7 📌 Nikahi Secara Resmi

6/6 tanggal kembar. Waktunya Mas Arras update 😆
Coba comen pilih tanggal, sebaiknya aku update tiap tanggal genap atau tiap tanggal kembar?

^^^

Sembilan tahun membina rumah tangga bersama Gista, bukan perihal yang mudah dan sebentar. Sudah banyak yang mereka lalui, baik perihal ekonomi atau masalah pertanyaan kapan mereka akan punya anak.

Di tahun ke tiga pernikahan, perekenomian rumah tangga mereka pernah tidak stabil, lantaran bisnis yang baru saja Arras rintis terancam gulung tikar karena penyelewengan dana oleh salah satu orang kepercayaannya. Tiga tahun kebutuhan hidup mereka hanya mengandalkan dari gaji Gista sebagai seorang dokter di rumah sakit swasta.

Kala itu, Arras bersyukur akan keputusan Gista tidak adanya anak di dalam rumah tangga mereka. Karena jika tidak, mungkin mereka akan lebih terbebani dengan hadirnya sang buah hati. Anak tidak hanya butuh pangan, tetapi juga sandang. Termasuk pendidikannya. Arras tidak ingin anaknya hadir di tengah perekonomian yang bisa dibilang sedang carut-marut.

Hampir satu setengah jam Arras berada di bilik kamar mandi, merenungi permintaan Gista yang di luar ekspektasinya. Arras mengayunkan tungkainya, menyapu ruang kamar, tidak ia temukan keberadaan istrinya. Melangkah lagi ke walk in closet, tetap saja tidak ada Gista di sana. Ke mana istrinya itu?

"Sayang," panggilnya dengan langkah tergesa keluar kamar dan menuruni anak-anak tangga.

"Sayang ... Gista ...." Arras kembali memanggil, mencari keberadaan istrinya di setiap ruangan.

Langkahnya terhenti di ruang tengah, lampu ruang pantry menyala. Siluet tubuh Gista dari belakang dapat ia lihat di sana. Lebih mendekat, Arras menghampiri wanita itu. Sebenarnya, ini sudah cukup larut untuk sekadar duduk di pantry, mereka bisa mengobrol di kamar.

"Mas nyariin kamu, ternyata di sini. Lagi apa, Sayang?"

Mencoba seolah tidak terjadi apa-apa dengan mereka, Arras mengambil duduk di stool samping Gista. Melirik sedang apa wanita itu, netranya menangkap gerakan jari Gista bermain di bibir gelas berisi cokelat yang mungkin sudah dingin. Belum ada sahutan dari Gista, membuat Arras semakin gelisah.

Tangannya terulur menangkap pergelangan tangan itu, menggenggam jemari Gista dengan sesekali diusap dengan ibu jarinya. Arras tak lagi membuka suara, pandangannya lurus ke depan. Entah apa yang menarik dari kulkas yang berada dua meter di hadapannya.

"Di dalam Islam, gimana hukumnya mengulang akad? Apakah kamu harus menceraikannya dulu, terus kembali nikahi dia?"

Arras menoleh ke samping kiri, dua pasang netra itu bertemu dengan jarak yang kurang dari sepuluh senti. Ia tak bisa membaca arti dari pancaran binar netra Gista. Matanya sembab, tapi tidak ada rasa sedih tergambar di sana.

"Mengulang akad nikah tanpa kecacatan tertentu, sah-sah saja, tanpa harus menceraikannya terlebih dulu. Tergantung niatnya, untuk apa mengulanginya. "

"Kalau niatnya ingin lebih menyempurnakan ibadah, bagaimana?" Gista menyerong lebih menghadap ke Arras. "Misal, akad pertama waktu itu tidak banyak orang tahu, bahkan istrinya pun nggak tahu. Niatnya untuk lebih memperkenalkan lagi ke keluarga, kerabat, tetangga atau bahkan teman. Makanya dilakukan akad lagi, apa itu diperboleh—"

"Sayang, please stop! Aku nggak mau lakuin itu." Arras memotong ucapan Gista yang belum sepenuhnya rampung.

"Kenapa? Kasih aku alasan kenapa kamu nggak bisa. Kamu butuh apa? Restu? Aku pasti merestui kalian, makanya aku mau ... kalian menikah secara resmi. Mana yang mesti aku tanda tangani, hm?"

"Gis, tolong berhenti seperti ini."

"Jadi, maksudnya kamu akan tetap dengan keadaan seperti ini? Dia tetap akan kamu nikahi secara siri?"

Memijat pangkal hidungnya, Arras beranjak. Ia tahu ke mana bahasan yang Gista giring. Ia lebih memilih untuk menghindar ketimbang harus meladeni permintaan istrinya. Arras tahu ini salah, ia berdosa telah bersikap tidak terbuka terhadap istrinya. Namun, untuk perihal pernikahannya dengan Safa, tetaplah benar.

