TR*14

Pie mengusap wajahnya perlahan. Sedikit basah dan dingin akibat cuaca yang dingin disertai rintik hujan.

"Kenapa dia nginap dirumah?"

"Kemarin kami berempat..."

"Dia merayu kamu?"

Ck. Kenapa Frans begini? Pie sudah tahu jawabannya. Selama ini Pie sedikit menduga dan merasakan dia ada sedikit perhatian. Pie biarkan saja. Karna Frans bilang haknya untuk menyukai seseorang apalagi orang tersebut tak ada ikatan dengan siapapun. Salahkah Pie seakan membuka pintu? Tapi haknya juga karna hatinya harusnya sudah kosong.

"Dia abinya anak-anakku..." ucap Pie menjelaskan atau beralasan.

Frans mengedikkan bahunya. Begitu mudah alasan tersebut dikatakan. Tapi memang benar.

"Katanya kamu ingin melupakannya?"

"Ya ingin..."

'Tapi itukan keinginan yang tak pernah mendapat restu dari hatiku,' Pie melanjutkan kalimatnya dalam hati. Bimbangkah ia?

"Apa dia ingin menarikmu kembali?" tanya Frans curiga.

"Kami tak pernah membicarakannya!" sahut Pie menepis kecurigaan Frans.

"Jangan mudah terhasut, Pril, dimanisin sedikit langsung meleleh!" nada suara Frans mengejek.

"Bukan begitu juga!" tegas Pie tak senang.

"Baguslah..." masih saja nada suara Frans terdengar tak enak. Mungkin dia cemburu. Dan Pie tak menyukai itu.

"Memangnya kenapa?"

"Akuuu...akuuu..." Fran seketika tergagap.

"Kenapa? Bukankah kita juga tidak ada kaitan apa-apa? Selama ini katanya mau berteman dulu sama aku?"

"Hmm, itu karna kamu tak juga menjawab tanyaku, dan aku sudah terlanjur menganggapmu milikku, Pril!"

Pie terkesiap. Apakah selama ini ia terkesan memberi harapan pada Frans? Mungkin.

"Jangan begitu, aku takut mengecewakanmu, Frans!"

Selama ini Pie terkesan membiarkan. Dan dia juga terkesan ada rasa pada Frans. Mungkin karna setahun ini ia merasa kosong. Apalagi yang diharapkan? Lie sudah bukan siapa-siapa. Iapun menghindar bertemu dengannya. Baru kemarin mereka dapat berkomunikasi lagi. Dan akhirnya terasa seperti panas setahun dikikis hujan sehari.

Takut. Takut perasaannya justru ingin mendekat pada Lie. Takut. Cinta lama bersemi kembali. Takut merilis ulang rasa yang tertinggal karna tak berharap jatuh kelubang yang sama.

Harus diakuinya. Tidak mudah melepas kenangan selama tujuh tahun. Menyusahkan bila terbayang waktu yang terulang. Kejadian demi kejadian seperti merilis ulang kembali kenangan.

Salahnya kenapa harus menjadi terbuka pada seseorang apalagi itu seorang pria single? Justru karna Frans single dia tidak langsung mau menerima. Sayang sekali pria seperti dia mendapatkan wanita yang sudah memiliki anak dua. Dan Pie tak juga menyangka sepertinya anak-anak lebih memilih mereka kembali berempat daripada melihat umi atau abinya bersama dengan yang lain. Benarkah?

"Jangan tutup dirimu, Prilly, aku sudah sering mengatakannya..."

»»»»»»»

"Abiiiiii....umiiiiii....." Qie dan Bie berlarian menuju keluar rumah begitu terdengar suara dan bayangan mobil abinya memasuki halaman.

"Bie, Qie, jangan lari-larian," teriak Alia dari dalam rumah melihat Qie dan Bie bergegas membuka pintu rumah sampai badan mereka berbenturan karna ingin cepat-cepat sampai didepan mobil.

Pulang sekolah Lie menjemput dan mengantar anak-anak ketempat Alia. Ia ada urusan penting yang harus diselesaikan dikantor. Sedangkan Pie pulangnya sore dan Lie berjanji pada anak-anak untuk menjemputnya.

"Lho, umi mana bi?"

Bie terlihat heran sekaligus kecewa melihat abinya turun tidak diiringi umi mereka. Bukankah abi berjanji akan menjemput dan membawa umi kerumah umi Alia.

"Abi telat jemput!"

Lie melangkah diiringi Bie dan Qie yang tiba-tiba kurang bersemangat.

"Umi udah pulang duluan? Naik apa, bi?"

