4 📌 Istrinya Arrasyah

Gista menghentikan langkahnya, ia mengerjap beberapa kali. Di ujung koridor, Gista tidak salah lihat bukan? Sosok wanita yang sangat ia kenali berada di sana. Sang mertua sedang berdiri di depan loket pengambilan obat.

Ngapain ibu di sini? Siapa yang sakit?

Gista masih tercenung, berdiri mengamati wanita paruh baya yang sedang melakukan gerakan mengangguk. Mungkin apoteker sedang menjelaskan obat yang ia tebus. Kemudian wanita itu meraih kantong plastik dan meninggalkan tempat itu.

Gista turut mengayunkan tungkainya, melewati apotek tempat awal tujuannya tadi. Entah apa yang membuat Gista mengikuti sang mertua secara diam, tanpa memanggil wanita itu. Ia berhenti saat sang mertua masuk ke salah satu ruang rawat inap VIP.

Melangkah lebih cepat, Gista berdiri di sebuah ruangan yang ibu mertuanya masuki tadi. Mencoba mengintip dari pintu kaca buram, sayangnya tak bisa ia lihat ke dalam. Gista mendongak, membaca papan yang tergantung di langit-langit rumah sakit. Ruang obstetri?

Ia tahu obstetri adalah ilmu yang tentunya berkaitan dengan kehamilan dan melahirkan. Pertanyaan yang ada di kepala Gista sekarang adalah ... siapa perempuan hamil atau pasca melahirkan yang ibu mertuanya rawat? Jika bukan orang terdekatnya, tidak mungkin rasanya sang mertua sampai melakukan ini semua. Apalagi jika hanya sekadar menjenguk.

Akhirnya, dengan rasa penuh penasaran Gista memutar hendel pintu kemudian mendorong daun pintu dengan gerakan pelan. Melangkah masuk dengan ayunan tungkai yang getir, netra Gista terfokus pada si pasien yang sedang dibantu ibu mertuanya untuk meminum segelas air. Ibu mertuanya membelakanginya, tentu tidak tahu jika yang ada di belakangnya adalah Gista. Wanita 37 tahun itu tak peduli jika setelah ini ia dikatakan lancang karena masuk tanpa permisi dan izin. Perasaannya tak tenang saat melihat sang mertua di apotek tadi, ia merasa ada yang ganjil di sini.

"Arras kamu baru sam—" Ucapan sang mertua terhenti, matanya membulat saat yang berdiri di depannya bukanlah sosok Arras, melainkan sang menantu.

"Bu, dia siapa?" tanya Gista getir, netranya masih terpaku pada sosok perempuan muda di atas ranjang pasien. Sekarang, ia dapat melihat jelas wajah si pasien setelah tadi terhalang tubuh ibu mertuanya.

Gista tidak buta huruf, ia dapat membaca data pasien yang tertera di atas papan putih tergantung di depan ranjang. Pun ia tahu nama perempuan itu adalah Safaniyah Nur Salamah. Perempuan yang beberapa bulan lalu ia kenalkan pada mertuanya sebagai pasien yang mengalami musibah kecelakaan. Ibu dan adiknya Safa mengembuskan nafas di TKP. Dan berakhir menjadi salah satu pegawai di toko kue ibu mertuanya. Semua berkat Gista yang mengenalkan mereka berdua.

Namun, pertanyaan tentang siapa, bukan nama perempuan itu yang Gista tuntut, melainkan ada hubungan apa ibu mertuanya dengan Safa sehingga sang mertua rela merawat dan menginap di ruang inap ini. Gista paham jika Safa tidak memiliki keluarga di sini, tetapi lagi-lagi bukan itu yang memenuhi otak Gista.

Sakit apa wanita itu? Hingga dirawat di ruangan khusus wanita hamil dan pasca melahirkan. Bukankah setahunya, Safa belum menikah?

"Safa kemarin pendarahan dan harus dikuret." Ibu kandung Arras itu membuang muka ke luar jendela. "Arras anak semata wayang ibu. Dia butuh keturunan. Dengan adanya Safa mungkin dia bisa mendapatkan itu."

"Hubungannya dalam rumah tangga kami apa, Bu? Maksud Ibu, kami akan mengadopsi anak dari Safa? Terus laki-laki nggak bertanggung jawab itu ke mana?" Gista tertawa sumbang, ia tahu ibu mertuanya pasti sangat ingin menimang cucu. Maka dari itu, ia sedang mengusahakannya. Bisakah ibu mertuanya sedikit bersabar. Ia rasa mengadopsi anak belum diperlukan dalam hal sekarang ini. Gista yakin, ia bisa menghadirkan buah hati itu dari rahimnya sendiri.

"Safa hamil anak Arras!" tegas sang mertua, telak mematahkan dugaan Gista.

Gestur tubuh Gista sudah tidak nyaman menangkap apa yang ibu mertuanya tuturkan barusan, bergerak dua langkah maju mendekati ranjang pasien, memutar tubuh menghadap lurus ke wanita yang sudah duduk di kursi samping ranjang.

"Maksudnya gimana, Bu? Jangan bilang, Mas Arras selingkuh di belakang aku dan berzina dengan perempuan ini!" Gista menunjuk tajam ke arah Safa, perempuan berusia 23 tahun itu menunduk dalam, jarinya memilin ujung selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.

