1. He is here

SUASANA di Barra Cafe hari ini terlalu ramai. Orang-orang perkantoran, mahasiswa kuliah, atau bahkan para pasangan memilih untuk menghabiskan waktu di sini. Sakura mengikat longgar helaian rambutnya hingga beberapa anak rambut masih terjatuh di tengkuknya. Membenarkan letak tanda pengenal di baju seragamnya dan mengambil beberapa piring pesanan pelanggan. "Meja nomor tujuh," gumam Sakura, melihat note kecil di atas piring dan berjalan ke meja yang berada di dekat jendela. Ia tersenyum ramah. "Maaf, pesanan meja nomor tujuh."

Gadis manis dengan jepitan rambut strawberry di kepalanya itu menoleh, terlihat malu-malu di hadapan pemuda yang berada di hadapannya. Pasangan muda-mudi yang tengah dimabuk asmara. "Terima kasih." Ia menjawab.

Sakura mengangguk, mengucapkan terima kasih kembali dan segera pergi ke dapur untuk mengambil pesanan yang lain. Beserta beberapa pelanggan yang meneriakan pada pelayan, membutuhkan pesanan tambahan atau hanya untuk membersihkan meja yang kotor.

Hari yang panjang untuk terus mencari dolar.

Hingga beberapa waktu kemudian, suara dentingan pecahan kaca terdengar di salah satu sudut ruangan, disusul dengan suara seorang wanita yang berteriak marah.

"Astaga! Apa ini? Bagaimana bisa mereka mempekerjakan karyawan yang seperti ini?" teriaknya seraya menunjuk celananya yang kotor akibat tumpahan kopi. Wajah wanita itu memerah menahan panas akibat air kopi dan amarah. "Sial! Hariku benar-benar buruk!"

Pelayan dengan tanda pengenal Izaya itu gemetar, terus menunduk dan bergumam kata maaf berulang-ulang. Namun hal tersebut hanya membuat wanita itu semakin kesal. "Kau! Kau tahu berapa harga celana ini, huh?"

Sakura menoleh, menatap kekacauan di seberang sana dan mendekat. Berdiri di hadapan Izaya dengan raut wajah penuh sesal. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan anda, Nona. Kami benar-benar minta maaf atas kecerobohan karyawan Barra Cafe. Kami akan lebih berhati-hati."

Melihat wanita yang berdiri di hadapannya lebih pandai dalam menguasai diri. Wanita itu menggeram, menatap sekeliling Cafe yang kini berbalik arah menatap aneh ke arahnya. Ia mendecih, meraih tas miliknya dan segera pergi dari sana.

"Terima kasih, Sakura." cicit Izaya. "Kurenai mungkin akan memarahiku karena hal ini."

"Bukan salahmu, bocah-bocah kecil yang berlarian tadi yang membuatmu gagal untuk menghindar. Aku akan bantu bicara jika halnya Kurenai mengamuk padamu nanti." bisik Sakura, mengambil lap basah di dalam celemeknya dan berjalan menuju sisi lain. Meninggalkan Izaya yang menghela napas lega dalam diam.

.

.

.

Ruangan itu terlalu luas jika halnya hanya ditempati oleh satu orang. Tapi bagi para bangsawan, tempat tersebut adalah yang terburuk. Tidak terkecuali bagi sosok dingin yang terbaring tak bergeming di atas ranjang yang bersih. Ranjang tersebut tidak kusut, seolah tidak pernah ada satu pun orang yang merangkak naik ke atas sana.

Kedua matanya terpejam anggun. Dadanya tak bergerak seakan tidak bernapas. Kulit wajahnya terlalu putih seperti tidak ada darah yang mengalir di dalamnya. Sosok tersebut tinggi dan ramping, wajahnya tampan dan menawan, perawakan yang sangat indah untuk ditatap, tetapi sangat berbahaya untuk didekati.

Seekor burung hitam terbang, masuk ke dalam jendela yang terbuka dan diam di atas meja dekat ranjang. Menatap sosok tersebut seakan ia mempunyai akal pikiran. Namun tak lama, di sekitar burung tersebut muncul asap hitam, yang mana perlahan merubah wujud menjadi seorang pria dengan helaian rambut kuning keemasan.

"Yang Mulia," bisik pria itu pelan, seakan takut membangunkan yang berada di atas ranjang jika ia berucap terlalu keras. "Waktunya telah tiba."

Suasana terlalu hening, sangat menakutkan jika halnya manusia ada yang berani masuk ke dalam lingkungan mereka saat ini.

Terlebih, ketika sosok agung tersebut membuka kedua matanya, sangat hati-hati seakan sinar bulan yang mengintip di balik kaca jendela akan membutakan penglihatannya.

Kedua bola mata itu berwarna merah, pekat seperti darah dengan beberapa titik hitam di dalamnya. Berkilau di bawah pantulan cahaya malam, menyala dalam kegelapan.

