TR*17

Berkali-kali Pie menyibak gorden. Berulang kali juga Pie menggeleng. Cuma mobil oranglain yang lewat bukan mobil Lie. Kenapa jadi gelisah? Gugup. Rasanya seperti kencan pertama saja.

Lie mau bicara apa? Sebenarnya pertanyaan itu yang mengendap didada sedari Lie mengatakan akan menjemput karna ada yang ingin dia bicarakan. Apa dia mau membicarakan soal Bie? Atau membicarakan tentang mereka berdua?

Bagaimana kalau Lie mengajak rujuk? Pie memegang dadanya. Kenapa jadinya nyeri mengingat kalau hampir bisa dipastikan yang akan dibicarakan Lie adalah ajakan untuk kembali bersama?

"Umiiii...."

Tadi ketika Lie dan Bie dijemput disekolah, begitu melihatnya Qie langsung turun dari mobil yang dikemudikan aba. Pie menyapa aba yang selama ini tak banyak bicara. Aba tersenyum dan bertanya kabar.

"Sehat Pril?"

"Ya, ba, alhamdulilah, aba gimana sehat?"

"Alhamdulilah...."

"Ba, malam ini ijinin Ali bawa mobil sendiri ya..."

"Kakimu masih sakitkan?"

"Bisa kok ba, Ali mau jemput dia malam ini...."

"Ohh, mau kencan?"

Kata-kata kencan itu membuat Lie menggaruk kepalanya. Dan Pie tersipu sendiri.

"Ikutttt....." Bie dan Qie berteriak meminta ikut.

"Husss, biarin abi dan uminya berduaan dulu sebelum kalian akan selalu berempat.."

"Yeayyyy.....oke eyangggg!"

Mungkin cuma naluri seorang ayah sekaligus kakek saja hingga aba bisa menebak kenapa Lie mau menjemput Pie. Dan anak-anakpun terlihat girang.

Brummm!
Sepertinya sebuah mobil berhenti didepan rumah. Pie benar-benar harus menetralkan detak jantungnya karna detakannya semakin cepat saja. Cepat-cepat ia membuka pintu sebelum diketuk bahkan orang yang berada didalam mobilpun belum turun.

Membuka lebar pintu rumah dan melihat mobil yang datang dan terparkir didepan pagar Pie mengerutkan alis.

'Mobil siapa lagi yang dipakai Lie?' Batin Pie bertanya saat ia melihat mobil yang datang bukanlah mobil yang harusnya punya Ali.

'Atau bukan Lie? Lalu siapa?' Pie membatin lagi.

Dan benar saja, ternyata bukan Lie. Seorang pria botak turun dari mobil itu, membuka pagar yang memang tak terkunci lalu masuk mendekati beranda rumah dimana Pie berdiri dengan pintu terbuka. Pie menatap pria tersebut untuk mengenali. Tetapi sepertinya pria ini cukup asing dimatanya. Hampir setengah baya. Siapakah?

"Selamat malam...."

"Ya?"

"Saya Roy."

Orang itu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Pie.

"Ya pak Roy, saya Prilly, ada yang bisa saya bantu?"

"Prilly-nya Ali-kan?"

Pie mengerutkan keningnya.

"Maksud saya istrinya Ali!"

Pie ingin menggeleng tapi...

"Ehm, mantan maksud saya!"

"Maaf, bapak datang kesini perlu sama saya?" Pie bertanya dengan pikiran yang menerka urusan apa yang dibawa pria ini, sepertinya ada kaitannya dengan Ali.

"Ternyata Ali bodoh ya, meninggalkan anda hanya untuk seorang wanita seperti istri saya eh sekarang mantan!" ucap Roy dengan nada sinis. Pie urung menyuruhnya masuk lalu mengisyaratkan dengan tangannya agar pria tersebut duduk dikursi yang ada di beranda rumah.

"Siapa istri bapak?" tanya Pie setelah diam-diam menetralkan detakan yang ada

"Ley."

Jantung Pie terasa mau copot. Ley?

"Gara-gara Ali, Ley menggugat cerai saya!" jelas Pak Roy dengan wajah sedikit tegang. Dia merasa marah seketika mengingat istrinya menggugat cerai gara-gara Ali.

"Ley sengaja mencari-cari kesalahan agar bisa lepas dari saya supaya bisa segera menikah dengan Ali," lanjut Roy lagi berapi-api membuat Pie merasa panas. Entahlah, ada yang memorak porandakan hatinya saat ini.

"Lalu kenapa bapak datang kesini memberitahu saya, saya tidak ada urusan apa-apa lagi karna saya hanya mantan!" ucap Pie dengan nada yang sama berapinya. Emosi jiwa.

