11 📌 Satu Bulan ke Depan
***
Sembilan tahun menyandang status menjadi istri Sultan Arrasyah, sudah ribuan kali pula momen salat berjamaah yang ia dan suami jalani. Hanya ada Gista sebagai makmum dan Arras imamnya.
Pernah terbesit dalam benaknya, kelak yang berdiri menjadi makmum lainnya adalah putri mereka. Mengamini setiap doa yang sang ayah lantunkan, menyalami dengan hikmat, berakhir mencium pipinya dan Arras dengan kalimat cinta.
Ya, hanya buah hati mereka yang sempat Gista bayangkan berdiri di sampingnya, bukan wanita lain yang berstatus sama dengan dirinya.
"Asalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh ...." Arras menoleh ke kanan kemudian ke kiri diikuti dua makmumnya di belakang.
"Mas," panggil Gista seraya meraih tangan Arras untuk ia salami.
Kepala yang masih terbungkus mukena putih itu tak luput dari kecupan Arras, baru hendak berpindah ke kedua pipi Gista, wanita itu menarik diri dan sedikit mendorong dada Arras. Gista tahu, kegiatan ini biasa ia dan suami lakukan, bahkan biasanya setelah salat, entah Arras yang akan tiduran di paha Gista atau sebaliknya dengan diisi obrolan ringan.
Namun, mulai hari ini, hal yang biasa mereka lakukan hanya berdua itu tidak bisa dilakukan secara leluasa. Pasalnya, ada makmum lain di sini, Gista tak ingin madunya merasa tak nyaman dengan kemesraan mereka, mengingat Safa pun punya hak yang sama sebagai istri dari suaminya.
"M-mas." Safa mendekat, menyalami Arras.
Pria itu hanya menyambut salaman dari Safa, tidak dengan tubuhnya. Tidak ada pelukan seperti saat Gista menyalaminya tadi, apalagi kecupan menghujani wajahnya. Jangan harap! Safa sudah merasa cukup bisa diterima dengan baik di tengah-tengah pasangan ini.
Melipat mukena dan menyimpannya di dalam gulungan sajadah, Safa mengurungkan niatnya meninggalkan ruang salat saat suara lembut Gista menginterupsi. Ia kembali duduk, alat salatnya disimpan di atas pangkuan.
"Ada yang mau mbak dan mas bicarakan." Gista membuka suara, ia tersenyum lembut.
"A-apa, Mbak?" Ia menyahut, tetapi tak berani menatap.
Kepalanya masih tertunduk dalam. Matanya menelisik sajadah yang terlipat di atas pangkuannya, bulu-bulu halus berwarna merah dan keemasan yang menghias sajadahnya menjadi pemandangannya. Ia juga penasaran apa yang akan pasangan ini sampaikan malam ini.
"Mbak bukan tidak suka kamu di sini, tapi rencana ini memang sudah ada sebelum pernikahan kalian mbak ketahui."
Apakah itu bentuk pengusiran secara halus? Harusnya Safa tidak tersinggung akan kalimat Gista. Lagi pula, istri mana yang benar-benar tahan hidup di bawah atap yang sama dengan madunya. Meskipun, istri tua Arras itu selalu berkata bisa menerima keberadaannya. Siapa yang bisa menjamin Gista tidak terluka.
"Mbak sama Mas Arras berniat mau promil mulai minggu depan. Programnya, sih, udah berjalan dari bulan lalu, tapi harus tertunda karena ... ya, itu."
Gista tak melanjutkan ucapannya, ia yakin Safa pasti tahu maksudnya. Harusnya program lanjutan yang mereka pilih itu sudah dijalani sejak tiga minggu lalu, tetapi harus tertunda karena mendapati mertuanya merawat wanita pasca keguguran di rumah sakit yang sama.
Safa bergerak gusar, mungkinkah wanita lembut di depannya ini akan meluapkan emosinya. Safa bisa terima jika Gista akan murka padanya, bukankah itu faktanya? Jika bukan karena dia yang menerima tawaran ibunya Arras, semua ini tidak akan terjadi. Bisa saja sekarang ini, pasutri itu sudah mendapat hasil yang diharapkan dari program yang mereka jalani.
"Fa," panggil Gista lembut sebelum melanjutkan pembicaraan inti yang akan ia sampaikan.
"I-iya, Mbak. Ini salah aku, nanti setelah ini aku pulang ke kontrakan lamaku aja."
