TR*22
Tubuh Pie yang tadinya sudah terasa lemas makin tambah lemas ketika ia dan Lie bertemu dengan Damar. Damar adalah orang yang diminta Lie mengusut keberadaan Ayah Pie. Lie tahu Damar sangat bisa diandalkan dalam hal pencarian orang hilang. Damar melacak ayah Pie dari orang yang terakhir kali bertemu dengannya sebelum pergi keluar kota tujuan terakhirnya. Keterangan yang dikantongi Damar didapat dari ibu tiri Pie yang terakhir kali bertemu dengan suaminya sebelum pergi keluar kota.
"Jadi ayah tak terlacak lagi Dam?"
Pie bertanya dengan nada yang lemah. Tadi mereka bertiga mendatangi tempat dimana diperkirakan ayah Pie berada disana setelah ada yang menelpon karna melihat iklan orang hilang di media. Tetapi ternyata setelah didatangi bukan ayah Pie tapi oranglain yang memang mirip.
Damar menggeleng menjawab tanya Pie. Dan Pie mendesah kecewa dan semakin resah.
"Belum bisa ditemukan karna informasi sangat sedikit, Pril, kita juga sudah memasang gambar beliau di sudut-sudut kota ini bahkan kekota yang beliau datangi terakhir kali. Dimediapun sudah diumumkan melalui surat kabar, tv lokal dan salah satu tv swasta," jelas Damar lagi.
Pie menutup wajahnya dengan dada sesak. Kemana ayahnya? Mia adiknya yang tinggal diluar kota bersama suaminya pun sama sekali tak tahu karna ayah tak ada kontak sama sekali dengannya. Airmata Pie menetes satu-satu sedari tadi tapi Pie tak berniat menghapusnya. Sampai Lie berkali-kali menghapus dan menenangkannya.
"Sudah sayang, jangan nangis terus nanti airmata kamu habis..." kata Lie mencoba menenangkannya meskipun ia tahu Pie tak akan begitu mudah tenang tanpa kabar dari ayahnya.
Tiba dirumah Pie menghempaskan tubuhnya di Sofa dan lagi-lagi menangis. Lie ikut duduk di Sofa dan membiarkan Pie menaruh kepala dipahanya.
"Airmata aku nggak akan habis buat ayah, Lie..."
"Iyaa aku ngerti, tapi mau bagaimana? Kita sudah berusaha untuk mencari ayah tapi tak juga ditemukan, nanti kita usahakan lagi ya mencari sampai ketemu," kata Lie masih mencoba menenangkan Pie yang tidak dapat menutupi kesedihannya. Lie menunduk mencium pelipis Pie.
"Kasian Bie dan Qie ..." gumam Pie. Tubuhnya meringkuk miring diSofa, kepalanya dipangkuan Lie tapi pandangannya kesofa di sebrang mereka.
"Kenapa?" Lie membelai rambut dan menyisihkan yang jatuh diwajahnya.
Meskipun Lie tak dapat langsung menatap matanya tapi Lie tahu pasti mata Pie sembab sekarang.
"Kasian juga kamu," kata Pie pagi tak menjawab pertanyaan Lie.
"Kok?"
"Keinginan kita berempat tertunda karna aku ingin ayah ditemukan," Pie berkata dengan nada menyesal.
"Nggak papa, aku ikhlas menunggu," sahut Ali mengusap rambut Pie.
"lagipula calon adik Bie dan Qie masih tahan nggak minta buru-buru disebar kerahim kamu!" Lanjutnya membuat mata Pie melebar.
PAKKK!
Lie meringis ketika tangan Pie melayang kedadanya lalu beranjak bangun dari pangkuan Lie.
"Bercandaaa sayangg....."
Lie mencoba menahan senyumnya ketika melihat wajah Pie yang tadinya penuh dengan airmata dan pucat sekarang penuh dengan biasan pink. Pie sendiri merasa malu sendiri dengan ucapan Lie karna setidaknya ia memahami apa yang dimaksud Lie. Dan tentu saja bayangan aneh-anehnya akan muncul. Teringat bagaimana saat mereka bekerja sama terpasung hasrat sebelum kehadiran Bie lalu Qie. Iya bercanda, tapi ngena sampai ke hati bahkan sampai ke otak. Imaginasinya sedikit liar akhir-akhir ini. Pikiran hidup bersama dan akan mengulang kembali masa indah terlalu memenuhi kepala mereka. Apalagi mereka benar-benar tak bisa berduaan. Sangat mengkhawatirkan. Seperti sepasang dua anak manusia yang baru saja bertemu dan jatuh cinta.
"Sini tiduran disini lagi," Lie menarik bahu Pie dan menepuk pahanya agar Pie kembali menaruh kepala dipangkuannya.
Pie menggeleng. Lie mendesah kecewa.
"Kenapa? Gitu aja marah, aku cuma bercandaaa..."
"Enggak marahhh, cuma..."
"Cuma?"
"Takut ada yang mengetat kalau aku tiduran lama-lama disitu!"
Lie terbahak dan kali ini wajahnya yang memerah. Sementara Pie juga ikut tertawa tapi tak sekeras Lie. Membayangkan ada yang mengetat otaknya jadi sedikit mesumkan. Ah. Pie tak tahu harus bagaimana lagi. Keadaan mereka sudah jelas tak bisa terlalu lama ditunda. Butuh waktu berapa lama lagi menunggu sampai ayahnya ditemukan? Tidak jelas.
>>>>>>
"Umi cantik banget..."
