Bab 2

Tepian gaun Tilly menyibak rerumputan yang tingginya sudah lebih dari sejengkal telapak tangan orang dewasa. Jalan setapak yang dulu senang dia lalui sambil melompat-lompat sudah tidak tampak rupanya. Dan berjarak sepuluh langkah lagi, bangunan yang Tilly ingat sebagai rumah pertama seorang Margareth Hommand dilahirkan tampak begitu usang.

Ya, ampun, apa yang terjadi pada kediaman keluarga MacKay?

Tilly mempercepat langkahnya. Namun, rumput, ilalang, dan tanah becek merupakan kombinasi terbaik penghalang jalan. Gaun yang lebar dan panjang membuat siapa pun kesulitan berjalan di medan tidak rapi begini. Sebuah ranting menyangkut pada ujung gaun. Tilly menarik paksa roknya hingga dia terhuyung ke belakang. Kopernya terlempar dan jatuh pada kubangan lumpur. Topi Tilly merosot ke dahi. Dia membenahinya asal dan berjalan menuju kopernya yang kotor oleh lumpur. Baru maju tiga langkah, kakinya terpeleset. Tilly jatuh ke depan. Tangannya terulur berusaha menghindari kubangan lumpur malah menimbulkan cipratan besar yang menyerang muka.

Gaun, muka, dan koper kotor. Jangan lupakan posisinya yang membungkuk dengan tangan menopang bobot badan. Tilly serupa kambing gunung yang jatuh ke kubangan.

Apa cukup sial?

Tidak.

Ketika Tilly mendongakan kepala, pandangannya bertubrukan mata biru seorang pria yang membesar ke arahnya. Detik itu juga Tilly memohon satu hal paling gila. Tolong kirimkan seribu lebah untuk mengerubunginya!

Memalukan!

"Kau butuh bantuan, Miss?" tanya pria itu selembut mungkin. Tilly berada di pekarangan rumah MacKay yang tidak terawat, sementara si pria berpakaian necis berdiri di luar pagar. Tilly tidak ingin menambah daftar kemalangannya. Sesungguhnya, dia tidak ingin membagi kemalangannya pada pria baik itu. Yang kemudian Tilly lakukan adalah duduk. Dia duduk di atas lumpur, menyibak anak rambut yang menggantung di depan hidungnya, dan merapikan posisi topinya.

"Terima kasih, Sir. Aku baik-baik saja. Kudengar lumpur cukup baik untuk kecantikan kulit," balas Tilly dengan senyum lebar dan kepercayaan diri palsu demi menutupi serangan malu yang mendera. Tangannya mengangkat segunduk lumpur yang kemudian menetes ke gaunnya.

Pria itu mengulum senyum, lantas berdehem dan melonggarkan kerah kemejanya sembari memasang sebuah senyum menawan. Andaikan Tilly tidak dalam kondisi buruk rupa, ingin sekali Tilly menanyakan nama pria itu. "Yang aku dengar, wanita Perancis menggunakan lumpur dari Laut Mati. Bukan lumpur di pekarangan rumah MacKay."

Skakmat.

Tilly harusnya membuat alibi yang lebih cerdas. Dia tertawa sumbang demi mencairkan suasana dan pria itu tersenyum makin lebar hingga menampilkan gigi depannya. Tilly ingin menggaruk lumpur di hadapannya, membenamkan wajah, dan tidak memperpanjang percakapan aneh bersama pria setampan itu.

"Siapa yang membuat hipotesis bahwa lumpur di pekarangan rumah MacKay tidak bermanfaat bagi kulit?" Kedua tangan Tilly bergerak menyisir pekarangan dengan senyum luar biasa lebar. Dalam hati, dia mengutuk kebodohannya.

"Ah, benar juga." Pria itu mengangguk kecil. kendati membuat Tilly mendesah lega, pria itu menyela, "Tapi ... dua hari lalu aku lewat sini. Aku melihat Mels MacKay mengomel kepada Si Tua Tobey."

"Kenapa Bibi Mels mengomeli Kakek Tobey?" tanya Tilly, heran.

"Si Tua Tobey menggiring ternak babinya bermain di pekarangan ini," jawab si pria santai.

Babi. Lumpur. Tidak ada lagi alasan Tilly berlama-lama di situ. Dia mengangkat roknya, meraih kopernya dengan dongkol, dan berjalan menghentak penuh emosi. Di belakang punggungnya derai tawa si pria membuatnya tambah jengkel.

Dia mengerjaiku.

※※※

Melinda MacKay, istri dari putra bungsu Nahkoda MacKay berlari dari dapurnya saat mendengar suara bantingan pintu. Dia menatap ngeri wanita muda mengenaskan yang mengangkat koper terpontang-panting.

"Apa kau Tilly MacCarthy?" tanya Mels berhati-hati.

"Secara kebetulan, ya. Apa kabar Bibi Mels?" Tilly meletakan kopernya di lantai. Dia berjalan mendekati Mels yang mengibaskan tangan menolaknya.

"Maaf, aku bukan menolak pelukanmu, Sayang. Tapi ..." Mata Mels bergerak naik-turun, memberi kode pada Tilly betapa kotor dan berantakan penampilan wanita muda itu.