"Naruto."

Pria itu semakin membawa turun pandangan matanya, tak berani meski hanya untuk beradu pandang dengan petinggi mereka. Nada suara itu dalam dan tenang, sudah lama ia tidak mendengar suara dengan irama mutlak seperti sosok tersebut. Sudah terlalu lama  ia tertidur ...

"Ya, Yang Mulia."

... dan saat ini raja mereka bangkit dari masa hukumannya.

Ia bangkit terduduk, menatap jauh ke atas menantang rembulan. Ketika ia membuka mulut, terlihat taring panjang di dalam sana, memberi peringatan bahwa ia bukanlah sosok yang ramah untuk didekati. "Berapa lama?"

Naruto mendongak, menatap bagian belakang sang raja dan menjawab dengan mantap. "Tujuh ratus lima puluh tahun, Yang Mulia."

Cukup singkat bagi para vampir, tapi waktu yang sangat mustahil bagi para manusia.

Taringnya semakin memanjang, ia tersenyum dalam diam tanpa berniat untuk berdiri dari atas ranjang. Kelopak matanya berkilat tajam, berharap ada sesuatu yang menarik saat ia terbangun.

Karena Sasuke Uchiha, tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

.

.

.

"Badanku pegal, kenapa Barra akhir-akhir ini ramai pembeli?" gerutu Ino, memijat otot bahunya yang seolah akan terlepas. Seluruh badannya berdenyut, seakan berteriak pada Ino bahwa mereka butuh dimanja dengan pijatan relaksasi. "Beruntung hari ini kita mendapat middle shift, aku tidak tahu akan seramai apa Barra pada malam hari ini."

"Yeah, rasanya aku ingin sampai rumah tanpa berjalan dan naik kendaraan umum," Sakura mengambil tas selempangnya, memastikan tidak ada benda tertinggal di dalam loker kerja dan menatap Ino yang tengah memejamkan matanya. "Aku harus membeli makanan di minimarket, isi kulkasku mulai kosong. Kau ikut?"

Ino menggeleng dalam gelap. "Tidak, kurasa. Teman sekolah lamaku akan menginap, jadi mungkin aku harus pulang cepat."

Sakura berkedip sekilas, memberikan gantungan kunci berbentuk boneka pinguin pada Ino hingga wanita itu membuka mata, dan menoleh padanya dengan tanya. "Itu hadiah dari Kenji. Aku benci pinguin."

"Oh, lagi-lagi hadiah dari pemuda yang mengagumimu? Luar biasa, berapa banyak hadiah yang sama dalam satu hari ini?"

"Tidak ada?" Sakura tertawa melihat ekspresi Ino berubah jengkel. Keduanya keluar dari dalam loker karyawan, melambai pada kasir dan beberapa teman satu profesinya yang masih bekerja hingga malam nanti. "Kami duluan." ujar Sakura, membuka pintu Cafe dan berpisah dengan Ino di persimpangan jalan.

Sakura melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan malam lebih lima. Waktu yang cukup padat bagi warga kota Tokyo. Sakura yakin bahwa bus yang akan ia tumpangi nanti akan penuh dan sesak.

Ia menghela napas kecil, meraih ponselnya dan melihat satu pesan masuk dari Sasori dua puluh menit yang lalu.

'Kau sudah pulang? Mau kujemput?'

Senyumnya terbit, ia membalas pesan tersebut dengan cepat dan mengirimnya.

'Tidak usah, ini sudah malam dan sepertinya akan turun hujan. Jaga dirimu dan jangan tidur terlalu larut. Aku sudah berada di perjalanan pulang.'

Sakura kembali memasukkan ponselnya, menyeberangi jalan raya dan mampir ke salah satu minimarket dekat Cafe. Ia mengusap telapak tangannya, mengambil keranjang belanja dan berkeliling untuk mencari stok bahan makanan di rumahnya.

Ia dan Sasori berhubungan cukup lama. Namun Sakura masih enggan jika halnya pria itu menyinggung tentang pernikahan atau ikatan yang berhubungan dengan hal tersebut. Ia masih ingin menikmati masa muda, usia dua puluh dua bukanlah target Sakura untuk menikah dan berumah tangga.

Namun beruntungnya, Sasori tidak pernah keras kepala atau memaksa Sakura untuk terikat serius bersamanya. Pria itu sama, masih menikmati masa-masa muda seperti dirinya.

"Kembaliannya, Nona." ujar si penjaga minimarket dengan senyuman.

Sakura mengangguk, membawa kantong plastik di tangannya dan melangkah keluar. Langit malam ini sangat tidak bagus, ia akan menumpahkan air alamnya sesaat lagi dan Sakura benci hujan ketika ia tidak membawa payung.

