TR*7

-ALIFTRHA-

Malam ini tidur disini saja ya, Pi.." Kak Alia berkata diiringi anggukan Prilly meskipun ia tampak ragu sesaat.

Seketika aku lega karna ia tidak menolak. Kasian Kak Alia kalau ditolak. Dia dirumah hanya bersama asisten rumah tangga dan driver. Mama dan Aba juga ikut menemani. Setidaknya  menghibur dia yang baru saja kehilangan.

'Lega karna Alia atau lega karna lo sendiri Li yang berharap?'

Ck. Otakku ikut-ikutan berkomentar. Apa? Aku berharap? Ada-ada saja.

"Besok umi liburkan?" tanya Bie membuat dia mengangguk lagi.

"Abi juga liburkan?" tanya Qie padaku. Sekarang aku yang mengangguk.

"Mau tidur sama-sama dikamar kakak?" Tanya kak Alia lagi.

"Asikkk, Bie mau Bie mauu, tapiiii..." Bie melirik uminya.

"Bie bobo sama umi sama Qie saja di kamar sebelah, oma saja yang sama umi Alia ya..." mama yang sedari awal tak banyak bicara karna sepertinya lebih syok daripada kak Alia karna kepergian kak Awi yang begitu mendadak menyahut.

"Sama abi juga dong berarti oma?" tanya Qie membuat semua terlihat  bingung.

"Abi diluar aja, mau nonton tv." sahutku membuat wajah Qie dan Bie terlihat kecewa berjamaah.

"Yah abiii, kan udah berempat ini masa nggak mau?" tukas Bie.

Aduh, gimana ini menjelaskannya? Aku sama umi mereka sekarang bukan muhrim lagi. Tidak mungkin tidur sama-sama mereka.

"Iya abi nanti nyusulin."

"Enggak mau, maunya berempat sekarang jangan pake susulan!!" Bie mulai emosi.

"Nih Pi, kamu ganti baju dulu, mandi biar seger juga seharian panas-panasan!"

Kak Alia memberikan baju ganti dan handuk pada Prilly. Prilly mengajak anak-anak masuk kedalam kamar yang ditunjuk mama tadi sebagai kamar untuk tidur mereka malam ini. Rumah kak Alia memang cukup besar. Kak Awi seorang pedagang yang sukses. Entahlah, orang sebaik dia, memiliki harta yang cukup tetapi tidak segera diberikan momongan. Ternyata dia juga harus meninggalkan kak Alia untuk selamanya. Mungkin Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi umatnya.

"Li..."

"Ya ma?"

"Susul, jangan sampai Bie sakit hati lagi, dia cukup sakit karna kepergian Awi!"

"Tapi ma..."

"Mama tahu, kalian bukan muhrim lagi, tapikan kamu nggak nyentuh Prilly, cuman nemenin anak-anak tidur baru setelah itu kamu tinggalin."

"Mama yakin banget Ali nggak akan nyentuh Prilly, kalau kesentuh langsung nyetrum gimana ma?"

"Niatnya udah jelek duluan gimana sih?"

"Nggak ada niat ma, kan seumpamanya...."

"Nggak ada perumpamaan-perumpamaan, mama tu cuma kasian lihat Bie sama Qie, mama nggak mau cucu mama stress gara-gara umi dan abinya egois!"

Mama berkata sambil berlalu dari hadapanku. Aku memandang langkah mama yang menjauh memasuki kamar kak Alia yang sudah masuk duluan setelah Prilly dan anak-anak masuk kedalam kamar. Beberapa saat aku hanya tetap duduk di Sofa sambil mengetuk-ngetuk jariku dipegangan sofa. Aku menyandarkan punggung dan kepalaku sebentar kesandaran Sofa sambil memejamkan mata.

Harus aku akui dekat dengannya seakan membuka kembali lembaran lama. Melihat dia menangis aku ingin memeluknya dan mendekapkan kepalanya didadaku. Melihat airmata bahkan ingusnya rasanya aku ingin menghapusnya dengan tanganku seperti dulu saat dia menangis karna ibunya meninggal. Aku tahu dia begitu terpukul saat kehilangan ibunya karna dia begitu dekat, sementara ayahnya tidak selalu ada karna sering bepergian keluar kota. Dia seperti sebatangkara meskipun ayahnya masih ada. Aku seketika merasa iba melihatnya apalagi dalam keadaan menangis seperti tadi.

