TR*12

Selesai mandi dan berpakaian Pie keluar dari kamar dan mengumpulkan baju-baju basah mereka. Sambil memasukkan baju-baju kotor dan basah kedalam mesin cuci, Pie melongok kedalam kamar mandi didekat mesin cuci yang telah dipersiapkan untuk mencuci sendiri tanpa harus ditangani tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang disana. Pie mendorong pintu kamar mandi. Ternyata benar-benar tidak ada orang. Kemana Lie?

Pie melangkah menuju ruang tamu. Tidak ada. Ah, mungkin sudah masuk kedalam kamar Qie. Pikir Pie. Dan ia hanya berdiri mematung didepan pintu kamar Qie tanpa menurunkan handlenya lalu melangkah meninggalkan kamar itu.

Kembali kedapur dan melewati pintu yang menghubungkan ketaman belakang, Pie melihat bayangan dari jendela kecil tertutup gorden disamping pintu yang tertutup. Pie menyibak gordennya.

"Sedang apa dia?"

Pie melihat Lie sedang menyemprot tanaman mawar didepannya. Lalu menyemprot sekumtum bunga yang mekar, mungkin agar terlihat segar.
Pasti dia teringat saat dia memberikan bibitnya. Pie menghela napas. Antara ingin menyuruhnya masuk karna diluar masih gerimis.

"Belum mandi juga?" tanya Pie setelah ia membuka pintu dan Lie menolehnya.

"Sudah, tadi selesai mandi nggak sengaja ngintip kesini, pingin temu kangen sama ini!" Lie menunjukkan sekumtum mawar yang baru saja dipetiknya.

Lie berjalan menuju kearahnya sambil menggenggam tangkai bunga mawar itu.

"Udah nggak tau lagi ini bunga yang keberapa yang berhasil mekar..." ucap Lie menunjukkan mawar yang baru saja dipetiknya.

"Ya, nggak bisa dihitung'..." sahut Pie.

"Ini sudah milik kamu, maaf lancang memetiknya."

Lie meyerahkan mawar itu pada Pie dan menatapnya dalam-dalam.
Pie menerima bunganya hingga tangan mereka seakan saling menggenggam.

"Tak menyangka masih dirawat'.." ucap Lie membuat Pie merasa ucapan Lie salah.

Sebenarnya bunganya tidak dirawat dengan baik. Hanya disiram saja tanpa di semprot pestisida. Terkadang keringpun tak sempat menggunting. Tapi tanaman itu tak mati-mati. Mungkin seperti cinta pada yang memberi bibitnya yang tak mau segera pergi dan mati meski sudah tak ada lagi disisi.

"Maaf..." lirih suara Pie dan sebenarnya ia tak berani menatap pria didepannya.

"Kenapa?" Lie bertanya dengan nada lirih yang sama.

"Sebenarnya bunganya tidak begitu terawat," jujur Pie.

"Tapi masih tetap hidup?" Lie berkata dengan nada tanya lagi.

"Ya, maaf!" sesal Pie diiringi anggukan. Sesalnya untuk tidak terlalu merawat. Sedangkan untuk tetap hidup, Pie tak menyesali itu.

Pie menahan napas saat Lie menatapnya. Pie siap disalahkan. Dimarahi. Dicaci lagi karna mungkin Lie akan menganggap tak menghargai pemberiannya. Atau menganggap membuang jauh-jauh perasaannya. Bahkan ketika Lie menarik kembali mawar dari tangannya Pie sudah pasrah.

"Berarti dia masih ingin berada disini!"

Tapi dugaan Pie sepertinya salah. Ketika Lie mematah tangkainya ia tak menduga mantan suaminya itu akan  menyelipkan mawar tersebut ditelinganya.

"Mawarnya masih ingin diselipkan ditelingamu makanya tetap hidup, tak bisa mati seperti..."

Duuupppp!
Kalimatnya terpotong dan pandangan mata Lie dan Pie yang saling menatap terhalang gelap yang tiba-tiba karna listrik yang tadinya membuat lampu menyala sepertinya berhenti mengalirkan daya hingga lampu tak lagi menyala.

"Umiiiiiii........"

"Abiiiiiiii........"

Teriakan Bie dan Qie membuyarkan pendengaran mereka yang tadinya mulai sepi suara. Hanya detakan jantung. Dan Pie merasakan tangan Lie yang menyentuh bahu setelah menyelipkan mawar melonggar dan menariknya menuju kedalam rumah didalam gelap.

"Masih takut gelap?"

"Baru kali ini listriknya ngambek!"

