TR*8
-PRILLYTHA-
"Pie?"
"L...Lie?"
Tabrakan maut didepan dapur membuat jantungku seperti bergentayangan. Tak jelas detakan atau pukulan didalamnya. Apalagi dekapannya saat membekap mulutku yang sempat menjerit karna kaget membuatku terkurung pada kehangatan tubuhnya. Aku melepaskan tangannya dan melepaskan diriku lalu memegang dada sambil menatap mahluk didepanku.
Haihhh. Dia nggak pakai baju pula. Mana kaosnya? Kenapa dilepas? Mampuslah aku! Sedari tadi saat didalam kamar ketika aku keluar dari kamar mandi, keadaan jantungku sudah tidak normal. Bukan cuma jengah dikuliti mata seseorang yang sudah pernah melihat seluruh bagian tubuhku tanpa sehelai benangpun, tetapi juga saat mataku menabrak matanya yang ada pikiranku jadi menerawang saat diterjang dan dikurung dalam hasrat yang membara. Aku menyandarkan tubuhku dipintu kamar mandi sambil meminta Bie mengambilkan baju ganti dengan dada yang berdebar.
Aish. Otakku kenapa jadi begini?
"Pie..."
Aku memalingkan wajahku dan melangkah menuju kitchen set dan menarik handle laci dimana terdapat susunan gelas disana. Sebutannya membuat jantungku sedari tadi tak netral-netral detakannya. Bahkan aku sempat membalas memanggil nama kecilnya meskipun tergagap. Lie. Panggilanku padanya.
Apalah arti sebuah nama? Meskipun artinya Lie itu kebohongan tapi tetap saja terdengar manis. Namanya juga panggilan tak menyadari apa artinya. Yang penting manis aja. Kebetulan saja ternyata dia jadi pembohong gara-gara ketahuan ada tiket pesawat yang membuka rahasia perjalanannya dengan yang lain. Meskipun dia katakan itu rombongan, tapi aku tak bisa begitu saja percaya. Otakku sudah dipenuhi rasa curiga dan cemburu juga marah. Main-main dengan sikap, sama saja mengundang duri didalam daging.
Ketidakjujuran kecil akan mengundang bahaya yang besar. Aku merasa marah kini. Dan tidak menyalahkan nama Lie. Karna kebohongan bisa saja dilakukan oleh orang yang namanya sudah baik bahkan oleh orang baik seperti Ustad sekalipun. Pada akhirnya benar, apalah artinya sebuah nama?
Aku membuka kulkas dan mengambil air didalam botol lalu langsung meneguknya tanpa menumpahkan kedalam gelas yang ada ditanganku. Oon. Aku grogi. Apalagi dari sudut mataku aku melihat dia menatapku tanpa kedip. Duh.
"Itu botol bekas bibirku....."
Uhukkkkk....
Haishhh. Aku tersedak. Dan air didalam mulutku menyembur memerciki dadanya. Aduhh, rasanya hidungku sakit karna ada air melesak disana. Aku masih terbatuk-batuk menaruh botol diatas mini bar didekat kami.
"Maaf...."
Tangannya mengusap tengkukku. Haihh aku jadi merinding. Tapi batuk membuatku lebih fokus memegang dada bergantian dengan mulutku. Mataku terasa berair. Hidungku sakit sampai kekepala rasanya. Kenapa cuma gara-gara botol bekas bibirnya aku jadi tersedak? Mungkin karena mendengar satu botol untuk bersama aku jadi teringat rasa bibirnya. Uhggg.
"Makasih...." aku sedikit menghindar ketika tangannya menyisil hidungku yang berair lalu menyisih rambut dan menyeka airmataku yang keluar karna tersedak. Sumpah demi apa, tangannya terasa gemetar seperti lututku yang rasanya bergetar.
Aku melirik dadanya yang basah. Kenapa tidak mengeringkan dadanya saja sih? Jangan pedulikan aku. Kalau dadanya basah begitu teringat saat selesai mandikan jadinya. Apalagi rambutnya terlihat basah seperti habis disiram air meskipun tidak seperti keramas. Mampus, aku menelan air liurku. Tanganku ingin menyentuhnya, apa rasanya masih sama? Ah, otak gesrekku, pergilahhh!
Aku meraih gelas dan botol air dingin yang aku taruh di minibar tadi lalu ingin segera berlalu.
"Kak Awi bilang, tolong jangan sakiti anak-anak, buat mereka bahagia..."
Aku menghentikan langkahku. Jangan sakiti? Buat bahagia? Itukah pesan kak Awi sebelum meninggal yang ingin dia katakan saat dipemakaman? Tadi siang memang dia tidak sempat mengatakannya. Karna keadaannya tidak mendukung. Prosesi pemakaman sedang berlangsung diiringi doa jadi kami ikut khusuk mengikutinya.
"Pie....?"
"Aku akan membuat mereka senang dengan caraku!" ucapku pelan.
