12 📌 Ibu Mertua Ikut Campur

***

Gista berharap di dunia ini, hidupnya bisa tenang dari perempuan bergelar ibu mertua maupun ibu kandung. Memelihara luka mendalam akan sosok ibu kandungnya, membuat wanita itu tak begitu pandai mengambil hati dari mertuanya.

Selama sembilan tahun menjadi menantu dari ibu Arras, Gista tak pernah barang sekali saja mencoba mengakrabkan diri pada wanita itu. Apa yang ia lakukan hanya sebagai bentuk menghormati dan menghargai ibu dari suaminya. Selagi ia tidak bersikap kurang ajar pada mertuanya, sudah cukup bagi Gista. Tidak perlu melangkah terlalu jauh untuk lebih dekat.

Gista baru saja turun dari mobilnya, pasien di kliniknya tidak begitu banyak hari ini. Itu sebabnya, ia bisa pulang lebih awal. Pukul 16.30 wanita itu sudah berada di rumah. Dahinya berkerut saat melewati teras depan mendapati pintu utama terbuka lebar.

Baik dirinya dan Arras, mereka jarang membuka pintu depan selebar itu. Pun dengan asisten rumah tangganya. Selalu diberi amanat untuk tidak lama-lama membiarkan pintu depan terbuka.

"Bu, ada ibunya bapak," ujar asisten rumah tangganya yang tergesa menghampiri Gista di ruang tamu.

"Ibu? Udah lama, Bi?"

Wanita dengan daster panjang hingga ke mata kaki itu mengangguk, berjalan menunduk mengikuti langkah Gista.

"Kok, Bi Arsih nggak kasih tahu aku? Kalau gitu, aku kan bisa beli sesuatu dulu, Bi." Gista berhenti mengayunkan langkah, berbalik menghadap Bi Arsih.

Wanita seusia dengan ibunya itu maju dua langkah mendekati Gista, telapak tangannya sejajar dengan garis sudut bibir, ia berbisik, "Ibu besar, kayaknya lagi nggak baik, Bu. Baru datang aja tadi langsung ke kamar Ibu, teriak manggil Ibu."

"Hah? Kenapa emangnya?" Gista menggaruk alisnya, ia bingung apa yang terjadi. Kenapa mertuanya datang berkunjung dengan marah-marah.

"Bibi kurang paham, Bu."

Tak segera mencari keberadaan ibu mertuanya, Gista justru masuk ke kamarnya. Ia rasa akan lebih baik membersihkan diri dulu baru menghampiri sang mertua. Sekaligus, menanyakan barangkali ibu dari suaminya itu ingin makan sesuatu untuk makan malam.

Keluar kamar mandi dengan penampilan segar, Gista mengenakan baju setelan cokelat muda, sangat cocok di kulitnya yang putih. Wanita itu keluar kamar, tujuannya adalah kamar tamu yang sedang dihuni oleh mertuanya.

Dua kali Gista mengetuk kemudian mendorong pintu kamar, ia sempat mamggil sang mertua, tetapi tidak ada sahutan dari wanita itu. Netranya langsung tertuju ke tengah ruangan, di mana ada tempat tidur queen size di sana. Wanita yang Gista cara duduk di bibir ranjang, mata rimpuhnya fokus pada layar ponsel yang ada di tangannya.

Gista paham jika mertuanya tidak sempat menyahuti panggilannya, dapat ia lihat betapa kesusahannya sang mertua menggunakan alat komunikasi itu, beberapa kali ia menaikkan kaca matanya, sedikit menjauhkan layar ponsel dari pandangan. Usianya sudah tidak muda lagi, tentu saja penglihatannya pun sudah tidak sama lagi dengan orang muda. Jari telunjuknya mencoba menyentuh layar, seperti sedang mengetik sesuatu. Mungkin ibu dari suaminya itu sedang bertukar kabar dengan sanak keluarga yang ada di luar Jakarta.

"Bu," panggil Gista lagi, mendekat ke arah wanita itu untuk menyalaminya.

Wanita itu mendongak kemudian membuang muka. Gista mengerutkan kening, belum sempat punggung tangan sang mertua ia cium, tetapi sudah ditarik oleh ibu Arras tersebut.

"Ibu mau nginep di sini?"

Mendelik tajam, tatapan sinis dari balik kacamata wanita itu terlihat jelas tidak suka menatap Gista.

"Iya, kenapa? Apa ibu juga tidak boleh nginep di sini?"

"Bukan gitu, Bu. Maksud Gista, kalau ibu mau nginep di sini, mau dimasakin apa? Biar nanti Gista masakin untuk makan malam ibu."

"Nggak perlu! Ibu tidak yakin masakan kamu tidak bikin ibu celaka."

Wanita itu beranjak kemudian meninggalkan Gista begitu saja, dada istri dari Arras itu jangan ditanya lagi, sudah bergemuruh hebat mendengar kalimat dari sang mertua. Niatnya baik, kenapa malah dituduh yang ia pun kepikiran juga tidak untuk melakukannya. Gista mengepalkan tangannya, mengatur napas kemudian meninggalkan kamar tamu.

***

Suasana meja makan malam ini sedikit canggung, tidak ada obrolan hangat dari pasutri itu, pun dengan wanita yang duduk berseberangan dengan Gista dan Arras.

Sang pria mencoba membaca situasi, tetapi tetap saja gagal memahami. Diliriknya wanita di kursi sampingnya, Gista seakan tak berselera dengan semua hidangan yang tersaji di meja makan. Arras tahu, ini adalah masakan istrinya.

Mengalihkan atensi ke depan, ibunya seolah menjadi pengkritik makanan. Bukan sekali dua wanita itu menunjukkan ekspresi tak bersahabat setelah menyicipi setiap hidangan. Padahal menurut Arras, masakan Gista malam ini enak-enak saja, sama seperti sebelumnya.