"Nggak diisi pulsanya?"

"Ya, aku lupaa nambah pulsa..."

Mereka meraba-raba jalan menuju kamar mereka dulu dimana ada Qie. Tadinya tangan Pie mencengkram erat lengan Lie tapi pada akhirnya Lie menggenggam tangannya menyusuri ruangan gelap. Pintu kamar terdengar terbuka dan terdengar lagi teriakan.

"Umiiiii......" teriakan panik Qie disusul pintu disudut tempat Bie tidur terdengar dibuka.

"Abi?" Suara dengan nada pertanyaan setengah berteriak terdengar.

"Iya, diam ditempatnya masing-masing, abi dan umi kesana..." teriak Lie.

"Kamu ingat dimana menaruh senter?"

"Dilaci nakas."

Didepan pintu kamar, mereka menemukan Qie yang langsung memeluk erat.

"Takut gelap...." ucap Qie.

"Iya sebentar, kita nyari senter!" Lie berkata menenangkan Qie. Ternyata anak-anak sama kayak uminya takut gelap.

"Umii? Abi?"

Ternyata Bie berhasil sampai didepan kamar. Akhirnya berempat mereka mencari-cari dimana nakas berada karna gelap.

"Ini dia ... " ucap Pie sambil langsung menyalakan senter.

"Tas aku tadi dimana? Biar bisa isi pulsa token disms banking!"

Lie mencari-cari tasnya dengan senter yang dipegang sementara Pie, Bie dan Qie mengikuti sambil terus saling menggandeng satu sama lain.

"Diatas meja ruang tamu tadi!" tunjuk Pie.

"Udah aku pindahin ke kamar Bie," ingat Lie.

Akhirnya mereka sampai dikamar Bie dan mendapati tas Lie yang berada diatas tempat tidur. Lie membuka tas dan mendapati handphonenya mati.

"Ck. Low batt ... " Lie berdecak melihat ponselnya tak bisa digunakan dan tak bisa juga di charge.

"Nggak bisa ngisi pulsa token?" ulang Pie seperti pada diri sendiri.

"Gelap-gelapan dong kita, bi?" Bie ikut bertanya.

"Ada senter kok, yuk kembali ke kamar..." ajak Lie pada Bie.

"Tidur berempat ya mi?" Pertanyaan Qie membuat Bie berucap setuju.

Akhirnya mereka kembali tidur berempat. Bie dan Qie sepertinya masih kelelahan dan mengantuk hingga tak lama akhirnya tertidur kembali diapit Pie dan Lie seperti dirumah Alia. Mungkin juga mereka merasa aman karna abi dan umi berada disisi mereka walaupun dengan penerangan yang seadanya.

Dibawah selimut yang sama, Pie dan Lie akhirnya ikut tertidur dengan bibir yang sama ditarik mengukir senyuman saat punggung tangan mereka bersentuhan ketika memeluk anak-anak yang tertidur pulas.

»»»»»»»

"Udah bangun aja?" Lie mendekati Pie yang sedang duduk dikursi meja makan.

"Iya, azan subuh aku nyari tas aku, aku lupa ada power bank buat ngisi battre hape trus buat sms banking ngisi pulsa listrik, lupa juga ada cucian didalam mesin cuci..."

Ya, tadi malam lupa segalanya. Karna gelap jadinya Pie nggak kepikiran mencari tasnya. Lagipula tubuhnya juga terasa lelah jadi begitu diajak anak-anak berbaring ia langsung saja ketiduran.

Ponsel Pie sebenarnya masih ada sisa daya tetapi kemarin sengaja silent. Quality time tanpa handphone jadinya nggak ada terdengar bunyi notifikasi apa-apa. Begitu dibuka sisa daya sudah low, untung saja ada power bank, jadi bisa mengisi daya dan segera mengisi token listrik dengan sms banking.

"Minum teh dulu, tadi pagi-pagi aku merebus air, dispenser nggak berfungsi soalnya karna listrik mati!" Pie menunjuk teh panas yang sudah menjadi hangat dihadapannya dan mengisyaratkan agar Lie duduk tepat didepannya.

Lie duduk dengan sedikit susah karna sejak tadi malam hanya handuk yang menutup pinggang kebawahnya. Tidurpun jadi gelisah.

"Sebentar lagi cucian kita dikeringkan, nanti celana kamu aku setrikain ya..."

"Iya, sabar menunggu!"

"Anak-anak sekolahkan hari ini?"

"Sekolah aja, nanti aku yang anterin, aku ijin aja deh ngantor!"