Lie langsung melangkah kedalam rumah dan masuk kedapur, mengambil sebotol air dingin dalam kulkas lalu meneguknya.
Cuaca memang dingin, tapi hatinya sedang panas jadinya ia meneguk air dingin itu tanpa merasa ngilu bahkan sampai hampir setengah botol. Bie tercengang. Qie pun menatap bingung.

Seketika kepala Lie seperti berbara teringat saat tadi ia menjemput Pie, mantan istrinya itu nampak memasuki sebuah mobil yang dibukakan pemiliknya. Dan Lie mengenali pria itu. Pria yang berdiri dengan payung ditangan yang menghalangi mereka melangkah dengan jas Lie yang melindungi tubuh mereka berdua dari rintiknya hujan.
Ia tahu, ia datang terlambat. Itu karna ia baru saja menyelesaikan meetingnya. Kenapa Pie tidak menelpon untuk bertanya atau sekedar basa-basi ingin tahu apakah Lie jadi menjemput atau tidak? Kenapa lebih memilih diantar orang lain daripada harus konfirmasi padanya. Bukankah Pie sudah tahu kalau Bie bilang abi akan memjemput umi. Apakah pergi dengan pria itu lebih nyaman daripada harus menunggunya tanpa kepastian? Lie merasa meradang dan tak terasa melemparkan botol yang ada digenggamannya.

Pranggg!!!
Tanpa sadar botol yang ada digenggamannya itu terbuat dari kaca bukan plastik. Bie dan Qie berlarian ketakutan pada Alia yang mendekat.

"Shiittttttt........." Lie menendang pecahan botol yang berserakan. Dan seperti tak merasa sakit ketika telapak kakinya berdarah.

"Abiiii.....!" teriakan Bie dan Qie terdengar takut dan ngeri melihat darah berceceran.

"Ali? Apa yang kamu lakukan, kamu sudah gila ya??" teriak Alia dengan wajah tak mengerti.

"Kenapa sih Li?" Mamanya mendekat tapi Lie sepertinya tak peduli. Ia berjalan dengan menyeret sebelah kaki dan membiarkan darah berceceran dijalan yang ia lewati.

"Mbak Sanah, bersihin pecahan botolnya cepat, nanti keinjak anak-anak!" Perintah mama pada Mbak Sanah yang dijawab Mbak Sanah dengan cepat membersihkan pecahan botol dan ceceran darah dilantai.

Lie duduk disofa membiarkan kakinya yang terus mengeluarkan darah.

"Bie mau kemana?"

"Mau ngambil hape Bie, Bie mau nelpon umi....." Bie lari mencari tasnya.

"Jangan telpon umi!! Abi nggak butuh perhatian dia!!" Suara keras abinya membuat langkah Bie terhenti.

"Aliii...kenapa harus begitu sih?" Alia bertanya dengan nada tak senang.

"Dia pikir dia siapa? Dia pikir dia bidadari jatuh dari surga yang bikin gue harus ngemis-ngemis jemput dia!!"

"Apaan sih Ali ah, jangan ngomong begitu, kasian anak-anak!" Tergopoh mama membawakan alat p3k.

"Anak-anak juga nggak ada artinya buat dia ma, dia cuma mau mentingin diri dia sendiri aja, mungkin dia nyesel juga kenapa harus ada anak-anak yang memaksa Ali dan dia sama-sama!"

"Ya Allah Li, lukanya dalam dan lebar, darah kamu bisa habis kalau nggak dijahitt..."

"Al, aba mana?"

"Kenapa?" Aba yang mendengar keributan keluar dari kamar dengan kacamata dan kening berkerut.

"Ali luka ba, luka dibikin sendiri..." Alia menjawab aba dengan wajah miris dan ngeri melihat darah yang masih saja tak berhenti walaupun mama sudah menutupnya dengan perban. Mencoba membuat darah tersebut tak mengalir terlalu banyak sebelum dijahit.

"Anterin kerumah sakit ba!" Pinta mama dengan wajah semakin cemas.

"Nggak usah!" ucap Lie dengan wajah keras.

"Li, darahnya nggak berhenti ngalir ini!" Mama berucap lagi.

"Biar saja ma, paling kehabisan darah juga habis umur Ali!"

"Ali? Kamu itu abi lho Li, udah punya anak dua, ingatttt....? Tolong jangan kekanak-kanakan....!"

Lie diam saja akhirnya. Semakin dibantah, semua orang semakin ribut. Dan nyatanya juga bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi?

"Alia, punya kopi?" tanya aba dengan wajah datarnya.

"Yang 3 in 1?" Alia balik bertanya.

