1 📌 Mimpi Buruk
Sejujurnya kalau boleh berkata, Gista muak dengan sosok yang berdiri di depan teras rumahnya. Namun, Gista hanya bisa menghela napas, melapangkan sabar saat wanita berusia hampir mencapai setengah abad itu datang lagi.
Tidak perlu menerka, Gista sudah khatam apa yang wanita itu inginkan. Apalagi kalau bukan minta uang dengan alasan untuk kebutuhan hidupnya, memaksa Gista untuk menjual satu-satunya peninggalan mendiang ayahnya, yaitu rumah yang ia huni selama belasan tahun.
"Gis, ibu—"
"Aku belum ada uang, Bu. Keperluanku bulan ini banyak."
Belum rampung ucapan sang ibu, Gista sudah memotong. Lagi-lagi Gista hapal apa yang akan ibunya ucapkan. Pun ia juga tahu perdebatan apa yang akan terjadi setelah ini. Setiap kali wanita itu datang, selalu berakhir dengan ibunya yang mengungkit semua yang pernah ia lakukan sebagai seorang ibu. Pantaskah semacam itu dilakukan oleh seorang ibu pada anak kandungnya sendiri?
Wanita itu melangkah masuk, mengikuti ayunan tungkai Gista yang sudah sampai ke ruang tengah. Rencananya setelah sampai rumah, Gista berniat membersihkan diri lalu tidur hingga sore sebelum akhirnya kembali bertugas. Sudah dua bulan ini Gista menjadi dokter internship di sebuah rumah sakit.
"Ibu kan sudah bilang, jual aja rumah ini. Kamu beli rumah yang lebih kecil. Untuk apa tinggal di rumah sebesar ini sendirian."
"Rumah ini peninggalan ayah, banyak kenangan dari rumah ini yang nggak akan bisa aku dapatkan di mana pun." Gista memijat keningnya, kedatangan ibunya lagi-lagi menuntut rumah ini untuk dijual.
"Gis, ibu ini ibu kamu. Sudah sepantasnya kamu membalas jasa ibu." Ibunya berujar dengan kalimat andalannya, yaitu perihal pengorbanan seorang ibu.
Wanita 25 tahun itu menoleh pada sosok yang sudah duduk di sofa. "Balasan jasa seperti apa yang Ibu mau?" Gista tersulut dengan percikan emosi, ia sungguh geram.
Tidak bermaksud lancang, hanya saja seorang anak meniru apa yang orang tuanya lakukan, terutama seorang ibu. Pun sama dengan Gista sekarang, ia meniru apa yang wanita ini sudah perbuat padanya.
"Sombong kamu ya, Gista! Mentang-mentang sekarang sudah jadi dokter. Ingat, aku yang sudah melahirkan dan menyusui kamu! Jasaku tidak akan bisa kamu bayar pakai apa pun." Wanita itu menaikkan nada suaranya, telunjuknya bergerak tajam ke arah wajah Gista.
Benar, jasa seorang ibu tidak akan bisa digantikan dengan apa pun. Namun, ibunya mungkin lupa bahwasanya anak adalah amanat dari Tuhan. Bukan sekadar melahirkan dan menyusui lantas perkara itu selesai begitu saja. Orang tua diberi amanat untuk menjaga, mendidik, dan mungkin menjadi pilar kala anaknya berada di tengah gulita. Sudahkah ibunya menjalankan amanat itu?
"Aku nggak minta dilahirkan, Bu! Kalau bisa milih pun aku nggak mau punya ibu seperti ini. Maaf ... maaf banget kalau aku sudah mengotori rahim Ibu."
Tatapan serupa itu saling menghunus masing-masing. Napas wanita paruh baya itu naik turun sementara Gista menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Kalimat yang paling tidak ingin ia ucapkan keluar begitu saja, setelah sekian lama ia pendam tiap kali sang ibu menyinggung perihal telah melahirkannya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung. Kamu harusnya bersyukur. Ingat, sampai kapan pun aku ini ibu kamu!"
"Ibu?" Gista tertawa sumbang setelah mengucapkan kata singkat itu. "Dari kecil, Ibu nggak pernah mau peduli tentang aku, bahkan Ibu nggak pernah paham karakter anaknya seperti apa. Sekarang aku tanya, itu yang disebut seorang ibu?"
"Ingat, kamu bisa jadi dokter seperti sekarang ini, aku yang membawa kamu ke dunia ini. Kamu nggak tahu gimana sakitnya aku melahirkan kamu. Aku bertaruh nyawa sampai pingsan, tahu nggak!" serunya dengan sombong memukul dada. Lagi-lagi perihal itu yang dia ucapkan.
Akhirnya, butiran bening yang ia tahan jatuh juga dari pelupuk mata Gista. 25 tahun Gista hidup, ia memang punya ibu, tetapi tak ia dapatkan figur seorang ibu yang sesungguhnya. Sejak kecil, Gista sudah diabaikan oleh sang ibu, bahkan apresiasi kecil pun tak pernah ia dapatkan dari wanita itu. Alasannya, karena ia terpaksa menjalani pernikahan dengan sang suami. Lahirnya Gista ia anggap sebagai kesalahan. Lalu ... apakah itu salah anaknya? Apakah pantas Gista mendapat balasan akan itu? Wanita yang dengan lantang menyebutkan perihal pengorbanan saat melahirkannya, tetapi tak pernah perduli jika anaknya tumbuh bersama luka batin hingga dewasa. Dan sekarang justru menuntut peninggalan mendiang suaminya.
