TR*18

"Kamu tau, sekarang aku tak berniat menikahi siapapun selain menikahi kamu lagi!"

Kalau bukan disangga tangan Lie yang mengurung pinggangnya mungkin kaki Pie tak kuat menahan tubuhnya sendiri. Mendengar apa yang diucapkan Lie, Pie merasa lututnya lemas. Kedua tangannya meremas kemeja yang dikenakan Lie sekedar memberi rasa kuat agar tetap tegak.

"Ap...apa?"

Pie mencoba menatap Lie. Ah, semakin nggak kuat. Tatapan matanya yang sedari dulu terlalu tajam untuk ditentang. Terlalu menyesap hingga tubuh seperti lilin yang meleleh.

"Nggak usah dirayu, bi, ditatap aja pasti umi langsung meleleh..."

Lie harus mengakui kebenaran ucapan Bie, tak perlu merayu karna ditatap saja sudah pasti membuat melting. Melayang tingkat tinggi.

"Apa kita bisa merilis ulang masa bahagia?"

Jantung Pie semakin berdegup lalu matanya berkedip pelan menahan hujamam tatapan mata Lie.

"Apa kita bisa buang jauh-jauh benci dan prasangka?"

Semakin tak berkutik Pie ketika sebelah tangan Lie sudah berpindah menyentuh wajahnya sementara tangan yang lain masih merangkul pinggangnya.

"Apa kita bisa melanjutkan rasa cinta?"

Kelu yang Pie rasa. Mungkin matanya sudah menjawab semua. Hingga Lie selalu melanjutkan pertanyaan yang terus beruntun.

"Bukan hanya untuk Bie dan Qie tapi juga untukmu, untukku, untuk kita, bisa?

Lie bertanya lagi tanpa melepaskan tatapannya yang tak bisa membuat Pie mengeluarkan jawaban. Bukan tak ingin menjawab. Tapi bibirnya terasa terbungkam. Bagi Lie tidak dijawab tapi masih betah direngkuhnya artinya tidak menolak.

"Bisa?" ulang Lie sambil menyelipkan rambut ditelinga Pie. Mencoba sabar  menunggu jawaban.

"Tapii..." Pie terlihat ragu.

"Tapi?" Lie mengulang kata yang diucapkan Pie dalam nada tanya.

"Ley?" Akhirnya nama wanita yang baru saja membuat Pie kembali panas itu lolos daei bibirnya.

"Apa kurang jelas?" Lie balik bertanya. Padahal sesungguhnya menurut Pie, Lie harus menjelaskan sedetail mungkin apa yang terjadi sebenarnya.

"Tadi suaminya dat..tang kesini..." Pie mencoba menjelaskan agar Lie tahu saja kalau ada duri dalam daging.

"Menuduh gara-gara aku Ley menggugat cerai?" tebak Lie. Pie mengangguk.

Lie sudah bisa menebak apa yang dikatakan mantan suami Lei ketika menemui Pie. Lie sudah sempat mendengar dari Ley kalau saat Ley berencana menggugat cerai, suaminya menolak dan menuduhnya memiliki selingkuhan. Lie tadi juga sempat mendengar Ley mengatakan ingin ke apartemen karna ada yang ingin dia bicarakan. Tetapi Lie lebih memilih menepati janjinya untuk menjemput Pie.

"Sekarang kamu jawab pertanyaan aku saja...bisa?"

Lie seolah tak ingin memikirkan apapun yang membuat hubungan mereka yang ingin diperbaiki dan dirilis ulang kembali menjadi tidak sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Sekarang ia cuma ingin membicarakan tentang mereka berdua bukan tentang orang lain yang merusak pikiran mereka.

"Prilly?"

Pie menarik napasnya dalam-dalam. Sepertinya ia butuh oksigen untuk menjawab. Tak dijelaskanpun ia sudah pasti paham. Si botak hanya berprasangka saja. Atau mantan istri mudanya itu yang ada rasa. Mungkin gede rasa karna selama ini merasa  dekat. Atau terlalu banyak berharap pada mangsa baru yang kelihatan memiliki segalanya daripada harus menahan perasaan ditinggal karna suaminya jarang menengoknya.