Dahi Safa berkerut saat mendengar tawa renyah Gista mengudara. Ia memberanikan diri mengangkat kepala, menatap Gista yang masih tertawa kecil. Netranya berpindah ke Arras yang sejak tadi tak bersuara, tetapi genggaman posesif pria itu di tangan istri tuanya, bisa Safa lihat jelas. Betapa Arras mencintai Gista, menikahinya hanya semata-mata karena bentuk bakti pada ibunya.
Safa jadi mengingat malam pertama mereka tidur bersama sebagai suami istri. Selepas menuntaskan ibadah mereka, suaminya itu pindah tidur di sofa sementara ia di ranjang hingga subuh menjelang.
Safa yakin, termasuk ibadah untuk kebutuhan batin pun Arras lakukan atas rasa bakti pada ibunya. Bukan atas kemauan apalagi cintanya.
"Programnya masih minggu depan, Fa. Mbak kasih tahu kamu hari in, takut nanti lupa." Gista melepaskan genggaman tangan Arras, merangkak mendekat ke arah madunya. "Doain, mbak, ya. Semoga bisa dapat hasil yang baik."
Safa mengangguk ragu, memberanikan diri kemudian bertanya, "A-apa yang bisa a-aku bantu, Mbak?"
Meraih tangan madunya, usapan lembut Gista berikan di lengan Safa. "Mbak minta maaf, kalau nanti Mas Arras jarang jenguk kamu selama satu bulan ke depan. Kami mau fokus ke sana dulu. Mbak mohon rida kamu, ya."
Bergegas Safa berhambur memeluk Gista, sebagai istri baru ia tak pantas mendapat perlakuan terhormat seperti ini dari Gista. Wanita itu berhak menentukan apa saja yang berhubungan dengan Arras, tak perlu meminta izin pun bisa ia terima. Safa sadar diri akan statusnya selaku madu di sini, sudah cukup beruntung Gista tak memakinya saat ini. Sungguh, terbuat dari tanah yang mana saat Tuhan menciptakan hati Gista yang penuh akan kebaikan.
"Mbak Gista nggak perlu minta izin apalagi minta maaf. Mas Arras suami Mbak Gista—"
"Suami kamu juga," potong Gista seraya mengusap punggung Safa.
Mengurai pelukan, Safa menggenggam tangan Gista. Suara dehaman tak mereka pedulikan. Suami dari kedua wanita itu beranjak meninggalkan ruang salat, memberi waktu kedua istrinya untuk bercengkrama.
Safa tersenyum lebar, helaan napas lega ia embuskan. Tak pelak menarik perhatian Gista, wanita itu heran kenapa Safa tak banyak bicara saat di depan Arras.
"Kenapa, sih?" tanya Gista memicingkan matanya ke arah Safa.
Lagi-lagi napas panjang ia embuskan. "Aku tuh segan kalo ada Kak Arras, Mbak. Takut ...."
Gelak tawa Gista mengisi ruangan, lucu saja rasanya. Ada istri yang takut akan suaminya sendiri. Memang, pernikahan mereka atas keinginan mertuanya, tetapi Safa pernah mengandung anak Arras. Apa tidak penuh dengan kecanggungan saat itu?
"Lah? Takut gimana? Mas Arras gigit juga enak, kok. Kamu tahu, kan?"
"Nggak tahu, Mbak. Waktu itu aku tidur nggak inget diapain aja." Safa menyentuh kedua pipinya yang menghangat, semburat kemerahan tercetak jelas.
Gista semakin tergelak, bukan hanya cara bicara Safa yang lucu, tetapi wajah madunya itu cukup menghibur. Ketimbang disebut madu, saingannya dalam berbagi kasih sayang suaminya, Gista merasa hubungan mereka lebih pantas disebut kakak adik yang sedang mengobrol perihal rumah tangga masing-masing, padahal imam mereka satu.
"Sayang banget kamu tidur, lain kali coba, deh, bangun dan nikmati. Mas Arras mainnya lembut, sabar banget," celetuk Gista tanpa sadar.
Safa menarik senyum masam, potongan memori
kali pertama Arras menyentuhnya kembali berputar. Ia ingat betul bagaimana pria itu menuntaskan kebutuhan biologisnya dengan sangat tergesa, padahal Arras tahu itu adalah pengalaman pertama bagi Safa, bahkan ringisan Safa akan rasa perih seakan tak berarti di mata pria itu. Berbanding terbalik dengan apa yang Gista sebutkan tadi.
Mungkin benar, Arras bermain lembut dan sabar jika dengan Gista, perempuan yang sangat ia cintai, bukan seorang Safaniyah Nur Salamah, wanita yang lebih pantas disebut perebut kebahagiaan pasangan itu.
***
Tanjung Enim, 19 November 2023
RinBee 🐝
Ada yang mau disampaikan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top