13 📌 Program Dimulai
🍂🍂
Jika pertanyaan dari ibu mertuanya atau bahkan orang di luaran sana, kenapa baru sekarang memulai program kehamilan, selama sembilan tahun pernikahan ke mana saja Gista. Apa yang dipikirkan wanita itu hingga mengambil keputusan yang membuat beberapa pihak kecewa. Jawabannya adalah ... ia mengobati luka batin dan traumanya terlebih dahulu.
Ia mencoba berdamai, mengikhlaskan dengan apa yang pernah ibu kandungnya beri, termasuk kesakitan batin yang begitu mendalam.
Gista itu bukannya tidak mau, tetapi ia tidak tahu caranya. Sejak kecil sudah mengalami ketimpangan dari ibunya, figur ibunya benar-benar kosong di hidupnya. Wanita yang telah melahirkannya itu hanya bisa menuntut, tanpa memedulikan. Ibunya hanya peduli pada anak kesayangannya. Kasih sayang, keperluan materiel, dukungan, semua mati-matian dilakukan untuk adiknya. Sementara Gista? Tumbuh sebagai anak memiliki ibu, tapi tak mendapatkan figurnya.
Kesakitan batin itulah sempat menjadi alasan Gista untuk tidak memiliki anak. Ia tidak mau anaknya memiliki figur ibu yang tidak baik darinya, ia tidak ingin malaikat polos itu memiliki trauma yang sama dengannya. Itu sebabnya, ia mau dalam kondisi batin dan mental yang sehat terlebih dahulu baru program dimulai.
"Gimana? Ada keluhan?" Nindya bertanya di sela-sela memeriksa tekanan darah Gista.
"Nggak ada, Nin."
Nindya mengangguk, menyimpan stetoskop dan tensimeter setelah ia gunakan. Langkahnya dibawa ke ranjang pasien di balik tirai berwarna paduan merah marun dan keemasan. Ia menyibak penghalang itu hingga terlihatlah beberapa peralatan medis lainnya.
Gista dibimbing oleh suster yang menjadi asisten Nindya ke kamar mandi untuk membersihkan organ kewanitaannya, serta diminta melepas celana dalam untuk pemeriksaan selanjutnya. Hanya butuh lima menit Gista di dalam sana, setelahnya ia kembali dibimbing ke atas ranjang.
Wanita yang akhir-akhir ini rajin berolahraga dan makan makanan sehat itu berbaring di atas ranjang, kakinya dilebarkan menghadap Nindya. Sang suster menyelimuti bagian bawah Gista. Sedikit tidak nyaman sebenarnya, tapi mau gimana lagi. Ini adalah proses yang harus dilalui untuk memulai program kehamilan.
Nindya memasukkan alat tranvaginal ke kewanitaan Gista. Sangat teliti menjelaskan apa yang tertampil di layar pada Gista. Intinya dari pemeriksaan ini, semua baik dan sehat. Kabar itu membuat Gista mengembangkan senyuman, harapannya tentang keberhasilan dari program ini membumbung tinggi.
Serangkaian pemeriksaan telah selesai dilakukan, Gista telah mengenakan pakaiannya kembali. Dua perempuan berstatus dokter dan pasien itu duduk berhadapan dengan meja kerja sang dokter menjadi pembatasnya. Namun, setelah pemeriksaan usai lima menit lalu, mereka duduk bukan lagi sebagai obgyn dan pasien, melainkan sebagai sahabat lama.
"Aku kira kamu mengurungkan untuk program setelah ...."
Gista menarik garis senyum melengkung ke atas, meskipun kalimat Nindya menggantung, wanita itu jelas tahu ke arah mana pembicaraan ini.
"Setidaknya, aku harus membuktikan terlebih dahulu, Nin. Selama ini bukan aku tidak mau, tapi ada yang harus aku perbaiki terlebih dahulu." Gista melirih, jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuan ia remas.
"Maaf kalau lancang, tapi sebagai teman aku harus tahu apa yang terjadi dengan kamu. Bukannya kalian baik-baik saja?"