Tilly paham alasan Mels menolak pelukannya. Entah bagaimana airmata Tilly tumpah seketika. Mungkin dia tak bisa menahannya karena baru saja jatuh ke lumpur tadi. Mungkin juga karena pria tampan di depan melihat kondisinya yang sedang sangat memalukan. Mungkin karena dia sangat merindukan Bibi Mels yang pintar memasak sup tomat. Mungkin ... untuk pertama kalinya setelah tiga tahun ditinggal kedua orangtuanya, Tilly merasa pulang ke rumah.

"Anakku, apa yang terjadi? Maafkan aku. A-aku, aku akan memelukmu. Tolong berhentilah, berhenti menangis. Aku tetap menyayangimu, Sayang." Mels yang panik mendapati sikap Tilly yang berubah drastis memeluk keponakannya. Tinggi Mels hanya sebatas tulang selangka Tilly, tapi badan gemuknya membuat Tilly merasa diselimuti kasih sayang.

Ini yang Tilly butuhkan, seorang keluarga. Dia memeluk balik Mels, membenamkan mukanya pada bahu Mels yang empuk. Tangisnya bukan mereda malah makin menjadi. Mels menepuk punggungnya sembari berdesis, "Sst, sst, tenanglah. Kau sudah di rumah."

Beberapa menit kemudian, Tilly mengangkat kepala. Dia mengendorkan pelukan Mels yang setia menatapnya dengan ramah dan penuh kasih. "Terima kasih, Bibi Mels. Kau yang terbaik yang aku miliki."

"Aku menerima kehormatan menjadi yang terbaik bagi seorang Tilly MacCarthy. Apa kau mau menceritakan alasan kedatanganmu hari ini?" Mels merangkul Tilly menuju dapur. Dia sudah tidak peduli lumpur yang mengotori Tilly dan sekarang ikut mengotori bajunya.

"Aku butuh liburan. Desa ini tempat yang tepat untukku."

"Hanya itu?" Mels bukan baru mengenal Tilly meskipun mereka tidak sering bertemu. Melalui surat-surat yang Margareth kirim padanya semasa hidup, Mels tahu banyak mengenai keponakannya. Di sini, dia mendapat firasat bahwa Tilly mempunya beban lebih dari sekadar 'butuh liburan'.

"Aku dan Ferdinand sudah berpisah," aku Tilly setelah kepayahan menerima serangan curiga dari tatapan Mels.

Mels tidak sanggup berkata-kata. Dia terlalu terkejut. Surat terakhir Margareth tiga tahun silam menunjukkan betapa serasinya Tilly dan Ferdinand. Jika mereka sampai berpisah, tentu ada masalah pelik yang tidak lagi bisa mereka selesaikan berdua. Dia meminta Tilly duduk di kursi dekat meja. Sementara dia menyiapkan lemon dan madu hangat.

"Apa yang terjadi?" Mels merasa perlu tahu sedikit detail kisah percintaan Tilly. Bagaimanapun dia berperan sebagai ibu Tilly sekarang, menggantikan kakak iparnya.

Tilly tersenyum menanggapi kepanikan Mels. Sayangnya, Mels sudah cukup pengalaman menjadi gadis muda dan percintaan mereka. Dia menebak keponakannya tidak baik-baik saja. Semua perempuan, tak hanya gadis muda, tidak terlahir untuk baik-baik saja saat hubungan mereka bersama pria yang dicintai berakhir. Begitulah pendapat Mels.

"Dia berselingkuh dengan sahabatku," Tilly berbicara begitu Mels menyerahkan segelas lemon madu.

"Jangan lanjutkan!" potong Mels cepat. Dia tidak tega meminta Tilly bercerita lebih lanjut karena tidak mau Tilly mengingat pengalaman itu hanya untuk memberikannya informasi. Mels percaya Tilly tidak bersalah, melainkan Ferdinand yang berengsek.

Sangat berengsek, pikir Mels.

"Aku tidak perlu tahu lebih banyak. Sebaiknya kau membersihkan diri, Nak. Aku juga perlu mandi. Ya, ampun, kita berdua sangat kotor. Jika seseorang melihat kita seperti ini, kita bisa dianggap tak bermoral. Wanita seharusnya menjaga kebersihan diri mereka. Kau tak lupa membersihkan belakang telingamu saat mandi, kan? Bagian itu bisa sangat kotor kalau lupa dibersihkan. Orang-orang bisa menggunjingkanmu kalau membiarkan belakang telingamu kotor. Juga kuku jarimu. Belakangan wanita sangat malas membersihkan kuku mereka dan menutupinya menggunakan sarung tangan. Mereka menggunakan sarung tangan kulit di cuaca panas dan baunya sangat mengganggu. Jangan lakukan seperti mereka, Nak. Atau kau menyembunyikan kuku kotormu di balik sarung tangan?" Mels mengoceh agar mengalihkan obrolan mereka. Dia ingin keponakannya bahagia di sini.

Tilly menertawakan ucapan Mels. Kediaman keluarga MacKay memang tempat paling tepat sebagai destinasi membuka lembaran baru. "Terima kasih," ucapnya tulus yang dibalas anggukan oleh Mels.

FUN FACT!

Cleopatra mengoleskan masker yang terbuat dari lumpur dari Laut Mati dua kali seminggu untuk membersihkan kulit dan mempertahankan coraknya.

Sumber : crfashionbook.com/beauty/a33265839/history-beauty-face-masks-skincare/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top