6 📌 Bakti Pada Ibu

"Sayang ...."

"Nggak usah deket-deket. Aku muak lihat kamu! Ngapain kamu masih di sini. Sana pulang ke rumah ibu kamu, ada istri kesayangan kamu di sana."

Arras menghela napas, tubuhnya lengket akan keringat, bahkan tubuhnya saja masih berbalut kaus dalam dan celana kerjanya. Ia belum sempat berbersih setelah mengetahui apa yang istrinya temui di rumah sakit tadi.

Setelah menyimpan kemeja Arras di keranjang baju kotor, tubuh perempuan itu seketika merosot terduduk di lantai, tangisnya benar-benar pecah. Sudah berusaha menenangkan istrinya dengan pelukan, tetapi ditepis oleh wanita itu.

Setelah hampir setengah jam Gista tergugu menghadap keranjang baju kotor, ia berbalik. Matanya yang sembab tertuju langsung pada Arras yang sejak tadi berdiri di belakangnya.

"Kamu selingkuh dengan dia? Sudah berapa lama?"

"Astagfirullah! Sayang, mas nggak pernah selingkuh dari kamu."

"Kalau bukan selingkuh, apa namanya, Mas? Kamu jatuh cinta dengan dia terus langsung nikahi dia, gitu?" Gista berteriak, ia benar-benar emosi dengan jawaban dari Arras.

"Mas nggak pernah cinta perempuan lain selain kamu, Sayang. Mas terpaksa menikahi Safa karena mas nggak mau jadi anak durhaka."

Gista berdecih, ternyata benar dalang semua ini adalah ibu mertuanya. Ia tidak paham dengan pemikiran ibu mertuanya yang memberi

Katanya anak laki-laki itu milik ibunya, mau sampai kapan pun ia tetap milik ibunya. Itu yang Arras yakini sesuai ajaran agamanya. Termasuk semua perintah yang ibunya beri, semua akan ia turuti. Termasuk permintaan ibunya untuk menikahi Safa demi kelangsungan garis keturunan. Semua Arras lakukan semata-mata karena bakti pada ibunya. Walaupun, tanpa izin Gista selaku istri pertama.

"Kamu lebih banyak tahu agama daripada aku. Ini halal kamu lakukan tanpa izin dari aku?"

Arras mengangguk meski dengan gerakan lemah. "Iya, halal meski tanpa izin kamu."

Di dalam hukum agama yang Arras anut, poligami dihalalkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu, sesuai syariat Islam tersebut, jika
seorang laki-laki ingin menikah lagi maka hukumnya halal dan tidak ada sama sekali syarat untuk meminta izin kepada istri pertama atau pihak mana pun. Karena sejatinya laki-laki tidak membutuhkan wali, pihak perempuanlah yang membutuhkan wali dan izin.

Namun, urusan berpoligami bukan perkara hukum syariat semata, bukan pula tentang halal haramnya dari kitabullah dan sunah Rasulullah, tetapi lebih dari itu, ada urusan hati seorang perempuan, yaitu istri pertama yang dikecewakan. Oleh karena itu, Allah SWT menghalalkan poligami dengan syarat keseimbangan atau adil terhadap kedua istrinya.

Dengan kata lain, dalam hal ini apa yang Arras lakukan tidaklah salah jika dilihat dari sisi syariat agamanya, tetapi tidak dengan hukum negaranya.

"Termasuk halal di pengadilan?" tanya Gista dengan posisi yang masih sama.

Entah sudah berapa lama Gista duduk di lantai memeluk lututnya. Pun dengan Arras, sudah berapa kali pula tawaran untuk istrinya bangkit dari posisi itu, duduk di sofa atau tempat tidur rasanya lebih nyaman ketimbang harus merasakan dinginnya lantai keramik kamar mereka. Tawaran hingga bujukan sang suami ditolaknya terang-terangan, ia sudah tidak peduli dengan penampilannya. Gista benar-benar kacau sekarang ini.

"Kami hanya nikah siri, belum bisa dilegalkan secara hukum negara. Itu pun ... banyak keluarga yang nggak tahu."

"Kenapa? Bukannya kalau legal, nanti ibu kamu akan pamer ke semua orang, kalau punya menantu yang bisa kasih kamu keturunan." Gista tersenyum miring, apalagi mengingat perkataan ibunya tentang keturunan yang pasti bisa ia dapat dari Safa.

"Pernikahan itu nggak bisa dilegalkan di pengadilan tanpa izin dari kamu. Ada sanksi pidana yang mengaturnya Kalau itu dilakukan, tujuh tahun penjara sebagai hukumannya," pungkas Arras mengubah posisi berjongkok di depan sang istri.

