TR*1

~PRILLYTA~

Setangkai mawar merah yang jatuh ketanah membuatku meraihnya. Kucium mawar itu. Wangi. Dan wangi itu seakan menyeruak masuk kedalam rongga dada ketika aku menghirupnya sambil memejamkan mata.

"Aku bawa bibit mawar nih sayang, supaya taman belakang ada warnanya trus tambah seger juga, rawat yaaa....."

Aku membuka mata, melirik tanaman simbol kasih sayang itu. Ujung-ujungnya terlihat mengering. Harusnya aku rajin mencek bagian daun dan ranting secara rutin supaya tidak ada bagian yang kering lalu memangkasnya menggunakan gunting yang tajam supaya tanaman penuh kenangan ini tidak rusak setelah yang membawa bibit tak lagi menjadi bagian dari hari-hariku.

Menyiram seadanya, tak dipupuki lagi, dibiarkan saja tanpa takut tanaman itu terserang hama meskipun seharusnya menyemprot pestisida dalam kurun waktu 1-2 kali satu bulan. Bukan karna tak peduli pada orang yang memberikannya sehingga tanaman yang ditinggalkanpun harus menjadi korban. Tetapi begitu melihat mawar-mawar ini selalu saja membuat aku teringat padanya dan itu membuat dadaku nyeri.

Anehnya dengan hanya disiram seadanya tanaman mawar yang menghiasi taman belakang rumah kami lebih tepatnya sekarang menjadi tempat tinggalku tanpanya itu tetap hidup meskipun ujung-ujung daunnya sedikit mengering.

"Mawar ini lambang kasih sayangku sama kamu..."

Suaranya seakan menggema saat dia menyelipkan sekuntum mawar merah itu ditelingaku ketika pertama kali berbunga. Dan itu dulu saat semuanya masih terasa indah...

"KALAU NGGAK ADA ANAK-ANAK GUE NGGAK BAKALAN MAU SAMA-SAMA LO LAGI, GUE UDAH NGGAK RESPECT SAMA LOO!!"

"YA UDAH PERGI SANA!!! GUE JUGA  NGGAK BUTUH LO, JANGAN LO PIKIR LO HEBAT KARNA LO MERASA UDAH NGGAK BUTUH GUE!!"

"Umiiiiii.....Abiiiiii....stopp berantem, pleaseeee!"

Kurasakan ada air yang mengalir dari sudut mataku ketika aku berkedip untuk menghilangkan bayangan kelam itu. Hari dimana kata-kata manis sudah tak terdengar ditelinga lagi. Hari dimana seakan-akan sudah tak ada lagi cinta. Hari dimana komitmen pernikahan sudah tak lagi menjadi pegangan hidup kami. Hari dimana ego bermain diatas segalanya. Mawar tanda kasih sayang sedikitpun tak menebarkan kasihnya dihari itu. Bukan salah mawarnya, tapi salah emosi yang sudah memuncak diubun-ubun.

"Umiiiiiiii......."

"Abiiiiiiiii......."

Dan pernikahan kamipun berakhir melewati tahun ketujuh.

»»»»»

Sreekkkkkk....
Kubuka gorden kamar berukuran 4x3 itu.

"Qieee....bangun sayang!"

Qie mengerjap-ngerjapkan matanya. Putraku yang berumur lima tahun itu terlihat mencoba membuka mata meskipun sepertinya berat.

"Masiii ngantukkkk..."

"Kan harus sekolah sayang..."

Tak ada reaksi. Qie nampak memejamkan mata lagi.

"Qieee......." Aku duduk ditepi tempat tidurnya. Selalu begitu kalau waktunya sekolah. Pasti bangunnya susah. Anehnya kecuali hari minggu atau hari libur nasional, anak itu bangunnya lebih cepat dari biasanya.

"Al Sauqie Narendraaaa......" Aku menyebut nama panjangnya, mengusap wajah, mencubit kecil, menciumi pipinya bau khas anak kecil lalu menggelitiki telapak kakinya karna tak berhasil juga membangunkan anak itu.

"Umiiiiiiii......mmhhh..." akhirnya dia sedikit bergerak dan berusaha membuka matanya kembali.

"Ayo dong bangunnn, mandi, sarapan, sekolah yaa," bujukku.

Setiap pagi seringnya begitu. Seperti tanpa semangat jika sekolah. Padahal aku juga harus bersiap-siap pergi bekerja sambil mengantar Qie sekolah. Aku harus menyelesaikan diriku dulu baru membangunkan Qie. Terkadang aku terlambat sampai dikantor karnanya.

Siap didepan meja makan handphoneku berbunyi...

Bie my princess

"Halo sweethearth...!"

"Ini aku..."

Aku terkesiap dan refleks menjauhkan handphone dan melihat kembali layar handphoneku. Kenapa suara dia? Aku menyerahkan ponsel pada Qie.

"Qie...Abi!" Bisikku dan Qie langsung menyambar ponsel yang aku serahkan tanpa bicara apa-apa dulu pada penelpon itu.

