10 📌 Satu Imam Dua Makmum
Setiap pasangan pasti punya masing-masing tentang pernikahan impiannya, termasuk Arras dan Gista. Dulu bagi mereka, asal tetap bersama sampai tua adalah sebuah impian walaupun, tidak seperti pernikahan pada umumnya.
Baik Gista maupun Arras tak pernah berniat, bahkan terbesit saja tidak untuk menjalani pernikahan dengan bumbu poligami di dalamnya. Apalagi harus hidup di bawah atap dengan satu imam dan dua makmum.
Ya, setelah satu hari dari acara mengulang akad kemarin, Gista mengajak Safa untuk tinggal bersama mereka di rumah yang telah ia tempati selama sembilan tahun bersama Arras. Hanya untuk beberapa hari atau paling lama satu minggu. Ia merasa harus lebih banyak mengenal sosok madunya ini. Setelahnya, ia tidak terpikir akan seterusnya begini. Gista manusia biasa, perempuan yang punya hati dan rasa cemburu pada umumnya. Ia takut, jika mereka berada di bawah atap yang sama terlalu lama, berbagi suami dan istilah lainnya. Bukan tidak mungkin mematik api cemburu baik dirinya atau pun Safa. Mereka punya hak atas Arras sebagai istri.
"Mbak Gista."
Gista menoleh pada si pemanggil, ayunan kakinya menuju pantry terhenti sejenak. Safa berjalan cepat seraya mengikat tali kerudungnya ke belakang kepala. Entah apa yang membuat wanita itu masih mengenakan hijabnya di saat di rumah tidak ada laki-laki lain selain Arras.
"Kamu nggak panas? Buka aja kerudungnya. Toh, di rumah cuma kita bertiga doang." Gista kembali melanjutkan tujuan awalnya.
"Panas, sih. Cuma harus dibiasakan, Mbak. Oh, iya, Mbak Gista beres mandi, ya?"
"Menurut kamu?" Gista mengangkat kedua bahunya, meminta Safa menilai penampilannya.
Perempuan itu tersenyum lebar, matanya menyipit. Diselipkannya jari telunjuk ke bawah hijab di bagian dahi. Seolah mendorong anak-anak rambut yang keluar dari sana.
"Udah mandi," jawabnya setelah melihat penampilan Gista lagi.
Gista bukan tipe yang menunda kegiatan mandi, setelah pulang bekerja dan sampai rumah dua jam lalu, ia segera membersihkan diri. Sebagai seorang dokter, ia paham akan kebersihan dan kesehatan.
Berhenti di pantry dan meraih gelas bersih dari kabinet bawah, Gista menuangkan air mineral dari dispenser yang letaknya tak jauh dari sana. Perlahan air dari dalam gelas kaca ia tandaskan.
"Kamu nggak bosan, kan? Maaf harus mbak tinggal di rumah karena banyak pasien di rumah sakit." Gista duduk di stool pantry bersebrangan dengan Safa yang masih berdiri.
Tangan perempuan muda itu bergerak ribut, seolah memberi tahu jika apa yang Gista tanyakan tidaklah benar.
"Nggak, kok, Mbak. Aku tadi nonton Netflix di kamar. Terus ditemenin sama Mbak Sari juga ngobrol-ngobrol. Mbak Sari pamit pulang, nggak lama Mbak Gista pulang."
Gista mengangguk, syukurlah jika Safa tidak sungkan di rumah mereka. Mungkin ini kabar baik untuk mereka ke depannya agar tidak ada yang saling sungkan. Bagaimanapun juga, Gista menganggap Safa seperti adiknya.
"Mas Arras ada telepon kamu hari ini?"