Sebagai warga negara Indonesia, tentu ada peraturan yang mengatur warganya, termasuk hukum perkawinan. Salah satu alasan kenapa pernikahan Arras dan Safa dilakukan secara siri adalah karena butuh surat izin serta berkas yang lainnya untuk mengesahkan itu semua di mata hukum. Sementara Arras, ia tak memberi tahu Gista sebelumnya atau bahkan pria itu berniat menyembunyikan selamanya dari Gista.

"Kalau aku memberi izin itu, apakah Mas akan melegalkannya?" Pandangan Gista berubah nanar, ia berpaling ke sembarang arah. "Atau ... kalau aku nggak kasih izin, Mas Arras akan menceraikan aku biar bisa nikahi dia secara sah agama dan negara?"

"Sayang, ketimbang harus menceraikan kamu. Lebih baik mas menceraikan Safa. Tolonglah, mas cinta kamu. Mas nggak bisa tanpa kamu."

Mengusap jejak air matanya, pandangan kedua anak manusia itu saling bertaut dengan isi kepala masing-masing. Banyak mimpi yang ingin Gista segerakan setelah ini, tetapi semuanya seakan diruntuhkan dalam beberapa detik saja. Pria yang ia kenal selama lebih dari lima belas tahun itu adalah sosok tempat Gista bergantung setelah ayahnya. Jelas tersimpan di memori Gista, bagaimana seorang Arras yang penyayang selalu hadir di setiap momen hidupnya, bahkan pria itu menjadi tempat ia berpegang saat kehilangan ayahnya.

Namun, mau berapa lama Gista mengenal Arras, bagaimana besarnya cinta pria itu padanya, tetap akan kalah dengan bakti pada seorang ibu. Arras tetaplah anak ibunya dan Gista tidak bisa menggeser fakta itu.

"Ceritain ke aku, gimana awal mula kamu mau menikahi dia. Apa yang membuat kamu mau menikahi dia, selain bakti pada ibu."

Perlahan mendekat, jarak keduanya sudah kurang dari tiga puluh senti. Mengulurkan kedua lengan terbuka, berharap Gista masuk ke dalam dekapannya, Arras masih berusaha mencoba dengan lebih lembut agar tidak ditolak seperti yang tadi.

"Akan mas ceritain semuanya ... dari awal, tapi kamu berdiri dulu, ya. Kita pindah dulu ke ranjang atau mau di sofa?"

Gista tak menyahut, tetapi tak pula ada penolakan saat tubuh rapuhnya dibawa ke dalam pelukan sang suami. Pun saat Arras menuntunnya untuk bangkit dan pindah ke sofa.

Harusnya, Gista bisa lebih murka daripada ini. Arras terima jika yang keluar dari perempuan itu adalah sumpah serapah, bahkan umpatan sekalipun. Ia pantas menerima itu atas rasa sakit yang ia beri ke istrinya. Mata Arras nanar menyapu ruang kamar, harusnya ruangan pribadi mereka ini berantakan karena semua benda yang istrinya lempar sebagai bentuk kekesalan, tetapi berbanding terbalik dengan ia lihat. Kamar ini masih terlihat cukup rapi, bukti jika wanita itu tidak melampiaskan pada benda di sekelilingnya.

"Rasulullah pernah minta ke Ali bin Abi Thalib selaku menantunya, untuk tidak berpoligami meskipun poligami itu boleh dan tidak salah." Di dalam dekapan sang suami Gista bertutur dengan kalimat nyaris lirih, "karena Rasulullah punya rasa manusiawi, Ia tidak ingin melihat putri kesayangannya tersakiti dari poligami yang tidak adil. Nikahi dia secara resmi, baik negara dan agama. Jadilah suami yang adil untuk aku dan dia."

Ketimbang memberi izin atas apa yang telah dilakukan Arras di belakangnya, pria itu lebih pantas menerima hukuman dari Gista dengan tidak percaya lagi pada pria itu. Namun, Gista justru tetap percaya jika suaminya bisa menjadi imam yang adil bagi ia dan madunya.

Tanjung Enim, 28 Mei 2023
RinBee 🐝

Jadi, gengs Arras menikah tanpa izin Gista menurut Islam itu halal, ya. Tapi gak bisa secara negara, kudu izin istri pertama klo gak mau kena masuk penjara.

Makanya mereka masih nikah siri.
Btw, bab ini sudah di spoiler di tiktok aku, loh. Aku post 2 hari lalu, bahkan udah di notis sama glorious di igs mereka. 😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top