"Abii, I miss youu!"

"......"

"Sarapan sama Umi!"

"......"

"Banyak makannya dong, abi dimana?"

"......"

"Curang, nggak ngajak Qiee!!!"

"......"

"Umi, Qie mau diajak abi sama kak Bie pergi, boleh?"

"......"

"Ini mi, abi mau ngomong!" Qie berkata padaku tapi handphone masih dia lekatkan ditelinganya.

"Bilang aja iya, jemput Qie sekolah jam 11, berarti umi nggak jemput Qie ya hari ini!" Aku langsung saja menjawab seakan minta sampaikan pada Qie kalau aku mengijinkan. Pasti Abinya juga mendengar ucapanku. Rasanya tak ingin mendengar suaranya ditelingaku. Karna suaranya saja akan menjalar masuk kegendang telinga lalu akan membuat perasaan ngilu yang pasti akan merambat kejantung yang membuat dada menyeri. Sakit.

"Abi mau bicara....!"

Aku mengibaskan telapak tanganku.

"Nanti kalau sudah jemput Qie, suruh kak Bie telpon umi yaa, yukk sekolah!"

Aku mengambil ponsel dari tangan Qie yang terulur padaku setelah mengatakan apa yang kukatakan pada Abinya. Entahlah. Masih sulit bagiku bila disuruh bicara padanya. Kurasa tak banyak juga yang harus dikatakan. Biasanya jika terpaksa paling aku tak pernah membahas apa yang dia katakan. Cuma iya dan iya saja jawabanku.

'Kukira dulu kamu itu cinta sejatiku, yang takkan pernah meninggalkan bahkan walau hanya sekedar kata perpisahan, ternyata aku salah, takdir membawamu menjauh dan awalnya itu sangat menyakitkan....'

»»»»»

~ALIFTHRA~

"Abi, besok libur kita kemana? Ajak adik yukk!!"

"Ayooo....coba Bie telpon adik!"

Gadis kecil yang dipanggil Bie itu meraih ponsel yang ada diatas meja disebelah piringnya lalu memencet layar.

"Bie mau selesain makan, tolong Abi aja yang bicara ya..."

Aku meraih handphone Bie yang masih tergeletak setelah dia memencet layarnya.

"Halo sweethearth...!"

Jantungku sepertinya langsung berdetak dua kali lebih cepat mendengar suara disebrang sana. Sweethearth. Teringat ketika dia dulu mengangkat telpon untukku dengan sapaan itu. Aku tau dia menyapa Al Bienna Narendra. Putri kami yang berumur tujuh tahun karna ponsel yang kupegang adalah ponselnya.

"Ini aku..."

Aku tahu dia pasti terkejut kenapa tiba-tiba aku yang menelpon padahal harusnya Bie. Qie memang selalu memainkan ponsel milik uminya yang menjadi mainannya jika dirumah tetapi tidak menjadi pegangannya saat sekolah atau uminya bekerja. Makanya kalau menghubungi Qie melalui nomer yang sekarang kami hubungi.

Kudengar dia sepertinya menyerahkan handphone pada Qie. Bahkan ketika aku bilang aku ingin meminta ijin padanya dia hanya menyahut dengan suara yang terdengar jauh. Aku mampu mendengar suara dan pesannya meskipun samar, tetapi kenapa tidak mau secara langsung? Kenapa masih saja begitu meskipun waktu sudah setahun berlalu?

"Abii, Bie kangen kita kumpul jalan-jalan," Bie berkata selepas aku menutup telpon,"bertiga itu ada yang kurang bi, harusnya berempat...."

Aku memandang anak pertama kami yang sedang membersihkan mulutnya dengan tissu.

"Udah selesai? Baiklah abi antar Bie sekolah, nanti siang kita jemput Qie disekolahnya."

"Abiiiii......."

Aku melihat Bie menatapku dengan pandangan memohon.
Aku tahu aku tak menghiraukan apa yang dia bicarakan. Dia mau jalan-jalan berempat. Berempat dengan uminya. Aku tahu anakku merindukan kebersamaan kami yang hilang selama setahun terakhir ini. Tapi mau bagaimana, uminya saja menolak bicara padaku.

"Abiii, please....."

"Ya, kita jalan-jalannya berempat!" Akhirnya aku berkata seperti itu hanya untuk menenangkan hatinya.

"Asikkkkkkk......"

Aku senang melihat tawanya. Bie dan Qie adalah kebahagiaanku. Membagi dan memisahkan mereka adalah keterpaksaan.

"Qie mau sama umi aja, Qie mau jaga umi, kasian umi sendirian, Qie laki-laki jadi Qie yang jaga umi, abi jaga kak Bie!"

»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»»

Banjarmasin, Selasa/4 April 2017

Haiiii, ketemu di story baruuuuu.....
Terima kasih tetap mengikuti tulisanku ya.

Cover by idaagustinaf

Terima Kasih Ida...



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top