Safa mengernyit dengan pertanyaan Gista. Memangnya hal penting apa hingga pria itu harus meneleponnya. Status mereka memang suami istri, tetapi sangat jarang laki-laki itu meneleponnya atau mengirimkan kabar. Tiga bulan menjadi istri siri Arras dan tinggal bersama mertuanya, hanya tiga kali pria itu bertemu dengannya. Itu saja karena ibu mertuanya yang menelepon Arras untuk datang, bahkan haknya untuk mendapatkan nafkah batin saja baru tiga minggu setelah akad Arras berikan pada Safa dan kembali terulang di bulan ke dua. Safa merasa, apa yang diberikan Arras hanya sebagai perintah dari sang ibu bukan karena keinginan atau bahkan kebutuhannya.
"Memangnya, Kak Arras nggak telepon Mbak Gista?"
"Telepon. Hari ini berapa kali Mas Arras telepon mbak. Kayaknya ini udah di jalan pulang, setengah jam lalu kirim WhatsApp udah keluar kantor soalnya."
"Oh, kirain emang setelan pabriknya begitu."
Gantian Gista yang mengernyit dengan celetukan Safa. Mengerjap beberapa kali, Gista kemudian bertanya, "Setelan pabrik, maksudnya gimana?"
"Ya, aku kira emang Kak Arras bukan tipe yang suka kirim kabar telepon atau apa. Kak Arras nggak pernah gitu ke aku. Sekalinya nanya kabar, ya paling karena ibu yang maksa. Itu pun nelepon ke nomor ibu."
Setelah mengetahui suaminya ada istri lain, Gista kira bak dimabuk asmara Arras dan istri barunya akan sering berteleponan hingga berjam-jam atau selalu mengirimkan kabar masing-masing dengan kalimat manis khas pengantin baru. Pengakuan Safa cukup membuat hati Gista tersentil, pria itu benar-benar masih menempatkan Gista sebagai wanita yang secara sadar ia cintai.
Kedua wanita itu tersentak saat suara nyaring klakson mobil memasuki bagasi rumah mereka. Gista sudah paham betul kebiasaan Arras setelah sampai rumah. Ia memutar kepala ke arah sisi dinding sebelah kanan, pada jam dinding yang tergantung itu menunjukkan pukul lima lewat lima menit. Sedikit terlambat dari jam Arras biasa pulang kerja. Biasanya pukul 16.30 pria itu sudah berada di rumah.
Gista keluar dari meja pantry, menyambut suaminya di pintu depan meninggalkan Safa tetap bergeming duduk di stool pantry. Senyum Gista terangkat tinggi saat sosok gagah dengan tampilan masih rapi itu berjalan di tengah ruangan, hanya wajahnya saja yang sedikit terlihat lelah.
"Cepek? Sini aku bawain tasnya." Gista meraih tas laptop Arras setelah menyium punggung tangan pria itu sebagaimana biasanya.
"Hari ini mas banyak ketemu klien, ada dua meeting juga," timpal Arras, lengannya merangkul pinggang perempuan yang berjalan sejajar di sampingnya.
"Aku juga hari ini capek banget, Mas. Banyak pasien yang udah nunggu dari dua hari lalu. Tadinya mau ke klinik, tapi keburu capek. Kasian juga Safa di rumah sendirian."
Arras berhenti mengayunkan langkahnya, wajahnya sedikit menunduk mencium pipi sang istri. Menggapit dagu Gista dengan ibu jari dan telunjuknya. Bibir proporsional miliknya menyatu dengan bibir tipis Gista. Hanya satu kali kecupan rasanya tidak mengurangi lelah mereka hari ini. Arras kembali mengecup dan sedikit lumatan menyalurkan rasa keduanya, tetapi kegiatan ini harus terhenti di pertengahan jalan. Gista mendorong dada suaminya, ia sadar bahwa ada anggota baru yang tinggal bersama mereka. Safa berdiri di depan pintu penghubung ruang tengah dan dapur bersih.
"Kak Arras sudah pulang?" Safa menyapa dengan meraih tangan Arras dan menciumnya.