"Bis..bisa...." akhirnya satu kata lolos dari bibir tipis Pie meskipun tergagap.

"Bisa apa?" tanya Lie ingin memperjelas agar komunikasi mereka tidak terjalin setengah-setengah lagi.

"Bi...sa merilis ulang masa bahagia," ucap Pie terbata.

Lie tersenyum.

"Bisa membuang jauh-jauh benci dan prasangka," lanjut Pie lagi.

Lie mengangguk dan menunggu selanjutnya.

"Bisa melanjutkan kembali rasa cinta....."

Lie tersenyum lebar. Bahkan giginya yang rapi terlihat mengigit bibir bawahnya. Pie merasa wajahnya menghangat melihatnya dan tanpa sadar ikut menggigit bibirnya.

"Untuk Bie, untuk Qie, untuk kamu, untuk aku dan untuk kita!"

Pie merasakan jantungnya kembali berdebar dengan aliran darah yang lebih cepat ketika Lie mendaratkan bibir kedahinya yang tertutup anak rambut yang jatuh karna kepalanya bergerak lalu menutup matanya. Tangan Lie yang menangkup wajah Pie pun terasa dingin dan sedikit bergetar akibat telah lama tak menyentuhnya dalam suasana hati yang hangat.

"Aku...masih...mencintaimu!"

Pie membalas pelukan Lie yang mengatakan cinta. Masih cinta. Berarti tak pernah berubah. Entah kenapa airmata Pie justru jatuh mendengarnya. Menangis sambil tersenyum mengangkat wajah menatap wajah Lie dari bawah dagunya.

"Aku...selalu...mencintaimu!"

Lie menunduk menatap lalu menghapus airmata Pie dengan punggung tangannya. Selalu mencintai. Artinya cinta Pie padanya tak pernah hilang ditelan benci. Hasrat bibirnya untuk mencium hazel yang sedari tadi diobrak-abrik airmata sudah tak tertahan. Jantung Pie semakin berdegup kencang dibuatnya. Apalagi saat bukan cuma hazel yang disentuh tapi juga bibirnya. Ngilu terasa didalam dada hingga napas Pie tertahan seketika.

"Sekarang waktunya kita mengulang kembali, kita mulai dari awal lagi ya," Lie meletakkan dagunya diatas kepala Pie yang ada dalam dekapannya.

"Time Release?" tanya Pie masih menatap dari bawah dan melihat bibir Lie bergerak dari bawah dagunya. Bibir yang baru saja mengecupnya.

"Ya, segera..." sahut Lie mencium ujung kepala Pie.

"Tapiii..."

"Tapi lagi?" Lie menunduk kebawah lagi lalu Pie melepaskan tubuhnya dari dekapan dan menatap Lie  dengan wajah gundah.

"Kita sudah bercerai, kalau kita mau balikan apa kita harus menikah ulang atau bagaimana? Aku pernah dengar ada temanku cerita, temannya harus menikah lagi dengan yang lain sebelum menikah ulang dengan mantannya, aku takuttt...." Pie menunduk menggigit bibirnya.

"Takut?" tanya Lie heran.

"Takut cemburuuu," jawab Pie dengan wajah yang membias kemerahan lalu menunduk lagi. Malu.

"Lho?" Lie menatap Pie dan menyentuh pipinya lagi.

"Ya kalau kamu harus nikah sama yang lain dulu trus kasih nafkah batin aku bisa mati karna nyesekk ngebayanginnyaaa!"

Lie tertawa mendengar penuturan Pie yang belum apa-apa bernada cemburu.

"Memangnya kalau kamu juga harus menikah dengan yang lain trus kamu dikasih nafkah batin aku nggak nyesek bayanginnya?" Lie berkata sama terus terang.

"Memangnya kamu cemburu?" Pie melebarkan matanya tak percaya.

"Kamu pikir ini kaki luka gara-gara apa?"

Lie menunduk. Tangan mereka masih bertautan dan Pie ikut menunduk menatap kaki Lie yang terlihat masih diperban.

"Gara-gara apa memangnya?" Pie memandang kaki dan wajah Lie bergantian.

"Gara-gara kamu pulang duluan sama yang lain tanpa nungguin aku!"

"Hah?"