"Jangan lancang kamu bicara, Gista! Safa istrinya Arras juga. Tiga bulan lalu, Arras dan Safa menikah. Memang secara siri, tapi apa yang mereka lakukan bukanlah zina. Mereka halal melakukannya." Ibu kandung dari Arras itu berdiri, tak kalah tajam telunjuk rimpuh itu pun mengarah ke wajah Gista.

"Sudah menikah sejak tiga bulan lalu?" Gista berdecak kencang, "gimana bisa dikatakan halal, Bu? Mereka melakukan pernikahan di belakangku, tanpa izin dan restu aku sebagai istrinya. Aku masih istri sah Mas Arras, Bu!"

Lelucon macam apa itu. Apa kata ibu mertuanya tadi? Istri Arras juga? Bagaimana bisa suaminya punya istri lain selain dirinya, selama sembilan tahun pernikahan tak sekali pun Arras meminta izinnya untuk berpoligami, bahkan menyinggungnya saja tidak pernah. Ia percaya dengan janji sang suami, bahwasannya tidak akan berpaling darinya, ada dan tidak anak di tengah mereka. Sekarang lihat, fakta di depan mata Gista seakan menghantam pertahanannya untuk tidak percaya lagi pada pria itu. Namun, Gista tak mau gegabah. Ia harus mendapat penjelasan ini semua dari sang suami.

"Safa ... istrinya Arras ju—"

"Aku! Istri Mas Arras cuma aku, Bu."

Gista memotong ucapan ibu mertuanya. Ia muak mendengar sang mertua sudah berapa kali berkata perempuan itu adalah istrinya Arras. Hanya dia istrinya Sultan Arrasyah, tidak ada wanita lain yang dinikahi suaminya. Ia tidak pernah memberi izin apalagi restu untuk suaminya memiliki dua istri. Gista tidak pernah berniat memelihara madu, pun tidak tertarik meraih surga dengan cara ikhlas berpoligami.

"Mbak Gista ... maaf." Suara melirih dari wanita yang ada di ranjang pasien tersebut.

Gista tersenyum miring, permintaan maaf dari wanita itu tak ia hiraukan. Kalimat itu justru lebih mencabik harga diri Gista. Ia tidak habis pikir, Safa masih muda, cantik, bahkan cerdas. Bisa-bisanya menikah dengan suami orang, bahkan ia tahu dan mengenal istri laki-laki itu.

"Kamu nggak mampu mencari perjaka? Sampai-sampai harus merebut suami orang?"

"Tidak ada yang merebut di sini!"

Tatapan Gista lurus ke wajah sang mertua, punya daya pikat apa seorang perempuan bernama Safaniyah Nur Salamah ini hingga wanita paruh baya itu mati-matian membelanya. Lalu apa namanya jika tidak merebut? Suaminya yang suka rela menikahi perempuan itu?

"Jadi, maksudnya Ibu yang meminta mereka menikah?"

Kalimat itu Gista lontarkan pada sang mertua, ibu kandung suaminya itu tak membuka suara perihal tuduhan Gista, tetapi sorot matanya cukup mewakili apa yang Gista katakan benar, ada andil dirinya.

"Bu ... udah, Bu. Mbak Gista, aku mohon maaf karena nggak izin Mbak Gista dulu." Safa berkata dengan mimik wajah menahan sakit, tangan kanannya memegangi perut daerah bawah. "Na-nanti ... setelah keluar dari rumah sakit, a-aku minta Mas Arras menjatuhi talak ke aku."

"Safa! Kamu nggak boleh cerai dari Arras. I-ibu yakin, kamu bisa memujudkan apa yang nggak bisa Gista berikan ke anak ibu."

"Bisa! Cucu, kan, yang Ibu tuntut? Aku akan berikan itu untuk Ibu dan Mas Arras."

Oh, Tuhan. Adakah iringan musik yang pantas untuk perdebatan antara menantu dan mertuanya itu. Seperti yang ada pada film bertema poligami yang sedang marak di perbincangkan, jika pada film istri pertama meminta suami untuk menikah lagi dengan alasan klasik, agar mendapat keturunan. Lain halnya yang sedang terjadi di hadapan Gista sekarang ini. Mungkin jika diberi judul, "menantu versus mertua maut" sangat pas menggambarkan yang sedang terjadi.

Derit pintu terbuka terdengar, perdebatan itu mendadak hening. Gista tak menoleh, tatapannya masih menghunus ke wajah sang mertua kemudian beralih ke Safa.

"Oh, sedang ada tamu—loh? Gista?"

Gista tidak melihat siapa yang baru saja masuk tersebut, tetapi rungunya mampu mengenali suara itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Nindya sahabat yang ia tunjuk sebagai obgyn-nya dan sekarang menangani Safa—madunya.

Tekad Gista hanya satu sekarang, ia harus bisa mewujudkan apa yang ibu mertuanya itu remehkan padanya. Ia harus bisa hamil sebelum Safa, tak peduli jika ini akan dianggap sebagai persaingan.

Membalik tubuh dengan tangan terkepal kuat, Gista melangkah meninggalkan ruangan yang cukup membuatnya gerah. Ia tak memedulikan Nindya yang masih mematung di tengah ruangan. Mungkin nanti ia akan bercerita pada sahabatnya itu.

Tanjung Enim, 12 Mei 2023
RinBee 🐝

Aku update cepat 🤭

Kasih ❤️ sbg reward dong biar next cepat lagi updatenya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top