Arras berdeham. "I-iya. Kamu di sini nyaman? Kalau sungkan, biar nanti aku antar ke rumah ibu."
"Nyaman, lah. Orang tadi Safa cerita kalau dia udah akrab sama Mbak Sari. Iya, kan, Fa?"
Gista yang menimpali, perempuan yang lebih muda hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Gista. Ditilik dari gestur tubuh, Safa lebih sungkan berada di depan Arras ketimbang pada Gista.
"Ya udah mas bersih-bersih sana. Udah setengah enam, bentar lagi kita magrib jamaah."
Mendengar kalimat Gista, Safa yang semula menunduk mengangkat kepalanya. "Mbak aku boleh ikut salat jamaah sama kalian?"
Gista mengangguk ragu. "Boleh aja, sih. Nggak ada larangan juga, tapi emang nifas kamu udah beres?"
Mendengar percakapan dua istrinya, Arras memutuskan mengayunkan tungkai ke kamarnya dengan Gista. Namun, baru beberapa langkah istri pertamanya itu kembali memanggil dan mau tak mau harus berhenti. Gista berdiri di hadapannya.
"Mas, nifas itu empat hari kan, ya? Kalau belum empat puluh hari, belum boleh salat?"
Arras memutar kepalanya menoleh ke arah Safa yang mendekati mereka. Dengan nada datar tanpa ekspresi pria itu bertanya, "Emang sudah tidak ada lagi kotoran yang keluar?"
Menelan ludah susah payah, sempat berdeham juga mengusir canggung di tenggorokan, Safa kemudian menjawab, "Udah nggak dari tiga hari lalu, tapi aku belum salat dan mandi. Karena kata orang nifas itu empat puluh hari. Sedangkan aku cuma tiga minggu udah kelar."
"Empat puluh hari itu pada umumnya, bahkan para ulama sahabat nabi, ta'biin, dan generasi Islam setelahnya sepakat bahwasanya perempuan nifas meninggalkan salat itu empat puluh hari."
"Iya, dalam ilmu kedokteran juga umumnya begitu, tapi kadang ada beberapa kasus kurang dari 40 hari udah nggak ada lagi darah nifas yang keluar atau bahkan ada yang lebih dari 40 hari. Itu hukumnya gimana dalam agama kita? Harus nunggu sampai 40 hari, kah, baru mandi wajib?" Lagi-lagi Gista yang bertanya.
"Kapan pun darahnya berhenti, mau itu tujuh hari, sepuluh hari atau lebih dari 40 hari. Maka wajib dihukumi suci dengan mandi besar, tidak mesti di hari ke 40 baru bersuci." Arras menoleh pada Safa yang sejak tadi hanya mendengarkan. "Kamu mandi besar dulu, terus kita jamaah."
Safa mengangguk semangat, senang mendengar penjelasan Arras. Tanpa menunggu lebih lama, perempuan muda itu langsung berbalik badan dan setengah berlari ke kamarnya. Dibanding madu Gista, Safa yang bertingkah seperti ini lebih pantas disebut dengan anak Arras dan Gista.
"Lucu, ya," ujar Gista tiba-tiba.
"Apanya?"
"Dia." Gista menunjuk dengan dagunya ke arah kamar Safa. "Kalau kita nikah muda, aku umur delapan belas, Mas sembilan belas. Mungkin dia jadi teman anak kita. Atau kalau aku nggak mengambil keputusan itu—"
"Masalahnya umur sembilan belas tahun kita belum ketemu," tandas Arras memotong ucapan Gista yang ia tahu ujungnya ke arah mana.
Tanjung Enim, 2 Agustus 2023
RinBee 🐝
Haloooowwww. Apakah ada yang mau disampaikan?
Kalau bosan menunggu cerita ini, kalian bisa kepoin ceritaku yang lain udah tamat. 🤭
Jangan lupa follow ya, Bestie 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top