TR*10

"Umi...umi, coba lihat....."

Pie mendekati Qie yang sedang menggambar diatas meja lipat dikarpet samping tempat tidurnya.

"Gambar ini baguskan?" tunjuk Qie dibuku yang sedang digambarnya itu.

"Gambar apa sih?"

Pie menengok buku gambar yang sedang dicoret-coret Qie. Matanya sedikit melebar tapi setelahnya tersenyum.

"Ini umi, ini abi, trus Qie sama kak Bie ada disebelah-sebelahnya..."

"Kenapa bukan Bie dan Qie yang diapit umi sama abi?"

"Umi sama abi jangan dipisahin dong biar bisa gandengan."

"Ohh..."

Pie mengacak rambut Qie. Lucu. Anak kecil aja tahu gandengan. Kalau gandengan bagi mereka tentu adalah kebahagiaan. Artinya orangtuanya damai. Biasanya anak bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orangtuanya. Bertengkar tidak dihadapannya saja, anak-anak bisa tertekan karna akan terasa dari sikap orangtuanya, apalagi kalau bertengkar didepan mereka, mentalnya bisa terganggu karna sikap saling membenci orangtua yang nampak didepan matanya. Tak ada anak yang ingin orangtuanya saling bermusuhan.

"Kak Bie sama abi kok lama ya mi?" Qie mengangkat wajahnya dari buku gambar yang sekarang diwarnainya.

"Masih dijalan katanya, barusan kak Bie menelpon on the way dari apartemen abi..." jelas Pie sambil memberikan splash cologne baby buat Qie supaya segar.

Tadi pagi mereka pulang ketempat masing-masing untuk menyiapkan baju yang adanya ditempat mereka. Ditempat kak Alia tak ada baju ganti. Baju Bie dan Qie terbatas disana tapi untung masih ada karna mereka kan pernah menginap dan jalan-jalan sama kak Alia dan almarhum kak Awi. Apalagi Pie kan disana memakai baju Alia, begitupun Lie memakai baju kaos milik almarhum kak Awi. Jadi memang lebih enak pulang sambil absen ngelihatin tempat tinggal masing-masing.

Brummm!

"Tu dia abi sama kak Bie......" Qie bergegas membereskan buku gambarnya.

"Umi, ini boleh dibawa nggak? Qie mau kasih lihat abi dimobil..."

"Ya, bawa aja, sayang!"

Pie menggandeng Qie keluar dari kamar menuju pintu rumah. Didepan pintu Bie sudah mengagetkan mereka dengan teriakannya. Sepertinya dia sangat gembira. Tentu saja, karna ini adalah jalan-jalan berempat mereka setelah sekian lama tak bersama-sama.

"Umiiiiiii.....adikkkkkk......."

Qie dan Bie berpegangan tangan sambil meloncat-loncat.

"Udahan lompat-lompatannya, buru masuk mobil, sayang!" perintah Pie.

Qie dan Bie berlarian membuka pintu belakang.

"Adik, kita dibelakang aja, biar umi depan ya sama abi..."

"Siap boss!!"

Pie menggeleng. Teringat dulu mereka suka berebut duduk didepan disampig abinya, sampai Pie  mengalah duduk dibelakang. Meski didepanpun selalu Qie merayap pindah kedepan minta pangku.

"Abiiiii....." sapa Qie ketika masuk kedalam mobil dan Pie membuka pintu depan.

"Iya sayang?" Lie menoleh kebelakang menjangkau kepala Qie dan mengacaknya.

"Itu ada umi..." kata Qie melihat uminya membuka pintu dan bersiap masuk mobil.

"Iya, hai umi!"

"Ha..haii...."

Ck. Pie merutuk dalam hati, kenapa jadi gagap sih?

"Tasnya taruh dibelakang mi..." Lie membuka pintu dan Pie pun ikut turun membuka bagasi dan menaruh tas berisi baju ganti dan handuk Qie disana lalu sama-sama menutupnya.

"Demi anak-anak, please, kita harus bisa dapet chemistry....."

Haihh chemistry. Ternyata bukan cuma artis yang sedang main sinetron yang mencari chemistry biar feel-nya dapat. Merekapun juga harus mendapatkan chemistry. Pie mengalihkan arah pandangnya yang sempat terpaku pada mata Lie yang berkata dengan nada meminta. Cepat-cepat Pie melangkah menuju pintu depan lagi setelahnya. Bagaimana ini? Rasanya masih canggung. Tapi mereka berusaha seakan-akan semuanya baik-baik saja. Mereka akan bersandiwara agar anak-anak bahagia.

"Yukk, let's gooo....."

"Let's gooo, abiii....umiii....yeayyy...."

Pie menoleh anak-anaknya. Senang melihat mereka bisa ceria karna kebersamaan mereka hari ini.

