9
Dewi menatap seorang wanita hamil yang ia yakin bahwa wanita yang sedang melangkah masuk ke sebuah cafe ini yang akan berbicara banyak dengannya nanti. Wanita itu menggunakan blouse selutut berwarna baby pink dengan bunga-bunga hitam kecil, menggunakan tas tangan dan flat shoes berwarna hitam, tampak elegan dan berbanding terbalik dengan dirinya yang terlihat lusuh. Hanya menggunakan kaos lengan pendek yang ia tutup dengan kemeja lengan panjang, celana berbahan denim yang sudah mulai sesak karena perutnya mulai tidak sesuai ukuran normalnya dan topi yang selalu setia menemaninya ke manapun ia pergi.
"Hai, aku Gendis."
Dewi hanya mengangguk.
"Jadi ada apa kamu pingin ketemu aku? Pingin tanya kapan aku cerai dari Juna?"
"Bukan." Suara Dewi terdengar lirih.
"Lalu?"
"Aku hanya ingin tahu saja apa benar Juna tidak akan ..."
"Ya bener banget." Belum selesai Dewi berbicara, wanita cantik di depannya telah menyambar kalimatnya.
"Bener banget, kalo Juna nggak akan nyerein aku, itu kan yang kamu maksud? Tunggu jangan potong pembicaraanku! Jadi kami pacaran sudah lama, orang tua kami sama-sama tahu sampai akhirnya dia punya mainan baru ya kamu itu, jadi saat sama kamu, kami belum putus jadi eeemmm ... Bisa dikatakan kamu selingan lah gitu, dan sebenarnya aku sudah ngga peduli saat dia main sama kamu, sampai akhirnya ketahuan kalo aku hamil, ortu aku minta Juna tanggung jawab, aku tahu dia nggak mau nikahin aku karena dia nggak mau anak, dia nggak suka anak kecil, terus terang dia terpaksa nikahin aku. Ortu Juna sih nggak papa tahu aku hamil, jadi akhirnya kami nikah secara sederhana karena perutku yang terlanjur besar, tapi keluarga inti kami semuanya tahu dan kalo kamu bertanya-tanya kok kami nggak tinggal bareng, kami masih numpang di rumah ortu aku, karena aku khawatir saat lahiran nanti, sedang Juna kadang ya tidur di rumah ortuku, kadang ya di rumah ortunya dan kadang dia nginep di apartemen punya dia, ok apa ini sudah jelas?"
Dewi diam saja, ia mengaduk-aduk ice lemon tea yang ia pesan sejak sebelum Gendis datang, esnya pun sudah tinggal sedikit, ia belum menyentuh sama sekali rasanya ia tak ingin minum karena dari cerita Gendis, sudah tak bisa diharapkan lagi Juna akan bisa ia raih.
"Eh iya aku belum pesan minum, minum aja yang kamu biar aku bayarin, ayo pesen makanan juga, aku yang traktir jangan khawatir, ini nggak seberapa jika dibandingkan dengan penghasilanku di beberapa perusahaan keluarga."
Dewi bangkit, rasanya ia tak ingin meminum apa yang ia pesan dan sudah waktunya ia undur diri, semua sudah jelas, anaknya tak akan ia biarkan tahu siapa ayahnya. Lalu Dewi berbalik dan menuju pintu ke luar, panggilan Gendis ia abaikan sementara Gendis terlihat tersenyum mengejek saat Dewi melangkah menjauh meninggalkan cafe.
"Heh, gembel gitu kok mau masuk ke lingkaran orang-orang kaya!"
.
.
.
"Soko ndi, Nduk? Dari mana kamu?"
Surati menyapa cucunya yang terlihat seperti orang linglung, tak menanggapi pertanyaannya lalu masuk begitu saja ke dalam kamarnya.
Dewi merebahkan diri, rasa lelah yang ia tempuh dari Jogja ke Wonosobo tak ia hiraukan, kini yang ada di pikirannya pupus sudah semua yang ia impikan, ia masih saja berharap Juna akan benar-benar memenuhi janjinya, rasanya tak mungkin laki-laki itu akan mengabaikannya. Apa karena kandungan ini dia jadi mengabaikannya? Karena sebelum dia mengatakan hamil, Juna seolah menggebu-gebu ingin menikahinya.
"Nduk!"
Dan lamunan Dewi berantakan saat suara neneknya terdengar lagi, ia menoleh dengan wajah lelah.
"Tadi Danu nelepon si mbahmu ini, dia tanya kamu, ya aku bilang kamu ke Jogja, lalu buru-buru ditutup, ada satu jam kemudian nelepon lagi tanya kamu ya aku bilang mbuh gak ngerti si mbah, ada apa sebenarnya kamu sama Danu kok yo tumben anak itu cari kamu terus sejak kamu di sini."
"Aku mau tidur Mbah, aku capek."
Dan Dewi berbalik, tidur menyamping membelakangi neneknya, ia tahu ini tidak sopan tapi ia benar-benar tak mau diganggu, karena mau tak mau ia harus belajar ikhlas Juna tak akan pernah bisa menjadi miliknya.
"Hoalah Nduk, kok jadi begini hidupmu? Cari sengsara."
Lalu tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki, Surati segera ke luar dari kamar cucunya dan bergerak ke arah bagian depan rumahnya dan ia menemukan Danu yang hampir menubruknya.
"Opo le? Ada apa kamu terburu-buru?"
"Dewi, Mbah, dia gimana?" Danu terlihat khawatir.
"Mbuh, kelihatan sedih, bingung, baru saja dia datang, ditanya juga nggak jawab, cuman bilang pingin tidur, sik ta sebenarnya ada apa antara kamu sama Dewi, sejak Dewi di sini kamu kok juga malah sering ke sini?"
Surati menarik tangan Danu agar duduk di ruang tamu, kaki tuanya sudah tak kuat menopang tubuhnya jika berdiri terlalu lama. Setelah Danu duduk di sebelahnya, ia tanya lagi.
"Kamu kok kelihatan khawatir berlebihan ke Dewi? Tumben Le?"
Danu menggeleng pelan, ia genggam tangan tua itu, tangan yang tak henti membatik meski sudah dilarang oleh anak dan cucunya.
"Aku mencintainya, Mbah."
"Lah? Yo nang adi sepupumu dewe memang kudu cinta, namanya sodara."
"Bukan Mbah, aku mencintainya sebagai seorang laki-laki pada seorang wanita."
"Astaghfirullah!"
"Bahkan kami sudah ..."
"Sudah apa? Sudah apa le?" Surati mulai panik.
"Ya itu hamilnya Dewi karena ..."
"Lah jadi kamu to laki-lakinya? Ya Allah Gustiiii, gitu kok Dewi bilang ngga jelas, ayo aku tak nelepon ibu bapakmu biar kalian dinikahkan!"
🥀🥀🥀
2 April 2023 (06.24)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top