Aku berlalu dengan langkah lebar meninggalkannya. Meninggalkan seseorang yang masih ada didalam hati tapi juga terasa ada benci disana. Lie. Pembohong!
»»»»»
"Lama banget mi ngambil minumnya?"
"Masa sih? Perasaan umi tadi umi ngambil air trus minum sedikit langsung kesini..." elakku pada Qie yang terbangun dan meminta minum karna kehausan.
Aku sudah tak melihatnya saat membuka mata. Yang ada hanya aku, Bie dan Qie. Akupun terbangun karna Qie mencari abinya lalu mengatakan kalau dia kehausan dan aku berniat mengambilkannya. Mencari abi? Aku sampai lupa mengatakannya. Tapi kenapa juga harus mengatakannya? Supaya dia kembali lagi tidur disini bersama kami? Meretas kerinduan yang telah lama diharapkan anak-anak dan menyenangkan mereka. Begitukah cara membahagiakan anak-anak?
"Abi?"
"Abi lagi diluar."
"Panggilin mi!"
"Nanti juga kesini sayang, abi tadi minum, kehausan seperti Qie, Qie tidur lagi saja ya..."
Mungkin karna mengantuk Qie patuh dan memejamkan mata dipelukanku menggantikan abinya yang tadi digantikan guling untuk menghalangi karna dia ada dipinggir. Aku ikut memejamkan mata.
Tubuhku terbaring miring memeluk Qie dan membelakangi pintu saat terdengar pintu terbuka meskipun pelan. Langkah pelan dan mendekatpun cukup terasa membuat jantungku berdebar. Siapa? Apakah dia? Aku sedang menebak atau sedang berharap? Aku menutup rapat mataku.
Kurasakan sentuhan tangan dikepalaku. Terasa juga ketika dia menunduk mencium Qie dagunya tersentuh kepalaku. Sepertinya dia mencium Bie hingga aku merasakn bayangannya diatas kepalaku. Aku dapat jatah kecupankah? Apa aku berharap lagi? Tidak, aku cuma sedang bertanya. Apa hatiku sepertinya sedang berbohong?
"Selamat tengah malam, Bie, Qie dan kamu Pie!"
Aku hanya mendapat sentuhan tangan dikepala. Dan aku menghela napas setelahnya lalu menelentangkan tubuhku ketika terdengar pintu ditutup kembali.
"Selamat tengah malam, Lie!"
»»»»»
"Kak Awi bilang, tolong jangan sakiti anak-anak, buat mereka bahagia..."
Kak Alia mengulang ucapan kak Awi setelah tadi malam aku mendengarnya dari dia. Memang aku sempat memikirkan apa pesannya itu. 'Jangan menyakiti' dan 'buat bahagia' pesan itu sarat makna.
"Kamu sudah punya calon ya Pi?"
"Calon?"
Aku mulai memahami kemana arah pembicaraan kak Alia. Bicara masalah calon, sebenarnya belum ada yang pasti. Selama ini ada beberapa teman dekat atau yang mendekati tetapi aku tak terlalu memikirkan mau dibawa kemana? Buatku sebenarnya aku tak punya waktu memikirkan oranglain karna aku lebih memikirkan nasib anak-anak. Hanya anak-anak? Mungkin ada abinya dipikiranku, sedikit, tapi aku akan menepisnya jauh-jauh. Akupun selama ini tidak merasa jablay yang harus cepat-cepat mengakhiri masa janda. Dan mencintai seseorang yang lain juga tak semudah membalik telapak tangan.
"Kenapa tidak mencoba kembali saja untuk anak-anak?"
Ah, alasan anak-anak itu yang selalu saja membuat aku berpikiran buruk. Untuk anak-anak? Lalu untukku? Seakan-akan aku tidak ada artinya. Egoiskah kalau akupun merasa harus menjadi sebab? Kalau tidak ada lagi rasa buat apa bersama? Kebahagiaankan harus sepenuhnya, bukan setengah-setengah.
"Kaliankan bisa memulai dari awal, pacaran lagi gih sana, jalan berdua kek!"
Aku ikut terkekeh mendengar kekehan kak Alia. Lagi berduka masih saja bisa terkekeh meskipun aku tak tahu mungkin saja Alia lebih parah tak seperti kelihatannya.
"Kamu masih untung pisah hidup bisa ketemu dan ada harapan kembali, coba lihat kakak, meskipun kadang kak Awi menjengkelkan, sering juga membuat kakak ingin mencekiknya kalau sedang melirik cewek lain saat kami jalan berdua, tapi tetap saja kalau bisa harusnya kak Awi tetap disamping kakak!"
Kak Alia mulai curhat, dan aku mulai terbawa perasaan. Sedih. Aku juga tak dapat membayangkan jika terjadi padaku.