Gista mengedikkan bahunya kemudian menarik senyum simpul. Jika Nindya bingung, sejujurnya Gista pun demikian. Bagaimana tidak. Menjalani rumah tangga bersama Arras selama sembilan tahun, ia rasa tidak ada perselisihan yang besar di antara mereka, termasuk perihal anak. Arras terima keputusannya yang dahulu tidak ingin memiliki anak, pun dengan keputusan menjalani serangkaian program kehamilan untuk sebuah benih tumbuh di rahimnya.
Jadi, tidak ada alasan kuat dari Arras untuk menikah lagi di belakang Gista. Namun, yang terjadi tidak sesuai kenyataan.
"Iya, kami baik-baik aja. Aku juga baru tahu kalau Mas Arras nikah lagi tanpa sepengetahuan aku, Nin."
Bola mata Nindya membulat sempurna, wanita itu tercengang dengan pernyataan Gista.
"Mas Arras selingkuh? Terus perempuan itu dari mana?"
Gista menggeleng kuat mendengar tuduhan jika suaminya berbuat curang di belakangnya. Setidaknya, Gista percaya dengan apa yang pernah Arras sampaikan bagaimana ia dan Safa bisa menikah.
"Mertuaku mau cepat-cepat nimang cucu intinya, Nin. Wajar, sih, beliau sudah terlalu lama nunggu dariku, bukan salah beliau juga. Itu sebabnya, Mas Arras diminta menikahi perempuan itu. Semua atas keputusan mertuaku."
"Dan kamu setuju untuk dimadu?" Nindya menghempaskan nafas singkat. Ia sedikit heran dengan jawaban Gista yang terkesan pasrah.
"Aku bisa apa, Nin? Aku berontak menolak pun semua sudah terjadi. Mas Arras udah nikah dan perempuan itu sudah pernah hamil anaknya. Sementara aku, belum bisa kasih itu ke Mas Arras." Suara Gista bergetar.
"Tapi, Gis. Ini bukan karena semata-mata kamu egois. Ada sesuatu yang kamu perbaiki dulu, aku paham itu. Perkara anak, bukan cuma selesai mengandung dan melahirkan setelahnya beres. Ada keadaan mental ibunya yang harus diperhatikan."
Obrolan keduanya terhenti saat suara pintu diketuk, perawat yang menjadi asisten Nindya masuk setelahnya. Bisa Gista lihat map yang dibawa sang perawat diserahkan pada Nindya, sempat ia lihat ada nama sang suami yang tertera di depan map.
Nindya memeriksa lembar demi lembar, kepalanya kadang mengangguk.
"Oke, semua lengkap. Suami Ibu Gista sudah ke ruangan, Sus?"
"Belum, Dok. Suaminya masih di ruang pemeriksaan."
"Oh, oke." Nindya menutup map kemudian mengangsurkannya kembali ke suster itu. "Bawa Pak Arras ke ruang pengambilan sampel,ya. Jangan lupa kasih tab untuk nonton filmnya, sama diminta keluarkan di dalam tabung, ya."
"Baik, Dok. Saya permisi."
Nindya mengangguk, sepeninggalan sang suster ia kembali mengalihkan atensinya pada Gista. Ya, selain Gista Arras juga tak luput menjalani serangkaian pemeriksaan.
"Kita coba ambil sampel sperma suamimu dulu, ya. Kita lakukan pemeriksaan dan diambil mana yang ideal untuk pembuahan."
"Pokoknya aku serahin ke kamu aja, Nin. Mana yang terbaik."
"Semoga dapat hasil yang baik, ya, Gis. Pokoknya, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk kalian. Biar ibu mertuamu itu nggak berisik lagi."
Gista hanya tersenyum, ia tidak habis pikir dengan sahabat baiknya ini. Kenapa justru Nindya yang lebih bersemangat membalas perlakuan ibu mertua Gista.
Perempuan itu juga memendam tekad, tetapi ada alasan yang lebih penting daripada sekadar untuk membuktikan pada mertuanya, yaitu impiannya dapat melahirkan makhluk-makhluk lucu yang akan ia didik dengan baik.
Tanjung Enim, 24 Mei 2024
Rinbee ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top