"Saya cuma ingin tahu bagaimana mantan istrinya, ternyata cantik tapi sayang tak bisa menjaga suaminya!" Roy berkata dengan nada menghina membuat Pie semakin panas saja.

"Kalau bapak sakit hati dengan mantan istri bapak atau sakit hati pada Ali, bapak tidak perlu bawa-bawa saya, saya sudah tidak ada urusan dengan mereka dan saya tidak peduli!" sahut Pie dengan wajah yang seketika makin tak ramah.

"Rupanya ini yang menyebabkan Ali mengganggu rumah tangga oranglain, istrinya tak ramah, sudah kurang respect padanya, pantas saja..."

"Jangan hina saya atau Ali, beli cermin pak, bagaimana bapak menjaga istri bapak hingga bisa tertarik pada yang lain?" Pie balik bertanya dan menyalahkan Roy.

"Mungkin istri muda dimana-mana orientasinya hanya pada harta, punya mangsa baru lalu jadi sasaran empuk!"

Istri muda? Lie berhubungan dengan istri muda orang. Stupid. Kenapa mengganggu istri orang? Istri muda pula. Apakah ini yang akan Lie bicarakan? Ia akan bilang segera menikah dengan wanita bernama Ley itu. Pie seketika resah. Dan semangatnya untuk bertemu Lie hari ini luntur sudah. Tak ada lagi debaran halus yang sedari tadi mengisi rongga dadanya. Yang ada sekarang dadanya seperti disayat-sayat. Sakit. Rasanya tiba-tiba ingin menangis.

"Apakah urusan bapak sudah selesai?" Pie berdiri dari duduknya, "mohon maaf saya sedang ada urusan diluar, terima kasih informasinya, pak!"

Pie menutup pintu rumahnya lalu bersandar dibalik pintu dengan dada yang turun naik. Sudah tidak bisa ditahan, akhirnya airmatanyapun luruh sudah. Pie tak percaya kalau yang akan Lie bicarakan adalah rencana pernikahannya dengan wanita itu bukan seperti yang ia pikirkan. Ia pikir yang akan Lie bicarakan sesuatu yang berhubungan dengan komitmen untuk mereka berdua. Mungkin benar komitmen berdua, tetapi komitmen berkomunikasi dengan baik didepan anak-anak meskipun mereka sudah tak lagi bersama.

Brummm!
Deru mobil kembali terdengar didepan rumah. Pie masih tersandar dibalik pintu dengan kaki yang rasanya tak cukup kekuatan untung menopang tubuhnya sendiri. Tak ada niat untuk menyibak tirai seperti sebelum kedatangan pria botak itu. Pie sudah tahu kalau yang kali ini pasti Lie.

Suara langkah kaki diiringi ketukan berat kruk terdengar mendekat. Pie memejamkan matanya membayangkan Lie susah payah membawa mobil dan melangkah dengan kruk hanya untuk menjemputnya. Tapi Pie berusaha menyadari, pengorbanan Lie bukan untuk kebahagiaan anak-anak mereka terlebih bukan untuk dirinya  tetapi untuk kebahagiaan Lie sendiri  bersama wanita yang lain. Pie kembali merasakan perih didadanya.

Ting Tong!
Terdengar bel berbunyi. Pie belum juga ingin berbalik membuka pintu.
Sementara Lie didepan pintu menunggu dengan harap-harap cemas. Debaran dijantungnya yang sejak dari rumah sudah tak bisa normal diatasi dengan menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lie memandang layar ponsel dan mulai menelpon. Terdengar nada panggil sekaligus nada dering. Kenapa suara nada panggil Pie terdengar begitu dekat. Lie menajamkan telinganya bahkan kini ia lebih dekat dan menempelkan telinganya didaun pintu. Sepertinya Pie berada dibalik pintu. Kenapa tak langsung membuka pintu? Otak Lie penuh tanda tanya.

"Pie?" Lie mengetuk pintu sekali.

"Prilly?" Lie mengetuk lagi sampai nada panggil tak terdengar lagi.

"Umi?" Lie masih mencoba.

Pintu terbuka. Dan Lie langsung mendapati seraut wajah yang sudah cantik tetapi matanya terlihat teracak. Sedikit merah dan...sembab.

"Kenapa?"

"Nggak papa, masuk aja dulu..."

"Mata kamu merah, kam..."

"Aku kelilipan tadi, akhirnya merah!" Pie berbalik ingin tak peduli tapi akhirnya ia tak bisa membiarkan Lie susah payah masuk dengan mengangkat kruknya perlahan sendirian.

