Permulaan
Ketika dia bertemu Madam Smith, semestinya Tilly sadar ada yang tidak beres. Perempuan tua itu menyapanya terlalu hangat. Yang mana, biasanya Madam Smith akan mengeluhkan apa pun dari dirinya terutama gaya berpakaian Tilly yang dianggap 'sangat TIDAK London'. Oh, Tilly ingin mengerang. Apa memangnya standar yang 'sangat London' itu? Tren busana para bangsawan saat season?
Tilly akan punya segudang alasan untuk tidak membuang uang demi tren busana musim itu atau merelakan roti lezatnya hanya agar bisa mempunyai bentuk badan seindah Lady of Cottenham. Tidak akan. Tilly terlalu menghargai dirinya sehingga memilih menulikan telinga dari ocehan sinis Madam Smith yang kebetulan adalah ibu kandung kekasihnya.
Ferdinand Smith dan Winnyfred Jhonson datang pada suatu sore. Mengherankannya, Tilly segera teringat pertemuan tak sengaja dengan Madam Smith dan merasa waswas. Kemudian permintaan maaf Ferdinand mengucur. Detik itu juga, Tilly merasa bagai cermin yang dipukul palu. Dia hancur menjadi serpihan yang runtuh ke lantai.
"Aku mohon maafkan aku. A-aku ... aku yang paling bersalah. Aku mengkhianatimu. Jangan salahkan Winny. Aku yang menyebabkan situasi kita runyam," kata Ferdinand terbata dan tampak pucat.
Winnyfred, perempuan berambut pirang di sisi Ferdinand menunduk dan menangis. Ya Tuhan, Tilly merasa keadaan terbalik. Dialah korban di sini, korban perselingkuhan kekasih dan korban pengkhianatan rekan kerjanya. Namun, Winnyfred yang menangis bak korban pelecehan. Andai ada hukum yang berlaku atas sikap dua orang yang duduk di kursi ruang tamunya, Tilly ingin segera mengajukan gugatan.
Sayangnya, Tilly dan Ferdinand hanya sepasang kekasih. Pengadilan akan mengolok gugatannya. Mungkin, dia butuh mengikuti sindiran Madam Smith. Sehingga pria yang menjadi kekasihnya kelak tidak akan berpaling pada pesona Winnyfred yang selalu memesona dalam balutan gaun trendi.
Mengkhayal untuk mengulang waktu tidak akan mengubah situasinya. Ferdinand dan Winnyfred sudah di sini dan memberinya kabar pernikahan mereka.
"Tilly, aku mohon ampuni kesalahan Ferdinand. Semua terjadi karena kesalahanku," kata Winnyfred lemah. Akhirnya perempuan itu berbicara, tapi tidak kunjung memuaskan dahaga di kerongkongan Tilly. Lucu memang. Tilly merasa lehernya kering setelah Ferdinand menjelaskan situasi mereka.
Sudah setengah jam dua tamunya di sini dan Tilly belum mengucapkan satu patah kata pun. Dia terlalu terkejut akan cerita yang diterima. Ferdinand dan Winnyfred menunduk karena tidak tahu apa yang bisa memicu Tilly berbicara atau merespons berupa mengusir mereka, membanting pintu tepat di depan hidung, dan memaki.
Tilly pun berpikir demikian. Dia bisa saja mengusir Ferdinand dan Winnyfred, membanting pintu keras-keras, bahkan memaki. Masalahnya, apa semua situasi ganjil di antara mereka bertiga akan selesai?
Jawabannya, tidak.
Tilly menarik napas panjang dan perlahan mengangkat kepala. Sambil tersenyum, Tilly berkata, "Selamat atas kabar pernikahan kalian. Jangan mengharapkan kedatanganku apalagi doa dan restuku karena aku hanya bisa memberikan harapan akan kegagalan pernikahan kalian dan penyesalan seumur hidup. Tentu doa semacam itu sangat tidak baik dalam pemberkatan. Pergilah dan tolong bersikap tidak pernah mengenalku. Jika bertemu, jangan pernah mendekatiku atau menyapa. Itu caraku dapat menerima kalian sebagai pasangan."
Ferdinand sudah akan mendebat, akan tetapi cengkraman Winny pada lengan mencegahnya. Meski Tilly berhak marah dan membenci mereka, Ferdinand tidak bisa menerima permintaan Tilly untuk tidak lagi saling peduli.
Tilly bangkit dari kursinya, berjalan anggun ke pintu, lalu membuka lebar pintu itu. Tangannya bergerak memberi kode agar kedua tamunya pergi dengan tenang. Tenang yang dimaksud tentu tanpa pembicaraan apa pun lagi. Kedua tamunya memahami maksudnya. Mereka pergi tanpa ada lagi ucapan yang memperburuk perasaan Tilly.
Begitu pintu tertutup, ketegaran yang ditunjukan Tilly lenyap. "Semua hancur," desisnya pilu. Dirinya merasa gagal, kalah, dan memalukan. Tenaganya tersedot oleh timbunan sesak dalam dada. Tilly berjongkok di belakang pintu, membenamkan wajahnya di antara paha, lalu menangis. Sore ini adalah sore yang sempurna mempelajari kata patah hati, pikirnya sinis.