Kenapa perasaan iba tak ada saat dia menangis karna sakit hati padaku waktu itu? Kenapa hanya emosi yang menggelegak memenuhi otak? Mungkin setan sudah berperan didalamnya. Merangkai kekurangan padahal aku juga tak sempurna. Mengabsen kesalahan padahal aku juga tak luput dari dosa. Bahkan pertengkaran itu disebabkan karna kesalahanku. Aku menghela napas saat pikiranku dipenuhi perasaan bersalah. Dia bukan istriku lagi. Tapi berada disampingnya dengan adanya anak-anak membuat kami memang menjadi lengkap. Kenapa harus disaat berduka cita kami bisa berkumpul? Kenapa bukan pada saat suka cita? Tapi demikianlah ketentuan Allah. Bukan kebetulan tapi ini sudah ketentuannya.

"Abi..."

Aku merasakan sentuhan kecil ditanganku. Kubuka mata teryata sudah ada Qie disampingku.

"Tidur dikamar aja yuk sama-sama Qie, biar Qie ada temannya, masa Qie laki-laki sendirian diantara cewek-cewek..."

Aku tersenyum mendengar alasannya. Sebenarnya alasannya itu bisa saja disanggah tapi aku ikut saja ketika ditariknya menuju kamar. Begitu membuka pintu entah kenapa aku deg-degkan. Untung saja Prilly tidak terlihat disekitar ruangan dan aku merasa jantungku yang berdebar sedikit berkurang debarannya. Terdengar siraman air dari shower didalam kamar mandi. Rupanya Prilly sedang membersihkan dirinya.

"Sini bi, tidur sama kitaa..." Bie yang sudah berbaring dibawah selimut melambaikan tangannya padaku.

Ceklek. Suara pintu kamar mandi terbuka dan aku harus terkejut karna melihat pemandangan yang sudah lama tak aku lihat. Tubuhnya sedang terlilit handuk dengan bahu yang terlihat basah dengan buliran air. Sumpah, aku tak sengaja memandangnya. Sumpah lagi aku tak sengaja menelan ludah. Dan Sumpah aku tak sengaja ketika melihatnya seperti itu langsung terbayang rasa tubuhnya...

"Eh!"

Tentu saja dia juga sama kagetnya seperti aku dan cepat-cepat kembali kedalam kamar mandi.

"Kakak, tolong ambilin baju umi yang dikasih umi Alia tadi!" Suaranya terdengar bergema didalam kamar mandi.

"Dimana mi...?"

Aku menunjuk onggokan baju yang ada diatas nakas. Bie turun dari ranjang dan mengambil baju yang masih terlipat dan sesuatu terjatuh dari lipatannya. Sepasang underware berwarna hitam yang terlihat baru karna merknya masih terpasang disana. Kebetulan sekali kak Alia ternyata punya stok pakaian dalam yang baru.

"Hati-hati Bie."

Aku memungutnya dan sebelum menyerahkannya pada Bie barang-barang itu jatuh karna tanganku tiba-tiba gemetar begitu memegang dua benda itu. Aku tak sengaja lagi mengingat ukurannya saat dulu aku merasakannya. Mati aku! Kenapa otakku tiba-tiba jadi begini? Damn! Shiitttt..........

>>>>>>

Aku bangun ditengah malam dan merasa haus. Pelan-pelan aku duduk ditepi tempat tidur dan melihat Bie dan Qie sudah nyenyak dipelukan selimut. Sesaat aku teringat ketika sebelum tidur kami berempat dalam satu ranjang yang sama. Satu ranjang yang sama dengan anak-anakku sepertinya biasa. Tetapi satu ranjang dengan dia adalah hal yang tidak biasa. Rasanya aku tak bisa tidur tetapi mataku harus tertutup. Aku tak mau pikiranku kacau. Ketika mata kami bertabrakan saja rasanya nyeri didalam dada. Apalagi ketika dia mulai bercerita pada anak-anak yang ingin didongengkan sebelum tidur.

