TR*13
Matahari mulai naik dan penerangan lampu mulai berbaur dengan penerangan alami itu ketika Pie, Lie, Bie dan Qie berada disatu meja makan untuk sarapan bersama.
"Umi kerja hari ini?" tanya Bie memecah sunyi saat tidak ada satupun yang membuka suara kecuali suara sendok dan piring yang beradu.
Pie mengangguk. Ia melirik Lie yang sedari tadi masih saja berwajah masam dan sama sekali tak mencoba menatapnya sejak kejadian tadi. Tadi begitu Lie berteriak memanggil dan berlalu dari hadapannya Pie sengaja tak minta penjelasan apa-apa meskipun hatinya penasaran dengan kelakuan Lie. Bukan tidak mau peka tapi tidak mau gede rasa.
Prillyta Magdalena sudah cukup mengenal Aliftrha Narendra.
Mereka saling mengenal sampai sejauh ini hampir 10tahun. Setahun mengenal, setahun berpacaran, tujuh tahun dalam pernikahan dan setahun setelah bercerai. Ia sudah cukup mengenali karakter Lie. Ia tahu Lie sepertinya sedang marah. Marah karna apa? Cuciannya terbengkalai karna ia asik menelpon lalu memperlambat keringnya celana yang ingin dipakai Lie? Atau marah karna meninggalkannya saat sedang minum teh akibat menerima ditelpon dari seorang pria?
Bukan Pie tidak mau peka, selain tak ingin gede rasa, ada alasan apa Lie tak suka dirinya menerima telpon? Mereka sudah tidak ada ikatan apa-apa. Siapapun yang menelpon, Pie merasa tidak harus menolak. Meskipun rasanya tak enak. Haruskah tetap menjaga perasaan? Lie saja tidak menjaga perasaannya ketika membiarkan Ley datang untuk berbela sungkawa. Tapi Pie juga mencoba mengerti, menjaga perasaannya bukan suatu keharusan bagi Lie. Meskipun entah kenapa ia tadi merasa tak nyaman harus didengar Lie saat Frans menelpon.
Tadi begitu selesai menyetrika Pie melihat Lie tersandar di sofa dengan mata terpejam.
"Ini celana kamu..."
Bahkan ketika dia berucap, Lie tak juga membuka matanya. Ia sedang menetralkan rasa panas yang menjalar didadanya. Lie mengutuk dirinya sendiri kenapa harus merasa kesal?
"Lie?"
Lie bergeming.
"Ali?"
Ia tak juga menyahut.
"Alifthra?"
Dia tak bergerak juga.
Pie menghempas napasnya.
"Alifthra Narendra?"
Tak ada sahutan.
"Ab..."
"Ck."
Lie bergerak setelah berdecak.
"Ini ce..."
Sretttt. Lie menarik celananya yang dipegang Pie sebelum Pie menyelesaikan kalimatnya. Lie berlalu dari hadapan Pie dan masuk kedalam kamar.
"Ck. Marah-marah nggak jelas ni orang!"
Pie berlalu dari tempatnya berdiri menuju kamar membangunkan anak-anak yang nampak malas bergerak meskipun sudah dikitik-kitik kakinya. Mereka sempat menolak sekolah tetapi Pie membujuk mereka agar segera mandi. Seragam sekolah Qie sudah siap, sementara Pie baru ingat seragam Bie ada diapartemen Lie.
"Bie, kita pulang ya, ngambil seragam Bie..." Lie berkata memecah sunyi setelah Bie bertanya pada Pie apakah ia bekerja hari ini.
"Sekalian nganter Qie sekolah sama nganterin umi kerjakan, bi?" tanya Qie memyahut.
"Qie umi yang anter ya..." sahut Pie.
"Kenapa nggak ikut sama abi aja mi, kita berempat, nanti biar abi juga yang jemput..." saran Bie membuat umi dan abinya bingung.
Pie merasa tak enak pada Lie yang sedari tadi bermuka masam. Sementara Lie pikir Pie berat ikut bersamanya karna ada yang lebih diharapkan menjemputnya.
"Bie harus ganti baju dulu, kasian nanti terlambat..." Pie beralasan.
"Ohh, kan nggak papa mi, umi main ke apartemen Bie sama abi," balas Bie.
"Qie terlambat nanti, sayang!"
"Nggak usah dipaksa Bie, umi mau dijemput yang lain!" ucap Lie membuat Bie menatap uminya dengan mata bertanya-tanya.
"Benarkah?" Qie langsung merespon dengan nasi yang masih menyumbat mulutnya.
Pie seperti pesakitan sekarang. Apa-apaan Lie? Siapa yang dijemput sih?
"Enggak, siapa yang jemput? Umi pergi sendiri..." sahut Pie cepat.
"Gerimis mi, naik motor nanti basah!" Qie mengingatkan.
"Abi aja nggak niat ngajak umi kok."
"Sembarangan, siapa bilang? Kamu aja yang ogah!"
"Siapa yang ogah? Kamu sedari tadi mencak-mencak nggak jelas."
"Ck. Siapa yang mencak-mencak?"
"Itu, sedari tadi kecut aja tu muka!"
"Kecut gimana?"
"Stopp...jangan berantem!" Qie mengangkat tangannya mengisyaratkan pada orangtuanya yang sedari tadi bersahutan nggam jelas.
"Katanya mau berempat, gitu aja diributin," ucapan Bie mengingatkan mereka saat berebut bantal.
"Kita naik ojek aja, kak Bie," sahut Qie.
