benar putus sama Celine, kan?"
Untuk sejenak, Anjela tertegun di tempatnya. Ia menatap Nino bergantian dengan Tante Heni. Hening yang panjang merambat selama beberapa detik, namun kemudian, Nino menarik napas panjang sebelum ia menyahut pendek.
"Udah."
"Kalau sampai belum, kamu tahu kan, wasiat ini akan jatuh ke siapa? Mama nggak pernah mengharapkan hal yang lain selain kamu putus dan menikah dengan orang yang mama percayakan bisa membangun keluarga ini dengan baik. Celine, nggak lebih dari luka-luka untuk papa kamu."
***
seperti biasa ges, bagian ini bisa kalian skip kalau kurang setuju sama bayangan kalian but so far, ini beberapa cast yg secara visual mendekati ke karakternya versiku.
Nino Chang
Anjela
Caroline Celine
Rafael Chang
dah segitu dulu ya ges, besok kalian bakal ketemu sama sisa karakternya dan mari kita lihat apakah kalian setuju sama aku wkwk kalau ga setuju komen yak😂yuk ditunggu part selanjutnya besook. thank you❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top