Menit Kedua
[Untuk Mengingat]
…
Zaki sedang berkutat pada latihan soal-soal ujian, ketika tiba-tiba Dwi memanggil namanya. Padahal ini baru semester satu dan cowok-cowok lain di kelas lebih sibuk mengurusi futsal antar kelas, atau soal game online baru.
"Zack, ada yang manggil, tuh!"
Zaki, yang akrab dipanggil Zack (dibaca Zek), menoleh ke arah cowok berambut panjang menyentuh kerah yang cuma melewati bangku Zaki untuk memanggilnya.
"Siapa?"
"Anak jurnalistik keknya. Diluar noh, ditungguin." Dwi mengedikkan dagu.
Zaki terdiam. Anak Jurnalistik? Mau apa?
Dia kemudian bangkit dari bangku. Memutuskan untuk menemui siapa anak jurnalis yang ingin berjumpa dengannya.
Di depan kelas berdiri seorang cewek berambut sebahu. Cewek itu segera menghadap ke arah Zaki begitu sosok yang dicarinya itu keluar. Dia mengangkat kartu keanggotaan jurnalistik yang terkalung di depan dada sambil menyeringai, bermaksud memperkenalkan diri.
"Safira. 12-Bahasa 2. Sekretaris jurnalistik. Mau wawancarain kamu. Boleh?"
Senyuman Safira yang agak memaksa Zaki agar mengatakan iya membawa pengaruh pelik terhadapnya. Zaki ingin membalas lengkungan itu, tapi keanehan yang menjalar dalam dirinya membuatnya sedikit kaku.
"Boleh. Tapi nanti, pulang sekolah aja, ya?"
"Oke, siap! Kalau gitu aku pergi dulu. Sampai ketemu di sini nanti, dah!"
Sa-fi-ra, eja Zaki dalam hati sambil membuntuti punggung cewek itu, yang telah berlalu dari hadapannya.
###
Walau sebenarnya aku sudah sering melihatmu di mana-mana, tapi jujur, baru pertama kali itulah aku tahu siapa namamu sebenarnya. Herannya, kamu membawa aura berbeda pada kali pertama bersemuka denganku secara langsung, daripada gadis lain yang sering kutemui.
Apa yang terjadi padaku, ternyata mampu terjawab di pertemuan lain. Ya, sejak pertemuan awal kita itu, kita mulai dipertemukan tanpa sengaja oleh Tuhan di tempat-tempat lain. Mengurung kita dalam perbincangan seru seputar buku-buku fantasi terjemahan. Membuatku terkesima tiap kali mendengarkanmu bercerita. Nantinya, kita mengadakan perjanjian untuk pergi ke toko buku. Membuatku kecanduan untuk membeli buku fantasi yang kamu ceritakan padaku dengan penuh semangat.
Sampai suatu hari, aku memutuskan untuk menyatakan keanehan yang terjadi pada diriku. Yang kuanggap sebagai perasaan tak-pernah-ingin-jauh-jauh-dari-dirimu. Pada detik setelah kamu mengangguk dengan pipi memerah dan mata membulat hangat, kupikir kita telah resmi menjalin sebuah hubungan yang anak-anak lain sebut berpacaran. Iya, kata kakakku, setelah aku menyatakan dan kamu mengangguk dengan ekspresi seperti itu, kita telah ada di dalam lingkaran itu.
Ternyata memang ada yang lebih istimewa daripada hubungan kita sebelumnya, daripada sekadar menyusuri rak-rak buku berburu buku terbitan baru. Intensitas pertemuan kita memadat. Kita bertemu untuk makan, jalan-jalan, menonton film ke bioskop, ke pasar malam, hingga melompat-lompat bersama di tengah hiruk-pikuk festival band reggae lokal. Hahaha, padahal aku asing sekali terhadap musik semacam itu.
Lalu, siang itu, ketika kita berdua makan di kantin, aku hanya berkonsentrasi pada buku bahasa Indonesiaku. Aku melirik ke arah kamu yang sedang menulis pada sehelai tisu. Kemudian kamu bertanya-tanya padaku, seputar bab puisi yang sungguh sulit kupahami maknanya. Kamu menyuguhkan aku potongan-potongan bait puisi milik Taufik Ismail dan Chairil Anwar. Bertanya majas apa yang dipakai, arti di balik kata konkret yang digunakan, hingga amanat apa yang disampaikan. Aku menjawabnya sedikit ragu, karena, walau pun anak-anak bilang aku pandai dan sebanyak apa piala akademik yang kusumbangkan pada sekolah, sungguh aku tak mengerti puisi. Bahasa penyair sepertinya bukan porsi yang tepat untuk otakku yang lebih memilih untuk memikirkan hal-hal pasti. Beruntungnya aku punya pacar seperti kamu, si anak jurnalistik. Kamu bahkan dengan senang hati menambah jawabanku yang kurang jelas.
Ya, kala itu …
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top