Bie memandang Pie dengan kagum melihat uminya yang sekarang duduk didepan meja rias dengan kebaya putih dan polesan make-up yang menambah kecantikannya. Meski tadinya mata Pie harus sedikit bengkak karna beberapa hari ini hanya menangis. Menangis karna dua hal. Ayahnya tidak ditemukan dan pernikahannya dan Lie yang harus dilaksanakan tanpa ayahnya. Sebenarnya ia tetap bahagia bisa melangsungkan pernikahannya dengan orang yang sama. Orang yang menikahinya delapan tahun yang lalu, dan berpisah setahun yang lalu. Takdir membawanya kembali meskipun cara untuk yang kedua kali ini harus tanpa ayahnya.
"Apabila kondisinya sudah begini, ayahmu tidak juga ditemukan, wali nasabpun tidak ada sama sekali maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah wali hakim..." ucapan ustad Maulana saat itu masih terngiang.
Ya, pada akhirnya mereka harus mengalah pada takdir. Takdir menikah ulang segera dan Takdir tidak dinikahkan ayah Pie. Tidak mungkin menunggu tanpa kepastian padahal mereka sudah seharusnya disyahkan segera sebagai suami dan istri. Ali sudah terlalu sering menginap dirumah Prilly. Memang bermaksud untuk menemani karna Prilly sedang dalam masalah. Memang masih ada anak-anak mereka. Tetapi mereka memilih segera menikah agar tidak ada prasangka dan ketakutan dari keluarga. Terlebih mereka sendiri mengakui kalau tidak bisa lagi berjauhan sementara kalau berdekatan banyak yang mengkhawatirkan. Meskipun Ali sudah selalu mengatakan pada keluarganya mereka takkan apa-apa, tetapi untuk kebaikan bersama keluarga sepakat untuk mensegerakan akad bagi mereka.
"Umi gugup?" Qie bertanya sambil menggengam tangan Pie yang dingin. Pie tersenyum sambil mengangguk. Pie benar-benar gugup. Sama seperti saat pertama kali mereka menikah dulu. Saat itu ia ingat meminta ijin pada ayahnya untuk menikah dengan Ali didampingi ustad Maulana.
Saat ini sampai ia harus keluar dari kamar dan mendapati semua orang sudah menunggu akad nikah mereka, Pie masih saja merasa kalau jantungnya tak bisa beraturan. Entahlah, dadanya begitu nyeri mengingat ayahnya. Kemana ayah? Selain karna memerlukan ayahnya untuk menikah, Pie juga sangat mengkhawatirkan keadaan ayahnya.
"Berdoa saja kalau ayah baik-baik saja sayang, kita sudah berusaha, kamu sudah maximal mencarinya, jadi jangan merasa bersalah..." Sebelumnya Lie selalu saja meyakinkan agar dia tenang dan berdoa saja untuk ayahnya. Dan dari dia juga semua kekuatan agar mengikhlaskan dan menganggap inilah yang terbaik.
Pie digandeng Bie dan Qie menuju tempat ijab kabul. Terlihat disana sudah duduk didepan meja kecil bertaplak putih bersih saling bersebrangan, ustad Maulana dan Ali dengan baju pengantin sewarna dengan kebaya yang dikenakan Pie. Putih tulang. Ali menoleh kearah mereka dan tersenyum.
Bukan senyum Lie dan tatapan mata memuja melihat dirinya yang mengejutkan Pie tapi wajahnya yang sekarang bersih dari jenggot dan kumis. Meskipun kepalanya ditutupi dengan peci berwarna putih senada dengan baju mereka, Pie bisa melihat rambutnya pun sepertinya sudah dicukur. Ah, kenapa jadi seperti delapan tahun yang lalu. Ali-nya terlihat bersinar.
"Umi, abi ganteng banget," bisik Bie. Pie tersenyum. Anak kecil aja tahu Ali ganteng. Ya iya, namanya juga anaknya sendiri, biar bagaimanapun juga yang paling ganteng adalah abinya. Prilly tersenyum dengan dada berdebar.
"Bi, ini umi, cantik bangetkan bi?" kata Qie begitu sampai didekat Lie.
"Tentu saja cantik banget...." sahut Ali tak lepas memandang wajah Prilly.
"Iya dong, uminya Bie...." seloroh Bie.
"Umi Qie juga..." celetuk Qie.
"Bentar lagi uminya adik Bie dan Qie!" Sahut Lie.
"Yeay jadi kita nanti berlima dong?" Bie menggenggam tangannya.
Keluarga yang ada disana untuk menyaksikan pernikahan tersebut tak dapat menahan senyum. Melihat mereka seperti kejadian langka. Dihari pernikahan didampingi anak-anak yang duduk disamping saksi-saksi.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh...."
Ustad Maulana membuka suaranya untuk memulai acara. Masing-masing sudah berada diposisinya untuk mensyahkan pernikahan tersebut. Bukan hanya Ali dan Prilly yang merasa gugup, tetapi keluarga yang menyaksikan juga merasa berdebar-debar.
"Berhubung ayah dari nak Prilly tidak ada, maka yang bersangkutan telah memberikan kewenangan kepada saya baik secara hukum agama dan hukum pemerintahan untuk menikahkan beliau dengan seorang pria yang ada didepan saya sekarang."
"Kita akan mulai akad nikah ini, mohon tenangkan dulu pikiran nak Ali dan para saksi mohon untuk berkonsentrasi karna syah atau tidak, halal atau tidak adalah menjadi tanggung jawab kita yang menyaksikannya..."
"Bismillahirahmanirahim..."
"Tunggu dulu!"
Semua mata kini menoleh kearah pintu. Disana berdiri seorang pria yang nampak tergesa dengan dada yang turun naik. Pie seperti mengenali suara itu. Apakah benar apa yang ada dalam pikirannya? Pie dan Lie menoleh bersamaan.
"A...ayahhhh....!"
»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 28 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top