~~~
Seminggu telah berlalu sejak sore patah hati yang membuat Tilly mengenal rasanya hancur. Bersama Audrey, sesama guru di sekolah tempatnya mengajar, Tilly mencoba memperbaiki keadaan. Bukan memperbaiki hubungannya dan kedua penghianat tentunya. Menurut Audrey, belanja adalah cara memperbaiki keadaan paling tepat bagi perempuan. Dan London merupakan surga belanja. Perkembangan industri memicu semaraknya toko-toko di sepanjang jalan.
"Kau tahu, ketika wanita berbelanja mereka akan sangat berkonsentrasi menemukan barang terbaik dan sesuai selera mereka," kata Audrey dalam perjalanan mereka menuju toko barang antik Oliver Gordon, toko ketiga yang mereka sambangi setelah puas berbelanja di toko alat tulis Alba dan toko parfum Mr. Anderson.
Tilly hanya bisa mempercayai Audrey untuk berbagi kisah dukanya. Hubungan percintaan yang kandas memang sepantasnya disebut kisah duka. Duka yang menurut Audrey bisa menjadi lembaran baru kisah bahagia. Tilly berharap demikian pula, satu lembaran duka sebagai penutup kisah lama sekaligus membuka kisah baru penuh kebahagiaan datang.
"Entah kenapa aku memikirkan dampak belanja berlebihan. Gajiku akan ludes untuk barang-barang yang mungkin tidak benar-benar aku butuhkan," sahut Tilly. Mereka bergerak cepat melintasi beberapa pejalan kaki. Trotoar London semakin ramai menjelang petang.
"Di situlah manfaatnya, Tilly sayang. Kau akan sangat sibuk setelah belanja. Kau harus memutar otakmu memenuhi kebutuhan hidup dengan sisa uang yang kau miliki." Audrey terkekeh geli di ujung kalimatnya. Tilly hanya menghembuskan napas pasrah sembari berjanji dalam hati bahwa ini adalah kali terakhirnya berbelanja bersama Audrey saat patah hati.
Audrey selalu tahu cara bersenang-senang, termasuk mendekati para pria bangsawan yang menawan. "Kenapa tidak mengajakku berkenalan dengan salah satu bangsawan?" Tilly tidak tahu berasal dari mana buah pikiran genit yang barusan diucapkan. Mau meralatnya pun percuma, Audrey pasti mendengar dengan jelas.
"Apa kau mengincar seorang bangsawan?" Mata Audrey memicing curiga bertepatan mereka lewat di depan sebuah toko topi yang terkenal karena pelanggannya yang kebanyakan bangsawan.
"Tidak ada," jawab Tilly. Melalui ekor matanya, dia menangkap basah beberapa pemuda di dalam toko topi sedang mengawasi mereka dari jendela. Lebih tepatnya mereka menatap Audrey yang berlenggok anggun dalam gaun terkini.
"Jika demikian, ada yang harus kau perbaiki Miss MacCarthy," kata Audrey tanpa peduli pada tatapan mengagumi para pemuda di toko topi. Dia sudah biasa menerima tatapan memuja begitu.
"Oh, ya? Bisa beritahu aku apa itu?"
Mereka berdua masuk ke dalam toko Oliver Gordon yang sekarang diurus anak dan mantunya sejak Mr. Gordon senior meninggal dunia lima tahun lalu. Pemandangan pertama saat kaki mereka melangkah masuk adalah sederet kartu pos di rak depan, lampu-lampu lilin beraneka rupa pada rak di sebelahnya, dan rak-rak lain yang memajang barang-barang yang tidak kalah memukau dan tua. Aroma besi berkarat, apek, dan lilin aromaterapi bersatu menusuk penciuman. Jika bukan karena harga barang di toko ini sangat murah, Tilly lebih memilih meniadakan nama toko Oliver Gordon dalam daftar belanja.
"Kau harus mengganti pilihan gaunmu." Bola mata Audrey bergerak naik turun menilai penampilan Tilly yang sederhana. "Kadang aku berpikir gaun yang kau kenakan merupakan pakaian pemberian ibumu."
Tawa Tilly pecah. "Apa kau seorang cenayang? Atau impianmu menjadi penjahit?"
Audrey mendengkus, sebelum beralih ke deretan rak kotak musik. Tilly sendiri menuju rak perabot rumah tangga dan terpana menemukan sebuah lampu minyak tua di antara panci dan teko usang. Bentuk lampu itu biasa saja. Ukurannya pun kecil dan sangat ringan. Sumbunya nyaris habis. Tilly mengambil lampu minyak itu.
Kenangannya pada masa kecil terulang. Dulu dia pernah tinggal di sebuah desa kecil. Sudah lima belas tahun sejak masa-masa indah itu. Kenangan indah bergerak suram, Tilly menegang. Selalu saja kenangan indah berarak bergandengan kenangan buruk.
"Kau sungguh-sungguh butuh rehat dengan kerutan-kerutan pada dahimu," kata Audrey yang tiba-tiba muncul di belakangnya. "Apa yang menarik dari lampu minyak itu?"
Kerutan pada dahi Tilly mengendur. Dia menyunggingkan senyuman tipis. "Aku pernah mencintai seluruh hidupku karena sebuah lampu minyak. Lalu semua berubah."
Audrey mengangguk mantap sambil berucap, "Kau sungguh-sungguh butuh rehat."
Ucapan Audrey tidak ditanggapi oleh Tilly. Dia mengambil lampu minyak itu dan beberapa kartu pos dari beberapa negara secara asal lalu menuju meja kasir yang dijaga Mr. Gordon junior.
Tampaknya aku memang butuh rehat!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top