"Bu, cobain semur buatan Gista. Enak, loh, Bu." Arras mendorong sedikit mangkuk besar berisi semur daging, barangkali ibunya suka.

Toh, yang Arras tahu resep semur daging yang dimasak istrinya adalah resep pemberian ibunya juga, bahkan ibunya pernah memuji rasanya sama persis dengan masakannya.

Menyendok kuah berwarna kecokelatan itu, ibunya mengerutkan dahi dan menarik senyum sinis.

"Ini yang kata kamu semur? Semur dari mana? Rasanya lebih pantas disebut air diberi kecap yang banyak. Tidak ada gurih-gurihnya sama sekali," cecar wanita itu seraya menyimpan sendok dengan sedikit hentakan di piringnya.

"Masa, sih? Tapi di lidahku enak, kok, Bu."

Ibu menyandarkan punggungnya di kursi meja makan, menyudahi makan malamnya. "Kamu itu sudah dibuat mati rasa oleh Gista. Jadi, apa-apa nggak tahu mana yang baik buruknya."

Hempasan sendok dan garpu di atas piring porslen terdengar menginterupsi, Gista sudah tidak tahan dengan ibu mertuanya. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh wanita ini.

"Maunya Ibu apa?" Gista bertanya dengan nada datar, tidak meninggi pun tidak gentar.

"Kamu ngomong apa ke Safa? Sampai-sampai dia pulang ke kontrakannya sendirian. Kamu usir dia?"

Hanya helaan yang Gista embuskan, sungguh ia sangat ingin menjalani program kehamilan dengan tenang, tanpa adanya stres dan tekanan. Namun, ujian dari Tuhan berikan melalui ibu mertuanya sangat mengusik mood-nya malam ini.

"Safa bilang apa ke Ibu?"

Itu Arras yang bertanya, Gista sudah membungkam kembali mulutnya. Ia susah lelah, percuma berdebat dengan orang yang lebih tua, tetap saja yang salah si muda dengan dalih tidak hormat terhadap ibu mertua.

"Safa nggak bilang apa-apa, dia cuma bilang mau ambil barang aja ke kontrakannya, tapi ibu tidak percaya. Ternyata bener, Safa tinggal di sana lagi. Sekarang dia udah tinggal di rumah ibu. Anak itu terlalu baik dan penurut," terang wanita itu dengan sedikit membandingkan menantu barunya itu lebih baik daripada Gista.

"Bu, kita masih di meja makan. Nanti aja kita bahas, Arras akan jelasin-"

"Ibu mau sekarang! Kenapa Safa kamu usir?"

Wanita itu sudah dipenuhi prasangka buruk terhadap Gista, bahkan pertanyaan serupa tuduhan itu pun ia layangkan terang-terangan ke Gista. Bukan Gistara Arawinda namanya jika hanya mendengar ocehan mertuanya terlalu banyak, apalagi sudah menyangkut tuduhan keji tak berdasar.

"Nggak ada yang ngusir Safa. Aku cuma minta keikhlasan hati Safa untuk mengizinkan Mas Arras di sini sementara waktu, selama kami menjalani program kehamilan untuk aku."

Cukup lugas Gista menyampaikan kalimat itu pada ibu mertuanya, bahkan tatapannya terpaut ke mata wanita itu. Memang benar adanya, baik dirinya maupun Arras tidak ada niatan mengusir Safa, silakan jika madunya itu masih ingin tinggal di rumah ini. Mungkin mereka bisa tinggal di hotel sementara waktu selama pasca proses kehamilan itu nanti.

Sebagaimana yang dituturkan Gista tadi, seharusnya menjadi kabar baik bagi mertuanya, tetapi wanita itu justru merespons dengan cibiran.

"Baru sekarang mau program kehamilan. Kemarin-kemarin ke mana aja. Kenapa? Kamu takut kalah saing karena Safa bisa kasih ibu cucu. Atau takut ditinggalin."

"Bu, cukup!" Arras menyela ibunya, ia tidak ingin meja makan berubah fungsi menjadi tempat perdebatan antara kedua wanita yang ia cintai.

"Anak itu rezeki dari Allah, tidak ada persaingan dalam hal itu. Kalau Mas Arras mau ninggalin aku karena nggak bisa kasih keturunan, silakan."

"Sayang ...." Arras meraih kepalan tangan istrinya di atas meja.

Gista memutar kepalanya ke kiri, tatapan mengiba isyarat akan memohon dari suaminya terlihat jelas. Gista mengerti jika suaminya itu serba salah harus berpihak pada siapa, pun Gista terima kalau Arras lebih memilih ibunya ketimbang dia.

"Mulai malam ini, Mas silakan ambil keputusan." Gista menghempaskan genggaman tangan Arras, kemudian beranjak dari meja panas tersebut.

"Dasar tidak ada hormat-hormatnya ke mertua, belum selesai main tinggal aja."

Ocehan itu masih terdengar di telinga Gista sebelum ia benar-benar menjauh dari ruang makan. Gista itu sudah kehilangan figur seorang ibu sejak kecil. Jadi, ia tidak mengerti bagaimana caranya mengambil hati seorang ibu, bukannya bertutur membujuk, ia justru menantang ucapan mertuanya.

Emosionalnya benar-benar sudah di ubun-ubun, membanting pintu kamar dan menutupnya rapat. Gista sudah tidak tahan lagi, tubuhnya merosot di balik pintu, terduduk di dinginnya lantai kamar. Dadanya bergemuruh hebat, dia sudah tidak peduli jika malam ini keputusan Arras meninggalkannya lantaran tidak menghormati ibunya.

Tanjung Enim, 8 Desember 2023
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top