"Pantaiiii....we are comingggg!" teriakan Pie sambil mengangkat dan menggenggam kedua tangannya mendapat sambutan sorakan lagi dari Bie dan Qie.

Sepanjang perjalanan Bie dan Qie berceloteh mengomentari apa yang mereka lihat dijalan. Mereka mampir sebentar di minimarket membeli snack dan minuman untuk perjalanan mereka yang dicapai kira-kira satu jam.

"Abi...abi, coba lihat gambar Qie...."

Qie juga sempat menunjukkan gambar yang tadi ia buat pada abinya lalu disambut acungan jempol sambil menoleh dan bertemu pandang dengan uminya.

"Bagus nggak? yang ini abi dan umi gandengan..."

Qie menunjukkan gambarnya. Abinya menoleh mencoba melihat sambil sesekali melihat kearah jalan.

"Ya bagus, hebat anak abi!"

"Nanti dipantai gandengan ya kita bi kayak digambar Qie..."

"Nggak usah nunggu dipantai juga abi dan umi bisa gandengan, ya kan umi?"

"Ii...iyaaa....."

Lie mengangkat tangan kirinya dan meraih tangan Pie lalu menyelipkan jari mereka. Mendadak darah Pie seperti hiatus mengalir sejenak lalu setelahnya alirannya seperti tak terbendung saking cepatnya.

"Nah gitu dong gandengan, Bie bisa bobo nyenyak ni, tar kalau nyampe baru bangunin kita ya mi..." Bie memeluk bantal barca yang ia bawa tadi dari apartemen abinya.

"Kak Bie tukeran dong bantalnya masa Qie bantal doraemon, doraemonkan buat cewek..."

"Siapa bilang cuma buat cewek?"

"Yakan doraemon senengan umi, barca senengan abi, abi sama Qie sama cowok, jadi Qie pake barca aja..."

"Nggak ah, sama aja juga..."

"Akk kak Bie, siniin barcanyaa..."

"Enggak!"

Bie dan Qie akhirnya berebut bantal. Saling tarik menarik dari ujung ke ujung. Tak ada yang mau mengalah.

"Kok jadi rebutan begitu sih? Sama aja lho bantalnya udah punya satu-satu....." Pie menoleh kebelakang sementara selipan jarinya dan Lie sudah lepas ketika Lie membelokkan arah mobil.

"Kak Bie mi, nggak mau tukeran!"

"Ini kan Bie yang bawa mi dari rumah abi!"

"Stttt...udah...udah, Bie ngalah ya sama adik..."

"Nggak, ini Bie yang bawa!!"

"Tapi Qie mau barcaaa......."

"Ini mau jalan berempat tapi gitu aja diributin, kenapa sih?" Lie ikut menoleh kebelakang.

"Kalau nggak ada yang mau ngalah, putar balik aja, bi!" ucap Pie mengancam Bie dan Qie.

"Jangannnnn......" serentak mereka menjawab.

"Makanya jangan apa-apa diribetin, salah satunya ngalah coba..." lanjut Pie membuat mereka saling menyalahkan.

"Kamu sih...."

Meski begitu akhirnya Bie mengalah memberikan bantalnya lalu mengambil bantal yang lain.

"Ck. Ada-ada ajaa..." Pie berdecak dan  menggeleng. Berantem gara-gara bantal.

"Jauh kangen, deketan berantem!" gumam Pie lagi. Lie menolehnya, mulai lagi deh ngomel. Apa-apa ngomel.

"Sama kayak kita nggak sih? Jauh kangen, deketan berantem?"

"Apa? Siapa yang kangen?" Pie mendelik kearah Lie. Lie malah tertawa.

"Tuhkan matanya ngajak perang..."

"Kamu sihhh..." sungut Pie.

"Iya, iya, akuu yang salah..." Lie mengangkat tangannya menggesek wajah Pie dengan telapak tangannya.

"Ishhh ..... " Pie melempar tangan Lie diiringi tawanya yang panjang karna wajah Pie sangat lucu dimatanya.

Perjalanan kali ini benar-benar membuat jantung Pie berantakan dibuatnya. Apalagi tak lama Bie dan Qie tak terdengar lagi suaranya dan begitu ditengok terlihat mereka sudah tertidur. Hening diantara mereka. Beberapa kali Pie membetulkan letak duduknya gelisah. Memejamkan mata juga ternyata sulit. Pandangannya lurus kedepan tetapi terkadang tanpa sengaja menoleh pada Lie dan ternyata Lie juga begitu. Akhirnya mereka sama-sama tertawa kecil. Mentertawakan canggung yang tak juga beranjak menjauh.

»»»»»»

Bie dan Qie berlarian dibibir pantai mengejar Abi mereka. Tawa mereka terdengar berderai begitu dapat menangkap dan menggelayutinya. Dari gajebo Pie tersenyum kecil melihatnya. Bajunya setengah basah karna tadi sempat disiram Bie dan Qie ketika berada dipinggir pantai.