Pie terperangah. Bukannya Lie sendiri yang tak ada kabar beritanya? Sudah jam enam lewat tak muncul tak juga ada kabar.

"Iya, aku yang salah, nggak ada kabar berita tapi berharap kamu tetap menunggu..." Lie berucap lirih mengakui kesalahannya. Pie menggeleng merasa itu tak sepenuhnya salah Lie.

"Aku juga salah kok, nggak nyoba nelpon kamu, apa kamu jemput aku atau nggak?" Pie ikut mengakui kesalahan.

"Miss komunikasi...kita kebanyakan kehilangan momen gara-gara kita kurang komunikasi, itulah sebabnya saat kita mengulang kembali aku akan berjanji merubah komunikasi kita menjadi lebih baik!"

Pie tersenyum mendengar kalimat panjang Lie. Akhirnya mereka menyadari terlalu banyak yang harus diperbaiki saat mereka akan merilis ulang pada waktunya. Mempertahankan apa yang selama ini sudah baik, dan memperbaiki apa selama ini  kurang baik supaya lebih baik lagi.

"Tadinya aku mau ngajak kamu ketempat ustad Maulana," ucap Lie.

"Ma...mau ngapain?" Pie melotot mendengar nama ustad Maulana. Ustad Maulana kan penghulu yang menikahkan mereka delapan tahun yang lalu.

"Apa sih, dari tadi matanya melotot terus?" Lie tertawa lucu meraih wajah Pie memencetnya gemas melihat wajah Pie yang sedari tadi berubah-rubah warna. Dari putih menjadi pink lalu pucat bergantian.

"Enggak, aku jadi nervous denger nama ustad Maulana...." tutur Pie jujur.

"Maksud aku, kita konsultasikan pada beliau apa yang harus kita lakukan, setahu aku untuk kasus kita, kita cuma butuh menikah ulang saja tidak harus menikah lagi dengan oranglain!" jelas Lie.

"Ohh semoga begitu ya...." Pie menghela napas sedikit lega.

"Shhh...." Lie meringis mengangkat sebelah kakinya yang sakit. Sedari tadi kekuatan berdirinya dia tompangkan pada kaki yang tidak sakit. Jadi sekarang terasa pegal. Baru sekarang terasa. Sepertinya sedari tadi terlupakan.

"Kenapa?" Pie membantu Lie duduk di Sofa.

"Pegel, maaf ya dari tadi kamu pasti nahan tubuh aku!" Lie meminta maaf karna merasa membuat tubuhnya menjadi beban Pie. Tadi saja kalau bukan Pie yang menahan dia sudah jatuh.

"Enggakkk, kamu yang nahan badan aku, aku hampir melorot rasanya  lututku lemes!" geleng Pie merasa kalau justru Lie yang menahan tubuhnya.

Sepertinya tak terasa mereka saling memberi kekuatan saat berdiri dan saling memeluk. Lie merasa kekuatan kakinya hanya satu tapi karna memeluk tubuh Pie makanya dia tak goyang. Sementara Pie yang merasa lututnya lemas juga merasa tertolong karna Lie memeluknya hingga dia tetap bisa menahan tubuhnya agar tak melorot kebawah. Begitulah  membangun sebuah fondasi. Fondasi yang terlihat rapuh akan tetap kokoh ketika sudah saling memberi kekuatan.

"Kita jadi keluar?" tanya Lie lagi mengingatkan kalau harusnya mereka pergi.

"Ketempat ustad Maulana?"

"Udah kemalaman besok saja, sekarang aku mau  ngajak kamu kencan dulu."

"Kemana?"

"Kehatiku..."

Pie tersipu. Rasanya seperti jatuh cinta lagi. Tak percaya mereka kini akan mengulang kembali saat-saat indah dan berusaha untuk memperbaiki saat-saat buruk. Pie dan Lie berharap semoga niat mereka merilis kembali waktu berjalan dengan baik. Dan bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan dari awal lagi.

"Bismillah, semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagi kita, sweethearth...."

Pie bisa memastikan kalau wajahnya kini bersemu lagi. Sweethearth, panggilan itu kembali.

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 24 April 2017

Selamat libur lagi ya... selamat memperingati Isra Mi'raj...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top