"Kakak nyesel pernah berteriak didepannya kalau kakak tak bahagia dengannya," Kak Alian mulai berderai airmata dengan suara bergetar, "sekarang baru kakak sadari kakak lebih bahagia ber...sama...nya daripadaaa...dia harus pergi meninggalkan kakak untuk... selamanya...." tersendat Kak Alia menyelesaikan kalimatnya membuat aku menepuk punggung tangannya berharap bisa menenangkan dan membuat dia sabar padahal akupun ikut menangis.
"Pikirkan, Pi..."
Disela airmata dia masih saja peduli dengan urusan kami. Aku hanya mengangguk-ngangguk saja tak bisa mengeluarkan kalimat apapun. Kalau disuruh memikirkan baiklah akan kucoba memikirkannya.
BLAMMM!!!
Kami terkejut mendengar pintu dibanting dan melihat dari tempat kami duduk pintu kamar yang tadi malam untuk tidur kami tertutup dengan kasar. Bie?
Aku menoleh melihat kedatangan abinya dengan wajah aneh.
"Kak, ada Ley, dia mau berbela sungkawa untuk kepergian kak Awi..."
Oh. Jadi itu sebabnya Bie marah dan membanting pintu. Kenapa memangnya? Apa wanita yang disebutnya bernama Ley itu pacarnya? Tapi Ley bukan nama wanita yang satu pesawat dengannya. Lalu siapa?
"Yuk Pi...."
Kak Alia berdiri dan menarik tanganku. Kenapa aku harus ikut?
"Kak, turut berduka cita, Ley kemarin seharian diluarkota, ke pengadilan agama, jadi nggak tahu kalau suami kakak sakit dan meninggal, Ali juga baru saja mengabari..."
Wanita itu mencium kedua pipi kak Alia dengan akrabnya. Kenapa aku tidak suka melihat cara bicaranya yang sok akrab dan dekat seperti itu. Apa dia sedang cari muka? Huh. Apa katanya tadi? Ke pengadilan agama? Ngurus cerai? Apa?? Tiba-tiba aku curiga.
"Kamu sedang banyak urusan, aku nggak mau ganggu kamu..."
Apa? Jadi dia tahu kalau calon janda ini sedang ada urusan? Makanya dia tidak mengabari bukan karna lupa tapi karna tidak mau mengganggu. Upss. Entahlah, aku seketika takut kalau rencana mantan suamiku justru akan merapat pada calon janda ini. Omegat. Hatiku seperti tercabik-cabik mengingatnya.
"Ley, ini Prilly, uminya Bie dan Qie..." Kak Alia memperkenalkan aku padanya dan dia menolehku.
"Oh ini uminya Bie dan Qie, senang berkenalan setelah kemarin ikut jalan-jalan menemani mereka karna kata Ali mereka ingin jalan berempat..." dia tersenyum terlihat manis tapi bagiku itu bukan senyuman tapi seringaian.
Apa katanya? Dia diajak jalan-jalan berempat? Rasanya panas menelusup didalam dadaku lalu naik kekepala. Mungkin kalau bara bisa terlihat mengepulkan asap diubun-ubun.
"Bi, Qie kepingin pipis, anterin..." Qie yang sedari tadi menggelayuti abinya berkata memudarkan fokusku dari kepalaku yang rasanya memanas dan berasap.
"Sama umi saja Qie..." aku ingin beranjak berdiri.
"Enggak mau sama umi, sama abi ajaaa, ayooo biiii........" Qie menyeret abinya dan abinya menurut saja diseret dan terdengar pintu kamar tertutup cukup keras. Sepertinya Qie sengaja menyeret abinya masuk. Menurutku karna tak suka dengan wanita bernama Ley ini. Fyuhhh, kenapa jadi lega?
"Kak, aku bikin minuman dulu...."
"Minta bikinkan sama mbak Sanah aja, Pi!"
Aku mengangguk dan segera angkat kaki dari tempat yang membuat hatiku berbara. Aku harus minum air dingin. Tapi apa air dingin bisa menurunkan kadar kepanasan ini? Ah, minum saja pokoknya. Dan aku meneguk air langsung dari botolnya.
"Mbak Pi kayak Mas Ali saja suka minum dari botolnya..."
"Ehh, maaf mbak Sanah, haus banget jadi langsung glek..." aku terkekeh malu dikejutkan suara mbak Sanah yang sudah membawa baki berisi empat cangkir teh hangat.
Rupanya dia sudah tahu ada tamu dan menghitung berapa orang yang ada diruang tamu lalu beranjak mengantarkannya kesana.
"Haus atau apa sih Pi? Kayak Ali tadi malam tuh tidur di sofa nggak pake baju, botol minuman dingin berserakan, kepanasan kok gitu banget ya mama heran kenapa nggak berendam aja diair es sekalian?" Mama mertua eh mantan mama mertua terkekeh sendiri mengakhiri ucapannya.
"Panas versus panas sepertinya?"
»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 13 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top