TR*2
~ALIFTRHA~
"Abi jahatttt....." teriakan Bie menggema didalam apartemenku saat dia masuk dan aku mengikuti langkahnya.
"Biee...." aku berusaha menahan langkah kecilnya yang terlihat menyentak lantai sepertinya sangat kesal.
"Bie maunya umi kenapa abi bawa yang lainnn???" Aku terkesiap melihat matanya yang memerah. Rupanya selama berada didalam mobil dia menahan dirinya untuk bersuara karna menahan tangisnya.
"Uminya nggak bisa, kan bie maunya jalan berempat jadi abi usahakan berempat!" Jelasku padanya dengan tangan terangkat ingin mengusap rambutnya.
"Huhh, abi jahat, Bie marah sama abi!!" Bie menghindari tanganku dengan menjauhkan kepalanya lalu mulai bergerak meninggalkanku.
"Sayang, jangan begitu, maafin abi yaa!" Aku mengukuti langkahnya.
"Pokoknya Bie mau uminya Bie, bukan yang lainnnnn......."
Blammmmm!
Aku melihat pintu didorong keras dan mendengar dentumannya tak kalah keras.
Aku termangu didepan pintu kamar Bie. Membuka pintu kamarnya kulihat ia menelungkup diranjangnya dengan bahu terguncang. Aku mulai merasa bersalah. Aku mengatakan anak-anakku sebagai alasan kebahagiaan tapi untuk membahagiakannya saja tak bisa.
Aku tak mencoba menghubungi umi mereka untuk mau diajak libur bersama. Aku takut ditolak karna itu sudah pernah terjadi.
Dia sepertinya tak pernah mau memaafkanku hanya sekedar ingin menyenangkan hati anak-anak. Mungkin bagi mantan istriku aku sangat bersalah. Pernah melukainya dengan kalimatku. Dan aku tak merasa dia terlalu berlebihan. Egois, tak mau mengerti perasaan anak-anak, dia saja yang ingin dimengerti.
Apa salahnya mencoba bersikap baik untuk anak-anak? Dia sakit hati padaku bukan anak-anak. Kenapa anak-anak harus menjadi korban? Aku mulai menyalahkan sikap mantan istriku.
"Bieee..." Aku mendekati tempat tidur dan duduk ditepinya.
"Bie mau sendirian, tinggalkan Bie..."
Bie menolakku disela isaknya.
"Abii..."
Suara Qie membuatku menoleh. Aku sampai melupakan Qie karna mengejar kakaknya. Aku meraih Qie yang menghampiriku.
"Qie ngantuk?"
Qie mengangguk sambil mengucek matanya.
"Yukk kita kekamar abi..."
Aku beranjak dari tepi tempat tidur Bie yang terlihat masih sesegukan. Aku menundukkan wajah mencium kepala gadis kecilku. Aku masih ingin membujuknya. Meminta maaf karna tadi sudah lancang menghadirkan sosok lain tak sesuai harapannya dalam liburan kami yang harusnya kami isi dengan kesenangan. Niatku ingin membayar kesibukanku tiap hari yang meninggalkannya hanya dengan seorang pembantu yang akan pulang ketika aku sudah berada dirumah.
Ternyata bukan kesenangan yang didapat tapi hanya kekacauan ketika Ley datang menghampiri kami saat makan siang disebuah restoran favorit anak-anak atas permintaanku. Sejak kehadiran Ley, Bie tak bicara apa-apa, menurut saja ketika aku bilang Ley akan ikut bersama kami. Qie-pun sepertinya tidak ada masalah. Aku yang tak peka atau mereka yang terlalu pandai menyembunyikan perasaan?
"Qie mau bobo sama kakak Bie," ucap Qie membuat aku mengerutkan kening. Bukankah setiap menginap ditempatku dia akan selalu tidur bersamaku?
"Qie mau bujuk kakak supaya jangan menangis lagi..." Qie berkata membuat aku menggelengkan kepala.
"Nanti abi yang bujuk kakak lagi, ayoo, kita ganti baju Qie dulu!" Aku mengajak Qie dan mengamit lengannya. Tapi Qie menggeleng.
"Qie bisa bujuk kakak sama kayak Qie bujuk umi waktu nangis!"
Aku terdiam. Waktu umi menangis?
"Umi sering nangis juga kok tapi Qie bisa bujukin umi..." lanjut Qie lagi dengan nada polosnya.
"Nangis kenapa?" Seketika aku tertarik mendengar ocehan Qie.
"Ituhh, waktu pot bunga mawarnya jatuh dan pecah tersenggol Qie, umi nggak marah tapi nangis, begitu Qie minta maaf umi bilang umi cuma bingung gimana naruh mawarnya lalu Qie ambil mawarnya dan nyelipin ditelinga umi, umi langsung tertawa dan mencium Qie, Qie hebatkan bi bujuk umi?"