"Mas, aku belum selesai bicara!" Gista mengimbangi langkah Arras yang sudah berada di pertengahan anak tangga.

"Besok lagi kita bicarain. Ini udah malam, besok kamu juga tugas pagi, kan?" Arras menjawab, tapi tidak melihat wajah sang istri. Ia tetap meninggalkan Gista di belakangnya.

"Pilih aku atau dia?" Gista memotong langkah Arras, wanita itu menghadang di depan pintu kamar.

Tangan Arras terangkat ke pinggang untuk beberapa detik, kemudian mengacak rambutnya yang masih setengah basah. Ia tidak tahu lagi apa yang Gista inginkan. Tadi memintanya untuk menikahi Safa secara resmi agama dan negara, sekarang malah melemparkan pilihan.

"Kamu! Puas?! Sampai kapan pun aku tetap akan pilih kamu!" tegas pria itu dengan sorot mata sangat serius.

"Ya, makanya itu, nikahi dia secara resmi kalau kamu pilih aku. Ini pilihan aku untuk kita. Aku yakin kamu pasti bisa."

Arras bergerak dua langkah ke samping, melewati Gista yang tadi menghalangi langkahnya. Ia berusaha untuk tidak menggubris segala permintaan Gista.

Arras merangkak naik ke tempat tidur, tubuhnya segala menyamping membelakangi Gista. Pergerakan gerak dari kasur di sebelahnya tanda wanita itu menyusul naik ke kasur pun tak ia hiraukan. Arras mencoba memejamkan matanya meski sebenarnya ia sudah kehilangan rasa kantuk.

"Aku cuma nggak mau kamu jadi zalim. Dengan hanya menikahi secara siri, akan banyak dirugikan di sana. Terutama dengan anak kalian kelak. Dia punya ayah, tapi kehilangan perannya."

"Itu nggak akan terjadi, kamu udah melantur terlalu jauh."

Pergerakan di belakangnya kembali terasa, lengan kurus itu mencoba melingkar di pinggangnya. Dapat Arras rasakan tubuh Gista merapat dan memeluk punggungnya. Namun, pelukan itu tak ia balas sebagaimana biasanya. Ia terlanjur kesal dengan istrinya.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Setelah dia keluar rumah sakit, aku akan ceraikan dia."

"Gimana kalau itu terjadi dengan aku? Aku dinikahi oleh kamu cuma berapa bulan, aku ngandung anak kamu dan keguguran, terus kamu ceraikan aku."

Arras bergeming, tidak ada sahutan darinya. Ia belum tidur, bahkan sepasang matanya terbuka meneliti foto besar yang tergantung di sisi dinding kamar mereka, foto pernikahan dengan Gista sembilan tahun lalu. Ia membayangkan apa yang Gista ucapkan, ada rasa bersalah jika ia melakukan itu pada istri yang sangat ia cintai.

"Aku percaya kamu pasti bisa membimbing kami berdua. Aku mohon, jangan jadi suami zalim. Nikahi dia secara resmi, bimbing dia dengan ilmu agama yang kamu punya."

Pelukan di pinggang Arras terlepas, ada tawa kecil yang keluar dari bibir wanita itu, Arras berbalik memastikan istrinya. Gista menoleh, senyumnya tertarik lembut.

"Kamu tahu nggak, apa yang buat aku suka sama kamu?" Gista kembali tertawa kecil. "Lucu, ya. Dulu aku adik junior kamu, tapi punya nyali gede untuk bilang suka sama kamu duluan. Padahal yang suka kamu waktu itu bukan main banyaknya."

Gista mengubah posisi berbaringnya menjadi miring, kedua telapak tangannya menyatu kemudian ia jadikan bantalan. Matanya terpaku pada wajah sang suami tanpa sedikitpun ingin berpaling.

"Kamu soleh, kamu punya ilmu agama yang kuat. Aku suka merhatiin kamu saat salat di masjid dekat kampus kita dulu. Aku selalu berdoa, semoga kelak setiap hari aku bisa lihat rambut kamu yang basah selesai wudu. Ternyata, Tuhan baik. Dia jodohkan kita." Kian tinggi Gista menarik senyumnya. "Aku rasa, Safa menerima tawaran ibu karena alasan yang sama. Dia yakin, kamu bisa bimbing dia. Dan aku mau berbagi itu ke Safa, kalau suami aku pasti bisa bimbing kami."

Arras bergerak mendekat, menarik tubuh itu untuk ia dekap erat. Kecupan di pelipis Gista berulang-ulang ia tinggalkan di sana. Entah ketulusan hati seperti apa yang Gista punya, ia benar-benar merasa beruntung telah dijodohkan dengan seorang wanita berhati malaikat, seperti Gistara Arawinda.

Tanjung Enim, 6 Juni 2023
RinBee 🐝

Haloooowwww.... Maaf telat update. Kelupaan, padahal tadi janji sore. 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top