"Jangannnn....." sahut Pie dan Lie bersamaan.
"Habisnya gitu aja berantem," ucap Qie.
"Abi kalau didiemin ayatnya panjang soalnya!" Pie tak mau kalah.
"Biarin ah mi, umi diem aja, ikut abi aja pokoknya, kalau nggak Bie mau bolos sekolah!"
"Qie juga!"
Aduh. Kenapa pada mau mogok sekolah sih? Pie dan Lie berpandangan.
"Ya udah sekarang perginya, udah jam setengah tujuh ini, kapan lagi masuk sekolah?" Kata Lie akhirnya sambil berdiri.
Terdengar bunyi handphone Lie diatas meja dan Lie langsung meraihnya.
"Hallo? Ya? Astagfirullah, saya lupa, meeting jam berapa? Ok, ok, thank you diingatkan!"
Lie menepuk jidatnya. Hari ini ada pertemuan khusus dengan mitra kerja yang ingin bekerja sama dan meminta informasi mengenai potensi bisnis yang sedang ia jalankan.
"Kayaknya abi juga sempat masuk kerja, tinggal ganti baju-kan udah mandi!" Kata Pie yang sempat menyimpulkan kalau Lie harus bekerja hari ini dan tidak jadi ijin.
Inginnya didepan anak-anak tidak menunjukkan kalau mereka sedang ada masalah tapi ternyata Lie malah melengos. Pie berdecak jengkel.
Lie juga sebenarnya merutuk dalam hati. Kenapa sampai tak bisa mengendalikan diri? Kenapa sampai merasa marah pada yang menelpon Pie? Bukannya mereka sekarang ini tak ada ikatan apa-apa kecuali Bie dan Qie yang jadi penghubung mereka.
»»»»»»
"Dadah abi, umi sayang, nanti ketemu lagi yaaa...."
"Sayang Qieee....."
Sunyi tak ada suara ketika Lie dan Pie tinggal berdua didalam mobil setelah mengantar Bie lalu Qie. Sebenarnya Pie inginnya dia tak tertinggal berdua dengan Lie karna hanya akan membuat canggung mereka tak bisa menjauh.
Butiran hujan kecil-kecil membasahi kaca mobil yang ada didepan mereka. Pie hanya bisa memandangi ketika rintik itu tergilas dan tersapu penyeka kaca yang menimbulkan bunyi yang sebenarnya tak terlalu berisik jika mereka tak saling diam.
Bunyi telpon Pie mengganggu kesepian mereka berdua. Pie memandang layar telponnya dan menoleh pada Lie.
Frans calling
"Hallo, Pril....
"Ya?"
Sengaja Pie tidak menyebut namanya.
"Kok belum nyampe kantor? Kehujanan? Kenapa juga nggak mau aku jemput tadi..."
"Bentar lagi aku nyampe kok...ini sudah dekat!"
"Kok bisa terima telpon? Naik apa memangnya?"
"Mobil...."
"Mobil? Sama Ali? Tadi yang dirumah kamu itu Ali?"
"Iya."
'Siapa yang menelpon?' Ingin sekali Lie bertanya. Tapi pertanyaannya hanya tercekat ditenggorokan.
'Tadi itu Frans,' Pie juga ingin menjelaskan. Dia ingin bilang dia juga bergaul dengan yang lain sama seperti Lie.
Tetapi Pie merasa apa pentingnya menjelaskan sedangkan Lie saja tidak peduli.
Akhirnya sampai didepan kantor Pie, mereka tetap saja saling sibuk dengan pikiran masing-masing.
Gerimis masih saja terlihat diluar sana.
"Lupa bawa payung waktu dirumah tadi," gumam Pie pada diri sendiri.
Lie juga jadi bingung.
"Sebentar..."
Pie mengangkat telponnya.
"Frans, bisa bawakan aku payung kedepan?"
Lie melebarkan mata tanpa Pie ketahui. Frans? Yang tadi ingin menjemput Pie. Lie menggenggam tangannya dengan wajah keras. Terlihat seorang pria bergegas keluar sambil membuka payung. Lie menyambar jas yang tergantung dijendela mobil yang baru ia bawa karna ada pertemuan hari ini. Keluar dari mobil Lie melebarkan jasnya lalu menutupi kepala dan berlari melewati depan mobilnya menuju pintu dimana Pie duduk.
Pie terheran-heran sejenak dengan yang dilakukan Lie. Kenapa sih dia? Pie heran, bukannya tadi ia sudah mendengar ia minta tolong sama Frans buat membawakan payung?
"Lie, jas kamu basah..."
"Biarin..."
Pie keluar dari mobil dengan dibantu Lie yang menutupi tubuhnya dari hujan dengan jasnya diatas kepala mereka.
"Deketan sini..."
Seketika jantung Pie berdebar-debar. Mereka begitu dekat sekarang. Tanpa jarak dibawah jas yang memayungi mereka dari hujan yang kecil-kecil.
'Masih sama wanginya...' Pie memejamkan matanya sesaat ketika perasaannya kembali dejavu.
Ini pernah terjadi. Ini pernah mereka alami. Saat itu, saat dimana hati masih menempatkan rindunya pada pria yang mendekapnya sekarang dibawah hujan.
"Pril..."
Terlihat seorang pria berdiri dibawah payung menghalangi jalan mereka.
"Dia bersama saya, jas saya cukup menghindarkan dia dari basah..."
»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 19 April 2017
Otw dari Palangkaraya menuju Banjarmasin...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top