Aku memandang Qie yang sedang bercerita dengan suara khas anak kecil berusia lima tahun. Terdengar lucu karna sepertinya sikapnya jauh lebih dewasa dari usianya. Sedikit miris tapi juga mengingatkan aku tentang mawar yang penuh kenangan. Dari bibit menjadi sekuntum bunga. Dimana bunga yang tumbuh pertama kali, aku selipkan ditelinga umi anak-anakku.
"Mawar ini lambang kasih sayang aku sama kamu..."
Bahkan rasanya masih jelas dalam ingatanku saat aku mengatakannya. Terkadang aku sampai tak habis pikir. Takdirkah? Atau kami yang hanya terlalu egois? Terlalu percaya diri kalau kami bisa mencari kebahagiaan masing-masing. Aku dengan sombongnya merasa bisa hidup tanpanya. Diapun tak ingin kalah, mampu hidup tanpa aku. Dan akhirnya kami bisa sama-sama bebas menentukan langkah. Tanpa ada lagi yang mengusik kesenangan masing-masing. Tanpa ada lagi pertengkaran-pertengkaran yang tak etis didepan anak-anak.
"LO BINI YANG NGGAK LAYAK GUE PERTAHANIN!!"
"IYA, YANG LAYAK LO PERTAHANIN HARTA YANG BIKIN LO BUTA!!"
Entahlah, emosiku tak bisa aku tahan ketika sudah beradu mulut dengannya. Tak peduli didepan anak-anak, tak peduli mereka yang melerai ketika aku sudah menyakiti secara fisik setelah mulutku sudah menyakitinya dengan kalimat penghinaan.
"Abiii....jangan pukullll, Qie bantu kakakkk, lepasin bi lepasinnn....!"
Terbayang ketika aku menarik tangannya dan membenturkan tubuhnya kedinding lalu Bie memegang tanganku untuk melepaskan cengkraman tanganku pada lengannya diiringi ringisan yang tak juga membuatku berhenti kalap tapi membuat aku menyesal jika mengingatnya. Terbayang wajahnya yang meringis kesakitan setelah tanganku terlepas dari lengannya.
"Abi?"
Qie menggoyang lenganku menghentikan ingatan kelam yang membayang seketika dipelupuk mataku.
"Iya?"
"Apa tante Ley lebih baik dari umi?"
Aku tersenyum pahit mendengar pertanyaannya.
"Apa seperti Oom Restu temannya umi?"
"Oom Restu?"
"Oom Restu itu suka mengajak umi jalan-jalan..."
"Jalan-jalan?"
"Miting katanya bi!"
"Ohhh..."
Aku tertawa sambil mengacak rambut Qie. Meeting disangka jalan-jalan. Setahuku Restu itu rekan kerja mantan istriku. Sudah berkeluarga. Yang namanya rekan kerja pasti ada interaksi semacam itu. Meeting. Ada tamu penting mereka biasanya yang menemani. Tapi entah kenapa setelah disebutkan Qie sering mengajak jalan-jalan ada rasa ngilu mendengarnya. Apakah meetingnya terlalu sering hingga Qie bisa menyebutnya jalan-jalan? Apa uminya memang ada hubungan khusus? Ah, kenapa aku harus memikirkannya? Bukankah dia bukan siapa-siapaku lagi? Tapi dia ibu dari anak-anakku. Jangan sampai sikapnya membuat pikiran anak-anakku tak tenang. Kalau sampai dia menjadi pengganggu rumah tangga orang dan menjadi ribut akan sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anakku.
Aku menghela napas. Apa bedanya denganku? Sekarang saja dengan mengajak Ley berlibur bersama kami perasaan Bie terganggu. Entahlah bagaimana dengan Qie. Tentu sangat mengganggu makanya dia bertanya apakah Ley lebih baik dari uminya?
"Abi?"
"Tante Ley perhatian sama Abi dan dia sayang sama kalian..."
"Darimana Abi tau dia sayang sama Qie? Qie aja tadi dibentak karna numpahin teh es..."
"Ya soalnya tadi Qie bandel sih, tante Ley kan kaget karna Qie tadii yang nggak mau dengerin supaya jangan meloncat-loncat sambil minum!"
"Cuma umi yang boleh marahin Qie...."
"Tuhkan udah tahu uminya pemarah cepat naik darah..."
"Tapi Qie sayang sama uminya Qie!"
Qie naik ketempat tidur dan menyusup kesamping Bie yang langsung merangkulnya setelah berkata seperti itu.
Aku menghela napas. Ucapan Qie menyiratkan dia juga tidak bisa menerima oranglain. Aku teringat ucapan mama ketika aku menceritakan kejelekan mantan istriku disela Bie yang tidak terima mendengarnya.
"Tapi Bie sayang sama umi-nya Bie!"
Bahkan ketika itu Qie berkata ikut umi saja dan akan menjaganya sedangkan aku diminta untuk menjaga kakaknya.
"Namanya juga ibu mereka, Li, sejelek-jeleknya tetaplah mereka nyaman bersama ibu mereka sendiri!"
*****************************
Banjarmasin, kamis, 6 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top