Kami ada diposisi saling ujung keujung. Aku berada disamping Qie dan dia ada disisi Bie. Aku dilarang Qie memunggunginya. Tidurnya harus miring menghadapnya hingga aku melihat wajah uminya yang terhalang kepala mereka. Uminya bercerita sambil menelentang. Memandang langit-langit kamar terkadang menoleh kearah anak-anak. Aku memejamkan kedua mataku agar tak melihat bibirnya yang bergerak-gerak saat bercerita. Melihat bibirnya yang bergerak-gerak itu aku jadi teringat rasanya. Masih menuntutkah ketika disentuh. Aku menggigit bibirku sendiri. Stupid! Seketika pikiran jadi mesum. Aku perlu menyiram kepalaku sepertinya. Minimal membasahi tenggorokanku yang mengering.

Perlahan-lahan aku berdiri. Mencium kening Bie dan Qie lalu memandangi wajahnya. Dia tetap cantik. Sama seperti setahun yang lalu. Kulitnya makin bersih saja. Mungkin dia tetap merawatnya meskipun tak ada yang menyentuhnya lagi. Eh tapi, kenapa aku jadi sok tau? Mungkin saja dia sudah disentuh yang lain makanya merawat dirinya agar selalu terlihat sehat dan bugar. Ah, tiba-tiba tak rela membayangkan dia disentuh orang lain. Dia begitu segar, tidak seperti aku, yang tak peduli dengan diriku sendiri sepertinya. Bukan apa-apa, aku sedang malas saja menyentuh cleansing foam. Aku juga sedang malas mencukur kumis dan jambangku.

"Ishh geli bi," Qie berteriak kegelian ketika tiba-tiba aku tadi menggesek pipinya karna dia terlihat tegang mendengar cerita uminya tentang tuyul yang tertangkap didalam kotak sedang main ketam dan menghitung biji kacang hijau. Kulihat Prilly melirik sambil meneruskan ceritanya.

"Akhirnya tuyulnya ketangkep karna keasikan main ketam dan menghitung biji kacang hijau deh, lalu tuyulnya dimasukin dalam botol..."

"Trus mi?"

"Trus kita bobo deh karna ceritanya tamat....."

Cerita itu sudah sering diceritakannya, tapi anak-anak tetap suka mendengarkan sejak dulu.

"Dulu sampai tuyulnya jadi tontonan!"

"Kan Qie udah tau tuu..."

"Sampai selesainya mii...sampai Qie tertidur."

Prilly mendelik. Bukan pada Qie tapi padaku. Rupanya dia kesal karna aku mengganggu Qie yang tadinya sudah ngantuk jadi kaget karna kugesek dengan bulu kasar daguku yang menusuk kulit pipinya. Aku memeluk Qie sambil memejamkan mata dan Qie menurut sampai akupun melayang tertidur bersamanya.

"Mhhh...."

Aku melihat tubuh Prilly bergerak dengan suara yang keluar tetapi matanya tetap tertutup dan dagunya terlihat sedikit terangkat sambil memiringkan tubuhnya. Sumpah, mendengar suaranya pikiranku teringat bagaimana saat kami melenguh bersama.
Aku mengangkat tanganku gemetar  ingin menyentuh rambutnya seperti saat kami berada dipemakaman tadi. Tapi kuurungkan niatku karna takut membangunkan dan membuatnya terkejut.

Akhirnya aku melangkah keluar kamar sambil membawa bantal. Aku harus tidur di Sofa. Tidak boleh berada disana berlama-lama. Diluar aku menghempaskan tubuhku diSofa. Kepanasan aku membuka baju kaosku dan melemparnya sembarangan. Aku sampai lupa aku sedang haus lalu berdiri dari Sofa dan melangkah kedapur. Membuka lemari es dan menarik sebotol air dingin lalu  membasahi tenggorakanku. Aku menyiram kepalaku dengan sedikit air dingin dari botol yang kupegang.

"Astagaaa...otakkuuu...."

Aku memukul-mukul kepalaku dan meremas rambut lalu mengacak-acaknya prustrasi. Aku melangkah tergesa keluar dari dapur untuk menghempaskan tubuhku kembali ke Sofa dan menutup kepalaku dengan bantal.

Belum sampai keluar dari dapur aku sudah dikejutkan dengan tabrakan tak sengaja dengan tubuh yang terpekik sama kaget.

"Arrgghhh...."

Aku membekap mulutnya yang sempat menjerit ditengah malam itu. Matanya melotot kaget dan melepaskan tangan dan dirinya dari  dekapanku. Napasnya turun naik entah karna kaget atau apapun aku tak tahu.

"Pie?"

"L...Liee?"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 12 April 2017

Cerita ini hanya fiktif belaka ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top