Tadi mereka juga sempat jadi bulan-bulanan Bie dan Qie karna kalah bermain.

"Umi, abi... kita main closed to eyes games ya," kata Bie.

"Gimana caranya?" tanya Lie antusias.

Bie menjelaskan permainan yang katanya kemarin disekolah dimainkan saat olahraga.

Bie dan Qie menutup mata abi dan uminya lalu dalam keadaan yang seperti itu mereka harus mencari dengan meraba-raba beberapa meter kedepan sampai garis finish yang sudah dibuat Qie.

"Umi mencari Qie, Abi mencari Bie ya, nggak boleh ngintip," pesan Bie.

"Habis muter-muterin umi sama abi kita lari ke garis finish didepan, trus abi dan umi cari kita ya..." kata Bie lagi. Lie dan Pie mengangguk paham.

"Jangan ngintippp..." pesan Bie lagi lalu memutar-mutar badan Lie agar hilang fokus. Begitupun dengan Qie dia memutar badan Pie lalu mendorongnya maju. Anak-anak itu berlarian kegaris finish sambil menyemangati umi dan abinya yang sekarang melangkah dengan mata tertutup dasi abi mereka yang didapat Bie dimobil tadi.

"Yang kalah basah yaaa......" teriak Bie dan Pie dan Lie menajamkan telinga melangkah maju.

"Umiii, maju miiii.......sampai finish miii.....!"

"Semangat biiii, maju terus sampai finish...awas tabrakannnn..."

Duggg.....
Sudah diperingatkan tetap saja tabrakan. Bie dan Qie malah tertawa kesenangan melihat tabrakan maut kedua orangtuanya. Mereka malah menyongsong dan menabrak umi dan abinya dan mendorong kepantai.

"Jangannn....umi nggak mau basahhh!" tolak Pie begitu terdorong kepantai.

Pie tidak berniat ikut basah jadi tak membawa baju ganti meskipun ia membawa baju ganti buat Qie. Pikirnya kan nanti langsung pulang. Tapi ternyata, Bie dan Qie berhasil memberi kode pada abinya untuk menarik dan akhirnya abi mereka tiba-tiba mengangkat tubuh uminya dan berlari mengejar ombak dengan  kekagetan Pie yang luar biasa.

"Ahhh, nggak mau basah, ihh turunin, turunin abiiiii......" Pie melonjak-lonjak digendongan Lie yang akhirnya jatuh dipasir sebelum mencapai pantai.

Suara tawa Bie dan Qie semakin ramai melihat Pie menindih Lie. Pantai seakan milik mereka. Tak peduli beberapa keluarga juga meramaikan pantai dihari libur itu. Pie ingin segera beranjak dari atas tubuh Lie dengan dada yang berdetak lebih cepat dan napas yang tersengal. Setelah sekian lama tak merasakan kebersamaan, kini mereka melupakan kecanggungan.

'Hanya sandiwara, Pi,' bisik hati Pie saat matanya beradu pandang dengan mantan suaminya dengan dasi bekas penutup mata mereka yang sama-sama masih melilit dileher.

Tapi usaha Pie untuk beranjak dari tubuh keras dengan dada yang masih terasa empuk itu sepertinya belum berhasil karna Bie dan Qie sudah menindih tubuh mereka berdua hingga tak bisa bergerak.

"Yeayyy, kita menanggggg......" suara Qie terdengar riang.

Sementara orangtua mereka merasakan tubuh mereka sama-sama seperti tersengat aliran listrik 1200watt karna saling merapat dan memeluk. Isi dada mereka sama-sama terasa saling bergemuruh karna detakannya tak juga bisa normal hingga mereka menyadari ini hanya sedang berpura-pura setelah sempat sudah lupa dengan kepura-puraan.

Dibawah tindihan Pie, Lie seketika teringat dulu merekapun pernah seperti ini. Pie pun seketika teringat  hal yang sama. Saat masih berdua saja dan belum ada anak-anak diantara mereka. Mengejar ombak yang datang lalu basah bersama. Jatuh dipasir pantai lalu saling memeluk dan berkata cinta. Dan itu dulu, tanpa  anak-anak yang membuat mereka harus mendekat, saat cinta masih sama dan saat rasa sedang memenuhi dada karna asmara yang membara.

Itulah sebabnya setelah mereka bebas dari suasana yang membuat mereka kembali ke masalalu, Pie memilih menunggu mereka digajebo sambil membenahi perasaannya yang seketika dejavu.

"Kenapa bukannya dapet chemistry  malah semakin susah move on?"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»
Banjarmasin, 15 April 2017

Diantara langit Senja dikota seribu sungai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top