Bagian 7 : Saling mengerti
"Kalian akan pergi?" tanya Nenek Kie menatap pasangan itu,
"Terimakasih atas bantuannya Nenek, kami akan pergi ke desa Hun. Bojing tengah berbisnis disana," pamit Jiao,
"Hati-hati nak. Bawa ini buka saat tak ada orang, tentu setelah kau sampai didesa," ujar Kie memberikan sebuah bungkusan yang dibalut kain biru.
"Apa ini?"
"Sesuatu yang bisa membantumu, pergilah."
Jiao membungkuk pamit bersama Bojing, keduanya berjalan beriringan.
.
"Apa itu?" tanya Bojing penasaran,
"Entahlah aku belum tahu isinya, Nenek Kie bisa bilang dibukanya saat sendiri," jawab Jiao yang juga sama penasarannya.
Bojing mengangguk mengerti, perlahan dia menggenggam tangan Jiao, berjalan keluar lembah.
.
Sedangkan Nenek Kie langsung masuk kedalam rumah setelah memastikan keduanya pergi.
"Misiku telah selesai Yuan Jiao, sekarang tinggal terserah pada keputusan Yang Jiao," ujar Kie,
Tubuhnya tiba-tiba bersinar dan perlahan menghilang entah kemana.
.
.
.
Disisi lain, Wen sudah satu malam ini tak tidur, rasa lelah dan kantuk tak dia rasakan, yang ada sekarang ini hanyalah rasa cemas pada adik dan panglima kerajaannya.
"Yang Mulia, istirahatlah barang sebentar, setelah itu kita bisa mencari Panglima dan Tuan putri kembali," ujar salah satu prajurit menunduk takut akan kelancangannya,
"Tidak. Sebelum keduanya ditemukan aku akan tetap mencari,"
Wen mulai melarikan lagi kudanya, menelusuri tiap pelosok desa,
"Yang Mulia, ada saksi mengatakan jika dia melihat Panglima Bojing keluar desa," seru prajurit dari arah belakang,
Wen menghentikan kudanya, "Semuanya kita pergi keluar desa dan cari Panglima Bojing," perintah Wen,
"Ya Pangeran kedua,"
.
Pangeran dengan prestasi militer terbaik itu semakin khawatir, diluar desa banyak bandit dan jika Bojing keluar desa untuk mencari Jiao, itu berarti adiknya belum memasuki desa dan itu lebih bahaya. Bagaimana jika Jiao sudah bertemu bandit? Jangan-jangan Jiao diculik dan sekarang Bojing tengah mengejar para bandit itu.
Ahh fikirannya kacau sekarang.
"Yang Mulia itu kuda milik Panglima," tunjuk prajurit pada kuda yang ada dipinggir hutan,
"Kakak kedua," panggil seseorang dari dekat kuda,
"Jiao, Bojing," seru Wen dengan nada khawatir, marah, kesal, campur aduk.
Prajurit langsung memberi hormat pada Jiao setelah itu memburu Bojing yang bahunya masih terluka.
PLAK.
Jiao hanya bisa memejamkan matanya saat rasa sakit menjalar dipipinya.
"Apa kau bodoh? Keluar Istana tanpa penjagaan, terlebih ke desa yang penuh dengan masalah? Kau ingin membuat Ayahanda maupun Ibunda semakin khawatir. Jangan membuat masalah, Bojing pasti kembali, apa kau tak percaya akan kemampuannya menjaga diri? Jika kau menyusulnya yang ada hanya menyusahkan. Lihat bahu Bojing, aku yakin dia terluka karenamu."
"Maaf..."
"Jangan membuat kami khawatir, tak tahukan kau bahwa kami sangat menyayangimu." bisik Wen memeluk adiknya,
"Emmm.. maaf." ujar Jiao mengangguk, dan membalas pelukan sang kakak.
.
.
.
"Apa kita akan pulang? Bojing masih terluka, jika menjalankan misi yang diembannya aku khawatir." tanya Jiao setelah sampai dipenginapan yang disewa Bojing,
"Kita akan bermalam disini, dan pulang bersama Bojing, misi yang diemban Bojing sudah diselesaikan oleh orangku, jangan khawatir." jawab Wen mengelus kepala adiknya,
"Dan kau bilang tadi jika kalian ditolong oleh seorang nenek bernama Kie?"
Jiao mengangguk.
"Tapi setahuku tak ada orang yang tinggal didalam hutan bahkan lembah itu, karena terkenal hewan buasnya."
Gadis itu mengeratkan pegangannya pada bungkusan yang dia sembunyikan dibalik bajunya. Entah kenapa dia merasa jika pemberian nenek Kie jangan sampai ada yang tahu,
"Lalu siapa yang menolong kami? Hantu? Aku tak percaya akan adanya hantu."
"Sudahlah, jangan bahas hal itu lagi, sekarang yang perlu kau lakukan istirahat. Karena tak ada kamar lain berbaringlah didekatku, aku akan menjagamu."
.
.
Lei Shun menatap para bawahannya yang datang melapor.
"Jiao menyusul Bojing? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" tanya shun,
"Panglima Bojing terluka dan sekarang Tuan putri dijaga oleh Pangeran Wen,"
"Lalu bagaimana markas kita didesa itu?"
"Hancur, bahkan dokumenpun sudah dibawa oleh Pangeran Wen."
"Orang-orang kita apa ada yang selamat?"
"Sayangnya tidak."
Shun mengeratkan kepalan tangannya menahan amarah.
"Banar-benar anjing yang terlatih Pangeran kedua itu, pergerakannya selalu cepat. Jika dia menginginkan tahta padahal itu hal mudah." ujar Shun.