"Kita disini aja ya," Pie membantu Lie duduk di Sofa ruang tamu. Lie mendongakkan wajah menatap Pie yang masih berdiri disampingnya duduk. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Pie. Kenapa sepertinya dingin?

"Kenapa?"

"Aku sedang malas keluar!"

"Padahal aku mau ngajak kamu ke..."

"Nggak usah mengajak aku kemana-mana kalau cuma mau bicara!"

Kenapa sikap Pie jadi terkesan penuh emosi begini? Padahal tadi siang saat disekolah Bie begitu hangat. Lie tidak habis pikir. Apa karna tadi ada yang datang? Apa itu Frans atau yang lain lagi?

"Sekarang bicara saja apa yang mau kamu bicarakan..."

"Sebenarnya ada apa Pie?"

"Ada apa?"

"Kenapa kamu jadi sinis begini?"

"Aku nggak sinis kok, aku nggak apa-apa."

Lie menggelengkan kepalanya. Apa yang ingin dibicarkannya seketika buyar dengan sikap yang ditunjukkan Pie. Pie tidak menerimanya dengan baik. Lie jadi merasa takut apa yang ia sampaikan tidak mendapatkan tanggapan yang positif.

Hanya jarum jam yang terdengar berdetik sekarang. Sepi. Bahkan napas mereka saja terdengar berhembus beberapa kali. Pie menunduk menatap lantai. Lie menatapnya tak mengerti. Dari penampilannya Pie kelihatan sudah siap untuk pergi tapi kenapa dia bilang dia malas keluar?

"Aku salah apa?" Pelan suara Lie, "aku bahkan belum mengatakan apa-apa tapi kamu sudah bersikap dingin, ada apa?"

Pie tak menjawab. Bahkan hatinya berteriak berharap Lie jangan terlalu lembut agar ia tak berat melepaskannya.

"Pie?"

"Sudah Lie, to the point saja, apa aku yang harus mengatakan apa yang ingin kamu katakan?"

"Memangnya kamu tau apa yang ingin aku katakan?"

"Ya."

"Dan kamu menolak?"

"Enggak!"

"Benarkah?"

Lie tak yakin dengan ucapan Pie. Dia tidak menolak dengan apa yang akan  dikatakannya tapi kenapa kelihatannya ketus.

"Kamu pikir aku akan ngelarang kamu? Kamu pikir aku akan serendah itu? Kamu pikir aku akan mohon-mohon sama kamu demi kebahagiaan Bie sama Qie?"

"Apa maksud kamu?"

"Aku ngerti kita udah nggak bisa bahagia lagi berempat, kamu ingin bilang kan kalau aku harus bujuk anak-anak buat setuju kamu nikahin mantan istri muda orang, iya aku sanggupin, dan kalau kamu nikahin dia, Bie dan Qie biar disini saja sama-sama aku!"

Rasanya Pie sudah emosi tingkat tinggi. Ia berdiri bersiap berbalik dan meninggalkan Lie. Lie-pun berdiri tiba-tiba karna terkejut melihat Pie. Pikirannya sibuk mencerna ucapan Pie yang tidak sesuai dengan kata hatinya.

"Pie tunggu dulu!"

Brakkk!
Kruk disamping Lie terjatuh dan ketika Lie melangkah tanpa kruk dengan kaki sebelah Pie berbalik dan mendapati tubuh Lie limbung dan hampir jatuh jika Pie tak segera menahan tubuh dan memegang tangannya.

Debaran didada Pie dan Lie terasa sama ketika mereka tak sengaja bertemu pandang dengan tubuh tak berjarak. Tatapan mata keduanya tak lepas dan saling menyelam kedalam mata yang dulu pernah mereka miliki. Ingin sekali Lie menunduk dan membuat bibirnya menyentuh hazel itu.

"Tadi Ley menelpon, dia menanyakan keadaan kakiku, ingin menjengukku diapartemen seperti yang lalu tapi aku bilang aku sedang dijalan menjemputmu...."

Pie menahan napasnya. Sedari tadi ia hanya mencoba mengontrol dirinya. Berada dalam jarak yang sangat dekat bahkan hembusan napas saja sudah saling membaur membuat Pie rasanya ingin membuat jarak. Tapi saat Pie melepaskan tangannya yang menahan tubuh Lie, Lie justru menarik tubuh dan menahan pinggangnya agar tak menjauh. Pie mendorong dada Lie dengan kedua tangannya meskipun tak juga bisa membebaskan tubuh mereka dari jarak yang sudah terhapus.

"Kamu tau, sekarang aku tak berniat menikahi siapapun selain menikahi kamu lagi!"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 23 April 2017

Selamat hari minggu.
Aku siap-siap kondangan dulu ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top