Ice Cream
Ven melangkah malas di bawah sinar matahari sore, tangan kanannya menggenggam stik es krim yang hampir mencair. Sekilas dia melihat seorang lelaki duduk di halte bus, menangis tersedu-sedu. Tergerak oleh rasa kasihan, Ven memutuskan untuk mendekat.
Lelaki itu tampak lebih muda darinya, dengan rambut berantakan dan mata yang merah. Ven berhenti beberapa langkah di depannya, berdebar kencang. “Maaf, aku gak sengaja liat kamu nangis. Nih, aku punya es krim, kali aja bisa bikin kamu ngerasa lebih baik," tawarnya seraya mengangkat es krimnya dengan ragu.
Lelaki itu menatapnya dengan bingung, lalu perlahan-lahan menerima es krim pemberian gadis berambut pendek yang sekarang berdiri cukup dekat di hadapannya. “Terima kasih. Aku tidak tahu harus bagaimana,” katanya sambil mengusap air mata dari pipinya.
Ven duduk di sampingnya, merasakan dingin es krim mulai menyentuh jemarinya. “Kadang-kadang emang butuh nangis juga buat meluapkan emosi dalam dada. Gapapa. Aku Ven, dan kamu?”
“Tim,” jawab lelaki itu, mengalihkan pandangannya ke es krim di tangannya. Dia menyuapkan sedikit ke mulutnya, dan tampak seperti dia baru saja menyadari betapa enaknya rasa manis dari makanan dingin itu.
Ven tersenyum tipis. “Kalau kamu gak keberatan, aku pengen tau apa yang bikin kamu sampai nangis begini. Siapa tau bisa bantu."
Tim terdiam sejenak, seakan berjuang untuk menemukan kata-kata. “Aku baru saja putus dengan pacarku. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh.”
Ven mengangguk, mengerti perasaan itu meski belum pernah mengalami hal yang sama. “Putus cinta emang menyakitkan tapi kadang-kadang kita harus ngerasain sakit itu dulu untuk menemukan kebahagiaan lainnya yang lebih baik di masa depan. Terusin aja dulu nangisnya, tapi jangan kelamaan biar gak lupa buat move on."
Tim menghela napas panjang. “Kamu benar. Aku hanya merasa sangat kesepian sekarang.”
Ven mengeluarkan ponselnya dan memutar musik lembut. “Ini lagu favorit aku. Biasanya kalau mood lagi buruk, aku suka dengerin ini buat bantu ngerasa lebih baik. Kamu mau coba dengerin?"
Anggukan Tim menjadi satu-satunya jawaban yang Ven terima. Dia kemudian menyisipkan sebelah dari earphone-nya ke satu telinga Tim. Lantas Ven memutar musik yang dia maksud sembari keduanya duduk berdampingan menikmati alunan musik yang terputar.
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati musik dan dingin es krim. Tim mulai tersenyum tipis, seolah-olah rasa manis di lidahnya tidak hanya berasal dari es krim, tapi juga dari kehangatan kebaikan Ven. “Terima kasih, Ven. Aku merasa lebih baik sekarang.”
Ven tersenyum bahagia. “Baguslah, aku senang kalau sedikit ngebantu. Kalau kapan-kapan kamu butuh teman, bisa cari aku aja biar gak kesepian. Malu lah kalau nangis di pinggir jalan kayak gini lagi."
Tim tergelak sedikit lantas meraih ponsel Ven dan mengetikkan nomor ponselnya. Dia menelpon nomornya sendiri agar Ven bisa mengetahui dan menyimpan pada kontaknya. Kemudian saat bus tiba, Tim berdiri dan memandang Ven dengan lembut. "Kau benar-benar baik hati. Aku tidak akan lupa tentang hari ini.”
Ven mengangguk. “Semoga hari-harimu ke depannya lebih cerah, Tim.”
Dengan itu, mereka berpisah di halte bus, masing-masing membawa sedikit rasa manis dari pertemuan singkat keduanya. Meski berbeda arah pulang, tetapi keduanya yakin bahwa ini tidak akan menjadi pertemuan terakhir. Mereka akan membuat pertemuan-pertemuan berikutnya.
.
.
A/N : Tadinya mau bikin Ven nangis terus disamperin Tim tapi seketika ingat kalau karakter Tim lebih cocok buat nangis dan Ven yang ngedeketin. Kalau dengan usia Tim sekarang 19, Ven 22, aku selalu bikin narasi di mana Tim emang lebih muda. So, kalau mau request usia juga bowlyeh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top