Sakura berjalan setengah berlari, berharap ia akan sampai di halte bus tepat waktu. Namun langkah kakinya terhenti, ketika netra hijaunya menatap sesuatu yang terang di antara sela-sela sempit pertokoan.

Berwarna merah darah, tetapi redup dan samar-samar.

Sakura mematung, ia mengusap kelopak matanya sejenak untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Benda itu masih berada di sana, diam tak bergerak dan seakan balik menatap Sakura. Sakura terkesiap lantas kembali berlari. Meninggalkan sesuatu yang berada di sela pertokoan itu tersenyum dingin.

Ia menemukannya.

.

.

.

Ia sampai disaat hujan turun dengan deras. Sakura terengah-engah akibat berlari dari pemberhentian bus menuju rumahnya. Sial, ia menjadi sangat takut dengan hujan tanpa payung.

Sakura melepas sepatunya, menyimpan benda tersebut di antara rak dan berjalan masuk mengenakan sandal rumah. Hanya lampu ruang tengah dan kamarnya yang menyala, ia memang sengaja tidak menyalakan beberapa dari mereka, tagihan listrik akhir-akhir ini meningkat pesat dan ia harus berhemat.

Kantong plastik belanjaannya ia simpan di dapur. Tidak ada bahan-bahan yang terancam busuk di sana seperti buah atau sayuran, jadi Sakura bisa membereskannya besok pagi. Tubuhnya lelah, ia ingin mandi dan segera tidur, berharap besok Barra Cafe tidak terlalu ramai seperti hari ini.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Sakura duduk di tepi ranjang, memainkan ponselnya untuk mengabari pesan Sasori bahwa ia sudah sampai di rumah sebelum hujan turun. Kekasihnya menjawab dengan cepat, dan mengakhiri obrolan dengan pesan selamat tidur.

Berniat untuk menyimpan ponsel dan tidur, Sakura kembali melihat hal yang sama seperti saat ia keluar dari Cafe. Namun kali ini bukan hanya titik merah dari kejauhan, tetapi sosok pria yang berdiri dalam diam di samping pintu kamarnya. Jantung Sakura bekerja lebih cepat, sejak kapan sosok itu berada di sana?

"Kau? Siapa kau?!" Sakura berteriak marah dan takut. Ia membuka laci mejanya, mengambil semprotan cabai di dalam sana dan mengarahkannya pada sosok tersebut. Tangannya gemetar hebat, terlebih ketika pria itu sama sekali tidak bergeming, seakan menganggap bahwa kepanikan Sakura tidak ada artinya. "Apa yang kau—"

Ucapannya menggantung di udara. Tubuh Sakura seketika kaku untuk bergerak saat pria itu mulai mengangkat punggungnya dari sana, berjalan sangat pelan ke arah Sakura yang membatu. Kenapa? Ada apa dengan tubuhnya? Mengapa disaat kedua bola mata merah itu terarah padanya, Sakura menjadi tidak berdaya?

Apa ini?

Pria itu bergumam, mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah halus wanita di hadapannya. Ia berkedip lambat, bulu matanya panjang dan indah, wajahnya putih pucat dan terlalu tampan untuk ukuran manusia normal. Pria itu menundukkan wajahnya, menghirup wangi di depan bibir Sakura yang terbuka. "Kau bisa melihatku."

Itu tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Suara pria ini menyesatkan, Sakura akan tenggelam sesaat lagi jika ia tidak segera melarikan diri. "Lepas," Sakura merengek. "Jauhkan tanganmu dari wajahku."

Salah satu alis rapi pria ini terangkat naik, seakan menantang Sakura yang tak berdaya tetapi berusaha untuk melawan. "Kenapa?"

Sakura tersentak saat bibir dingin pria itu tenggelam dalam bibirnya, bergerak pada irama yang indah tetapi menakutkan. Pria itu meraih tangannya yang memegangi semprotan cabai, menurunkannya dan menggenggam telapak tangan Sakura di antara tangannya yang sedingin es.

Tatapan matanya semakin menyala. Pria itu membuka mulut, dan Sakura bisa melihat dengan jelas gigi taring yang berada di dalam sana. Setetes air mata jatuh, melewati pipinya yang mulai pucat karena ketakutan.

Terlebih ketika wajah pria itu berpindah tempat menuju perpotongan lehernya, dan selanjutnya yang Sakura rasakan adalah sesuatu yang tajam menyentuh kulitnya. Sakura membuka mulut, ia takut, sangat takut.

"Jangan ..." bisik Sakura gemetar hebat. "... tolong."

.

.

.

To be continued...

A/n: next atau engga? 80+ comments bagian 2nya aku up cepet wkwk, serius, gaboong. Karena part 2nya udah beres haha

Maap kalo aneh ya, udah lama ga nulis fantasy.

Buat cerita yg lain, aku update sesuai mood nulis. Jadi sabar ya. Pasti dilanjut kok, chaww

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top