.
.
.
"Jiao..."
Jiao yang kini sudah sampai dikerajaan bahkan berganti baju dengan hanfu kebesarannya hanya menunduk takut,
"Ini ketiga kalinya kau keluar istana diam-diam, bahkan kali ini sangat fatal. Kau benar-benar ingin membuat hambamu dihukum cambuk karena tak bisa menjagamu?" tanya Wei Sheng dengan nada dalam,
"Ayahanda boleh menghukumku tapi tidak dengan para dayang, kumohon." pinta Jiao dengan nada ketakutan,
Wei Sheng turun dari kursi tahtanya, berjalan menuju tempat putrinya yang tengah ber-kowtow,
"Bangun."
Gadis itu perlahan bangun dengan kaki bergetar. Ahh sial, jika dia sedang shooting aktingnya kali ini benar-benar patut diacungi jempol. Masalanya dia sekarang ini tak berakting, dia benar-benar takut sekarang ini.
GREP.
"Untung saja kau tak apa-apa, tak terluka. Tak tahukah betapa aku mengkhawatirkamu Jiao? Ibundamu, kakakmu, adikmu, mereka mengkhawatirkanmu. Jangan melakukan itu lagi," Wei Sheng memeluk putrinya merasa bersyukur,
"Ayahanda..."
"Karena itu, kau akan diberi hukuman untuk tak keluar kediamanmu." putus Wei Sheng,
"Lalu bagaimana jika aku ingin bertemu Bojing?" tanya Jiao,
"Bojing satu minggu sekali akan berkunjung, dan jangan membantah lagi atau para hambamu yang terkena masalah." ancam Wei Sheng, membuat Jiao mengatupkan mulutnya kembali tak jadi protes.
.
.
"Terimakasih sudah menjaga adikku Bojing." ujar Huang menatap Bojing yang terbaring setelah diobati tabib istana,
"Sudah jadi kewajibanku melindunginya,"
"Katakan Bojing, apa kau masih membenci adikku?" tanya Huang serius,
Bojing menatap Huang terkejut dan tersenyum kecil, "Jadi kau tahu?" Bojing balik bertanya,
"Tentu tahu, adikku egois dan Ayahanda selalu memanjakannya dan mengabulkan permintaannya, salah satunya bertunangan denganmu, terlebih kita teman masa kecil tentu aku juga tahu masalah Mei Rong. Jadi katakan, kau membenci Jiao?"
Pria itu menggeleng dan tersenyum kecil, "Entah kenapa aku tak lagi membencinya, sifatnya setelah kehilangan ingatannya entah kenapa mengingatkanku pada Mei Rong, tapi juga berbeda. Menurutmu aneh tidak jika aku mengatakan Jiao yang ini bukanlah Jiao yang kukenal dulu. Mereka orang yang berbeda,"
"Kau juga merasa begitu? Apa karena terbentur sifatnya jadi seperti itu? Kadang dia barbar seperti tak terdidik, bahkan berani keluar istana meski Ayahanda selalu memarahinya."
Keduanya termenung, mengembangkan hal yang mungkin kenapa Jiao terlihat berbeda.
.
.
.
Disisi lain, Jiao duduk termenung karena hukuman ayahnya.
"Ahh benar, bungkusan dari Nenek Kie," ujar Jiao mengambil bungkusan kain yang dia sembunyikan.
"I-ini..." Jiao membelalakan matanya saat melihat isi dari kain itu,
Disana tertera 'BUKU SEJARAH KERAJAAN YUAN' yang sudah lusuh, buku sejarah yang tak harus ada dizaman ini, buku ini harusnya ada dizamannya, lihat saja tahun cetaknya, dan bagaimana bisa nenek penghuni lembah itu memiliki buku ini dan kenapa juga kertasnya terlihat sudah termakan usia ini.
"Ba-bagaimana bi-bisa? Ti-tidak mungkin.. tidak, tidak. Semua mungkin buktinya aku juga terlempar ke masa ini, aku harus bertemu kembali dengan nenek Kie," gumam Jiao masih dengan rasa terkejutnya.
Perlahan dia membuka buku itu, dan mencari nama Bojing didaftar isi,
"Bagian Bojing dan Yuan Jiao banyak yang hilang, bagaimana Bojing mati, maupun Yuan Jiao mati. Apa ini disengaja?"
Dia melihat lagi bagian sejarah ayahnya, "Ayahanda ternyata hidup sampai tua bersama Ibunda, Kakak pertama juga akhirnya naik tahta. Syukurlah tak perlu ada yang dikhawatirkan," ujar Jiao tersenyum tenang,
Namun ada yang menganjal, apalagi jika lembaran bagian Bojing dan dirinya sebagian hilang. Tak akan ada masalah serius bukan? Dan bagaimana bisa dia melupakan pelajaran sejarah saat dibutuhkan?
"Semua tak akan ada masalah bukan? Tapi untuk memastikan sepertinya aku harus menemui nenek Kie, dan masalahnya bagaimana aku keluar dari sini dan membuat alasan yang logis agar diizinkan keluar istana, dan juga bagaimana caranya agar perintah pengurunganku disini dicabut Ayahanda?" gumam Jiao mengigit ujung kukunya, kebiasaannya jika gelisah dan memilirkan sesuatu.
"Ahh benar. Ibunda..." ujarnya saat terlitas sseorang yang dapat membantunya,
"Baiklah, aku harus mempersiapkan sesuatu. Nenek Kie tunggu aku. Aku pasti akan menemukan jawabanku kenapa aku bisa tertarik ke zaman ini."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top