Di saat orang tua, terutama ibu di luaran sana bangga akan pencapaian anaknya, tetapi tidak dengan ibunya. Ibu Gista tidak pernah peduli mau ranking berapa ia di sekolah, mau sebanyak apa pun piala dan piagam penghargaan yang Gista bawa pulang. Gista tak menuntut banyak, ia hanya ingin sedikit perhatian dari ibunya. Jangankan memberi perhatian setiap hari, hadir dan terlibat di momen penting sekali seumur hidup Gista saja, wanita itu memilih absen. Saat Gista SMA, ibunya justru memilih untuk hidup di rumah terpisah dengannya.
Menyeka air matanya, Gista kembali berkata, "Ibu nggak tahu, kan? Gimana aku nangis di kamar waktu SD, karena Ibu nggak mau ngambil raportku. Ibu juga nggak tahu, gimana aku nangis di acara wisudaku karena nggak ada Ibu. Ibu lebih mementingkan acara orang lain, ketimbang hadir di acara wisudaku meski aku sudah memohon."
"Nggak usah manja. Cuma gara-gara aku nggak ada di acara wisuda, kamu jadi durhaka seperti ini." Wanita itu bukannya merasa kasihan dengan putri semata wayangnya, ia justru tetap menyalahkan Gista.
Gista mendongak, menatap tanpa ekspresi ke wajah sang ibu. "Bu, sadar nggak, sih? Bukan cuma wisuda Ibu absen. Lima bulan lalu, aku berharap Ibu ada hadir mendampingiku di acara pertunanganku. Ke mana Ibu? Aku kehilangan jalan untuk pulang dan berada di titik rendah, karena kehilangan ayah satu tahun lalu. Aku tanya ... ke mana Ibu?"
Wanita itu berdecih, tersenyum miring dengan tatapan menyimpan sesuatu yang tidak bisa Gista terka. Benar-benar wanita kejam, tak sedikit pun ia perduli atau bahkan iba dengan segala kesakitan yang Gista tuturkan.
"Kamu nggak akan ngerti, Gista. Nanti kamu akan merasakan sendiri gimana jadi seorang ibu. Semoga kelak anak kamu akan seperti kamu juga, biar kamu tahu gimana rasanya jadi aku."
"Nggak! Aku nggak akan jadi kayak Ibu." Gista menolak keras, kepalanya menggeleng ribut.
Ia tidak ingin menjadi seperti ibunya, ia tidak ingin anaknya kelak merasakan luka yang sama akan sosok figur seorang ibu. Gista yakin, ia bisa menjadi ibu terbaik bagi anaknya.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lihat saja nanti, kamu tahu 'kan ucapan ibu itu bisa jadi doa."
"Nggak! Kalau begitu, aku nggak akan punya anak ... daripada anakku sama terlukanya kayak aku." Gista menggeleng keras, seringai ibunya adalah ekspresi terburuk yang pernah ia lihat.
Cerita rakyat Malin Kundang, dikutuk ibunya lantaran durhaka. Apakah ucapan ibunya akan menjadi kutukan juga bagi Gista kelak? Ketakutan itu benar-benar menjalar ke alam bawah sadarnya selama sembilan tahun terakhir. Dahi Gista berkeringat, tangan dan kakinya gemetar, kepalanya menggeleng kuat dengan mata yang tertutup rapat.
"Sayang ... sayang bangun. Hei, kamu mimpi lagi?"
"Nggak!" Mata Gista sontak terbuka lebar.
Pemandangan yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamarnya. Ia memutar kepala ke sebelah kiri, suaminya sudah duduk dengan menggenggam tangannya.
"Ngucap, Sayang. Kamu mimpi buruk lagi?"
"Astagfirullah."
Gista terisak, lagi-lagi mimpi yang sama mengusik tidurnya. Pertemuan terakhirnya dengan sang ibu adalah momen buruk dalam hidupnya. Setelah menuruti keinginan ibunya untuk menjual peninggalan ayahnya, wanita itu tidak pernah lagi mendatangi Gista. Sesekali Gista mengunjungi ibunya, tetapi tetap saja sama—diabaikan.
"Mas, aku nggak mau anak kita nanti kayak gitu."
"Kamu perempuan baik-baik, Sayang. Aku yakin anak kita nanti pasti bangga punya bunda kayak kamu." Arras menenangkan istrinya, usapan lembut menyeka butir keringat di dahi Gista.
Pria 38 tahun itu sangat mencintai Gista, bahkan ia menerima keputusan istrinya untuk childfree dalam pernikahan mereka selama sembilan tahun ini, lantaran ketakutan luka batin yang istrinya alami.
Arras kembali berbaring di samping Gista, memeluk erat wanita itu. Usapan menenangkan di punggung Gista perlahan mengusir gundahnya.
"Ini masih jam satu malem, tidur lagi ayo. Nanti bangun untuk tahajud."
Di dalam dekapan sang suami, Gista kembali memejamkan mata. Mencoba dengan keras menyingkirkan pikiran tentang mimpi buruknya.
"Mas nggak apa-apa kita nggak ada anak. Mas cinta kamu mau bagaimanapun keadaan kamu. Mas janji nggak akan berpaling."
Tanjung Enim, 1 Mei 2023
RinBee 🐝
Haloooowwww... Akhirnya bab perdana publish juga, ya.
Segera masukkan ke library dan reading list ya, Bestie.
Selamat menikmati cerita Arras Gista 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top