"Bukan, kopi hitam, ditutup dulu lukanya pake kopi, aba siap-siapin mobil!"

Lie diam saja ketika semua sibuk mengurusnya. Akhirnya dia merasa stupid. Apa-apaan menyakiti diri sendiri? Tapi itu refleks. Dia tak sadar botol yang dipegangnya botol kaca. Hanya karna merasa marah Pie sama sekali tak menganggapnya? Atau apa ini sebenarnya? Cemburu?

»»»»»»

"Abi luka mi kakinya..." Qie berceloteh ketika Pie menjemputnya disekolah.

"Kenapa?" tanya Pie heran.

Luka? Kenapa tak ada yang bilang? Tadi pagi Pie sempat menelpon Bie bertanya bagaimana kabar mereka? Lalu Bie bilang Qie nggak ada yang jemput sekolah tapi tidak bilang apa alasannya. Kata Bie, eyang bisa jemput Bie jam 1 tapi nggak bisa jemput Qie jam 11. Pie ingin bertanya memangnya abi kemana, tapi urung karna Bie cepat-cepat menutup telpon. Ia tak tahu Lie yang menyuruh Bie menutupnya segera.

"Nginjek beling," Qie menjawab tanya Pie sambil naik kemotor didepan Pie.

Menginjak beling? Dahi Pie makin berkerut.

"Kok bisa?"

"Qie nggak tau, mi, kemarin waktu minum air dingin, abi tiba-tiba melempar botolnya lalu ditendang," Qie mengangkat kepalanya memandang Pie.

Apa? Kemarin? Kenapa Bie diam saja? Tidak ada kabar apa-apa. Bahkan kemarin sore saja handphone Bie tidak aktif.

"Umi nggak mau menengok abi?" tanya Qie.

"Kenapa kemarin nggak ada yang bilang sama umi?" Pie balik bertanya.

Seketika Pie merasa tidak ada artinya. Kenapa mereka diam saja? Apa tak penting memberikan kabar kalau mantan suami atau ayah dari anak-anaknya kecelakaan? Bie juga malah tak mengaktifkan ponsel.

"Mi?" Pie menundukkan wajah menatap Qie yang menunggu jawabannya.

"Qie mau dianter ketempat abi aja, kesian abi jalannya kaki sebelah aja, mi..."

Pie menghela napas karna pertanyaannya tak dijawab Qie. Kenapa tak ada yang mau memberi kabar padanya? Pie tak tahu kalau Lie merasa dirinya tak cukup berarti bagi Pie. Pie lebih memilih pulang bersama Frans dari pada menunggu atau menghubunginya.

"Diapartemen?" tanya Pie akhirnya, suaranya serasa ditelan angin, bahkan telinganya sendiri rasanya kurang mendengar apa yang ia ucapkan.

"Iya, banyak teman abi datang, oma tadi malam nginep, tante Ley juga ada..." jelas Qie diantara deru motor.

"Oh ya?"

Pie tambah kecewa. Kenapa semua orang diberitahu sementara dia tidak?

"Makanya Qie sama kak Bie harus ada didekat abi, daripada teman-teman abi apalagi tante Ley yang nemenin..."

Konsentrasi Pie pecah sudah. Apa yang diucapkan Qie tak sepenuhnya bisa ia cerna lagi. Itukah sebabnya kemarin Lie tidak menjemput dan memberi kabar? Kemarin Pie  menunggu Lie sambil menyibukkan diri dengan pekerjaan supaya Pie tidak harus menjawab pertanyaan Frans, 'kenapa ia belum juga pulang?'.

"Ayo Pril, pulang bareng aku!"

"Bentaran aku masih ada yang dikerjain..."

"Dijemput Ali?"

Pie terdiam saat Frans bertanya seperti itu. Ingin jawab iya tapi Lie juga nggak ada kabar. Lagipula nggak enak sama Frans. Entahlah.
Pie akhirnya menyerah setelah Lie tak ada kabar hingga hampir jam 6. Dan merasa tak ada alasan untuk menolak ajakan Frans.

Siapa yang salah kalau sudah begini? Pie dan Lie tak menyadari kalau ini hanya miss komunikasi. Tak ada yang mau menyisihkan gengsi hanya untuk sekedar menelpon. Tak ada yang mau mengesampingkan ego hanya agar komunikasi mereka lancar. Tak ada yang mau diketahui kalau masih rindu. Tak ada yang ingin diduga kalau masih ada rasa.

"Stupid lo Pril, lo sudah nggak dianggap, jangan berharap sehari bisa mengembalikan semuanya!!"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 20 April 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top