"Ijin terus nggak papa?" tanya Pie mengkhawatirkan pekerjaan Lie mungkin terbengkalai karna jumat lalu kan mereka sudah ijin.

"Kamu tau sendirikan, dikantor itu yang penting hasil, lagian cutiku masih ada!" tukas Lie.

"Tapi jangan kebanyakan bolos juga dong..." Pie mengingatkan.

"Habis gimana dong, baju kerja aku semuanya diapartemen, masa aku balik ke apartemen handukan?" Lie membela diri.

Pie tertawa mengambil cangkir teh dan tatakannya lalu memberikannya pada Lie.

"Keburu dingin, nanti kurang enak!"

"Makasih..." Lie menerima secangkir teh hangat itu lalu menyesapnya. Hangat. Masih enak kok apalagi sambil memandang dia, rasanya tambah manis. Eh! Lie tersenyum tak jelas dibalik cangkir yang disesapnya.

Drrttt....
Getaran sekaligus bunyi ponsel yang berada disamping tangan Pie terdengar.
Pie melirik handphonenya lalu mengangkat dan memandang layarnya.

"Ya Frans?"

"Morning!"

"Ya morning!"

"Kok kemarin chatt aku nggak dibaca-baca, telpon juga nggak diangkat-angkat?"

"Iya, kemarin jalan-jalan sama anak-anak, dilarang main handphone..."

"Ohh..."

"Maaf ya nggak sempat jawab pesan kamu, tadi juga baru sempat di read-!"

"Nggak papa, aku jemput kerja ya!"

"Ja...jangann!"

"Kenapa? Aku kangen sama kamu, kamu enggak ya?"

'Ck. Siapa sih subuh-subuh menelpon?' Lie menggerutu dalam hati melihat Pie asik dengan telponnya sekarang.

"Iya sih, tapi nggak usah jemput aku deh,"

"Kenapa emangnya?"

"kan kita nanti ketemu dikantor."

"Ada anak-anak kamu ya?"

"Bie dan Qie masih tidur...."

Pie berdiri dari kursi meja makan. Seketika ia gelisah. Melangkah sambil masih memegang handphone yang tertempel ditelinganya. Pie mencengkram teralis jendela dimana terlihat tanaman mawar basah oleh percikan hujan tadi malam, bahkan tadi malam Lie masih saja menyiramnya karna yang mengenai tanaman hanya biasannya seperti matahari yang mulai menyeruak sekarang.

Lalu Pie teringat mawar yang diselipkan dirambutnya ternyata jatuh didepan kamar saat mati lampu dan baru disadari saat lampu sudah menyala subuh tadi. Seketika Pie menyentuh telinganya teringat mawar yang sempat menyelip disana. Entahlah, dadanya terasa mengilu.

Sementara Lie mulai curiga dengan penelpon yang sedang menelpon mantan istrinya. Siapakah? Kenapa harus terlihat gelisah? Mau menjemput? Lie berdiri dari duduknya. Mendengar suara mesin cuci yang tak dikenali apa artinya?

"Piee....ini cucian kamu diapain lagi ini?"

Sengaja Lie mengeraskan suaranya agar penelpon yang tadi sempat terdengarnya disapa Frans itu mendengar juga suaranya.

"Siapa itu?"

Benar saja. Suara Lie terdengar oleh penelpon yang langsung bertanya pada Pie.

"Udah dulu ya Frans, aku sedang mencuci."

"Mencuci?"

"Mbak Dara belum masuk udah seminggu pulang kampung, jadi aku yang mencuci!" Jelas Pie menjawab keheranan suara disebrang sana.

"Trus tadi siapa?"

"Umiiii, cuciannya nihhh...aku pingin pake celana, nggak enak dari semalam handukannnn!!" Lie terdengar makin sengaja mengeraskan suara dan menekan ucapannya agar sipenelpon makin jelas mendengar kalimatnya.

Pie melebarkan mata mendengar teriakan Lie yang dengan sengaja  makin keras saja itu. Apalagi menyebut-nyebut celana dan handukan.

"Pril?"

Cepat-cepat Pie menutup telpon tanpa menjawab tanya disebrang sana lalu melangkah terburu-buru mendekati mesin cuci dan Lie yang seakan sudah menunggunya disana.

"Kenapa sih Lie teriak-teriak nggak jelas?"

Lie memandang Pie sebentar lalu bukannya menjawab malah berlalu dari hadapan Pie dengan wajah masam.

"Kenapa sih dia? Disamperin malah walk out...?"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 17 April 2017

Cemburu ya, Pak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top